WAKIL Ketua DPR dari Partai Golkar Priyo Budi Santoso menanggapi laporan Komnas HAM tentang pelanggaran HAM berat peristiwa 1965 dalam nada minor. “Kalau semua diungkap, nanti lama-lama zaman Ken Arok juga minta diungkap,” kata dia sinis.
Maka baiklah, kalau seandainya kehawatiran Priyo menjadi kenyataan: ada sebagian pihak yang menuntut pelanggaran HAM berat sampai ke zaman Ken Arok, bagaimana jadinya? (Baca: Siapa Sebenarnya Ayah Ken Arok?)
Tentu orang yang harus diperiksa terlebih dulu adalah Ken Ndok, ibu kandung Ken Arok yang menelantarkannya sejak bayi di pemakaman umum. Gara-gara dibuang ke pemakaman, Ken Arok bayi ditemukan oleh Lembong, seorang pencuri. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Ken Arok tumbuh jadi pencuri pula.
Orang kedua yang harus diperiksa adalah Mpu Gandring, sang pembuat keris yang menyebabkan keonaran di Tumapel. Keris itulah yang digunakan oleh Ken Arok membunuh penguasa Tumapel Tunggul Ametung. Lantas, sampai tujuh turunan keris itu berpindah tangan dan selalu digunakan untuk saling balas dendam bunuh-membunuh di kalangan keturunan Tunggul Ametung dengan Ken Arok.
Celakanya, semua orang yang disebut di atas, mulai Ken Ndok, Mpu Gandring, Ken Arok, Tunggul Ametung sampai Ken Dedes sudah wafat. Tak ada catatan harian. Tak ada kesaksian. Satu-satunya sumber yang bisa dijadikan rujukan atas kejadian itu hanya babad, yang dipenuhi mitos dan legenda. Jauh dari fakta sebagaimana adanya. Jadi kekhawatiran Priyo tentang bakal adanya orang yang menuntut kasus pelanggaran HAM zaman Ken Arok sama sekali tak perlu. Tak cukup bukti untuk diajukan ke mahkamah mana pun, kecuali mahkamah sejarah itu sendiri.
Berbeda dari kasus Ken Arok, peristiwa 1965 memiliki banyak sumber dan kesaksian. Saksi-saksi baik dari pelaku maupun korban dan para penyintas masih bisa diakses. Sebagian masih segar bugar untuk mengingat apa yang mereka alami selama bertahun-tahun di awal Orde Baru berkuasa. Selain itu, peristiwa ini telah banyak dikaji dan ditulis oleh para sarjana dari dalam dan luar negeri.
Kesaksian dan bukti-bukti itulah yang dikumpulkan oleh Komnas HAM dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung sebagai bukti adanya pelanggaran kemanusiaan dalam peristiwa 1965. Dan kini bola ada di tangan Kejaksaan Agung: mau di bawa ke mana nasib para korban dan keluarganya yang selama berpuluh tahun terlunta-lunta dalam tuduhan yang tak pernah bisa dibuktikan. Kebanyakan mereka yang ditahan, atau bahkan dibunuh, tanpa pernah melewati proses peradilan.
Bahkan mereka yang ditahan, setelah dibebaskan, diberi secarik surat keterangan yang berbunyi “Tidak terlibat baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam peristiwa G.30.S/PKI.” Mereka dilepas begitu setelah belasan tahun ditahan Pulau Buru atau di berbagai penjara Orde Baru lainnya seolah tak ada apa-apa. Selepas dari penjara, mereka harus menghadapi stigmatisasi dan diskriminasi.
Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang harus menghadapi persoalan dengan masa lalunya. Jerman di tahun 1960-an pun menghadapi persoalan yang sama. Gerakan mahasiswa di sana mempertanyakan sisa-sisa Nazi yang masih bercokol di pemerintahan. Lewat pengadilan di Nuremberg, banyak tokoh-tokoh Nazi diadili atas kesalahan mereka di masa lalu. Negara lain yang juga bersusah payah berdamai dengan masa lalunya adalah Afrika Selatan.Mereka berhasil mengatasi persoalan warisan masa lalunya di era apartheid melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
Namun demikian, berbeda dengan di Afrika Selatan, di mana Nelson Mandela sebagai pihak yang semula didiskriminasi naik ke tampuk kekuasaan, di Indonesia korban kejahatan kemanusiaan di masa lalu tetap hidup dalam stigma negatif. Praktis semenjak kejatuhan rezim diktatorial Soeharto belum ada kemajuan yang berarti untuk menyelesaikan kasus 1965 itu. Penulisan sejarah yang mengangkat peristiwa G.30.S memang mengalami kemajuan. Tak lagi sepihak dan monoversi. Namun di dalam pengajaran sejarah di sekolah versi yang digunakan tetaplah produk warisan Orde Baru.
Ini baru satu kasus. Padahal Indonesia memiliki begitu banyak persoalan di masa lalunya. Dan mereka yang terkena dampak dari setiap peristiwa pelanggaran HAM berat masih hidup dan menanggung beban yang tak ringan. Negara yang seharusnya mampu merangkul dan mengatasi persoalan terlihat abai. Dan seperti biasa, setiap kali ada upaya untuk menyelesaikan kasus masa lalu, banyak petinggi negeri yang mendadak jadi bijak dengan berulangkali menyerukan untuk tidak melihat ke belakang namun harus ke depan.
Persoalannya, semenjak tahun 1969, saat kasus pembunuhan massal di Purwodadi diungkap ke publik untuk pertama kalinya oleh HJ Princen, para petinggi Orde Baru saat itu pun mengatakan hal yang sama. Seakan masa depan Indonesia gilang gemilang apabila melupakan semua yang tengah terjadi. Dan memang akhirnya banyak orang melupakan masa lalunya, namun kini pertanyaanya: masa kini yang dulu diproyeksi sebagai masa depan oleh mereka yang hidup di masa lalu itu milik siapa? Siapa yang paling banyak mendapat potongan kue? Tapi agaknya kita harus mendengar apa kata para petinggi negeri itu. Tokh susah juga nanti kalau harus mencari foto keluarga Ken Arok, apalagi harus mencari di mana keris Mpu Gandring.