Prabu Jayabaya, raja Kediri, telah meramalkan bahwa begal pada ndhugal, rampok padha keplok-keplok. Ramalan tersebut ditafsirkan oleh Sindung Marwoto dalam Ramalan Prabu Jayabaya: Mengungkap Tanda-tanda Zaman sebagai berikut:
"Pencopet, perampok, perompak, maling dan sejenisnya semakin kurang ajar. Dia melakukan aksinya dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Ia menjarah-rayah harta orang lain dengan semena-mena. Ia bersorak-sorai karena menjarah dan merampok semakin mudah dan hasilnya semakin banyak, risiko perbuatan mereka semakin kecil. Kalau toh tertangkap dan masuk penjara, mereka dengan sangat mudah menyuap pejabat hukum untuk melepaskan.”
Baca juga: Begal di Jawa Kuno
Begal (bahasa Jawa) merupakan istilah klasik dalam dunia perbanditan di Jawa. Begal, menurut sejarawan Wasino dalam Kapitalisme Bumiputera, merupakan pencurian oleh penjahat dengan cara menghadang korban di tengah jalan.
Selain begal, sejarawan Suhartono mencatat istilah lain yaitu perampok, penyamun, kecu, koyok, dan culeng. Kecu dan rampok terdiri dari kawanan yang lebih dari 20 orang, koyok lebih dari 5 orang, dan culeng lebih dari tiga orang.
“Maling atau pencuri dan begal, meskipun sering dilakukan lebih dari seorang dapat digolongkan resistensi individu. Yang jelas sasaran mereka adalah individu pula yang merugikan petani. Mereka digolongkan kejahatan kecil, sedangkan rampok dan kecu termasuk kejahatan besar atau kejahatan serius,” tulis Suhartono dalam Bandit-bandit di Pedesaan Jawa.
Suhartono menganggap perbanditan di Jawa muncul akibat resistensi terhadap kemiskinan, tekanan pajak, kerja wajib, dan tekanan sosial-politik. “Menurut kacamata pemerintah kolonial resistensi ini sebagai kejahatan yang dilakukan para penjahat atau bandit,” tulisnya. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga pada masa mudanya menjadi begal karena resistensi terhadap keadaan memprihatinkan rakyat kadipaten Tuban. Dia membegal untuk membantu rakyat miskin.
Baca juga: Sebelum Tobat, Sunan Kalijaga Pernah Jadi Begal
Berdasarkan kesadaran politik, menurut Suhartono, resistensi berupa perbanditan dibedakan menjadi gerakan belum sadar politik, setengah sadar, dan sadar sepenuhnya. Resistensi yang sadar sepenuhnya mewujud dalam bentuk gerilya dan pemberontakan. Resistensi setengah sadar dilakukan oleh individu maupun kelompok yang diwujudkan dalam perampokan dan pengkecuan.
“Gerakan yang tidak sadar lebih didominasi oleh tindak kejahatan semata-mata yang diwujudkan dalam pencurian, begal, dan sejenisnya,” tulis Suhartono. Di Jawa, Suhartono menguraikan realisasi dari resistensi berupa “pembakaran kebun tebu, los tembakau, saluran irigasi, perusakan gudang dan bangunan lain, pencurian, pambegalan, dll.”
Baca juga: Asal Usul Bandit di Perdesaan
Sementara itu, Wasino melihat perbanditan di Jawa sebagai tindak kejahatan biasa, bukan karena resistensi. Munculnya kecu sampai begal dapat berlangsung di sepanjang bulan dalam siklus setahun. Akan tetapi, data kepolisian di kabupaten dan kota Mangkunegaran menunjukkan bahwa kecu selalu muncul dalam bulan-bulan paceklik, misalnya bulan September. Pada 1919-1921 di setiap September selalu ada sekali peristiwa kecu. Sementara bulan April dan Juli tidak selalu terjadi. “Hal yang sama juga pada kasus perampokan di jalan (begal),” tulis Wasino.
Sedangkan kasus pencurian hewan (raja kaya), mengalami penurunan pada bulan Juli. Ini terkait dengan tersedianya lapangan pekerjaan di wilayah perkebunan tebu saat musim tanam tebu. “Dengan demikian,” Wasino menyimpulkan, “bisa dikatakan bahwa motif pengkecuan dan pembegalan adalah motif ekonomi.”