PEDRO Chavez Brito masih berusia sekira 6-7 tahun ketika sekelompok serdadu membunuh ibunya. Semua berlangsung di depan matanya. Dia, bersama kakak perempuan dan adik lelakinya yang masih bayi, hanya bisa menangis melihat kekejian itu dari balik kandang ayam, tempat mereka sembunyi.
Naasnya, serdardu itu menemukan Chavez dan saudaranya, lantas menyeret mereka ke dalam rumah. Sejurus kemudian serdadu itu menyulut api, membumihanguskan rumah mereka sekaligus menewaskan kakak perempuan dan adik lelakinya. Chavez berhasil melarikan diri.
“Saya bersembunyi di bawah pohon, saya seperti binatang. Setelah delapan hari, saya pergi ke gunung dan bertahan hidup di sana dengan makan rumput dan dedaunan,” tutur Chavez seperti dikutip International Herald Tribune, 16 April 2013.
Chavez menyampaikan kesaksian itu pada persidangan mantan diktator Guatemala Efrain Rios Montt yang dituduh bertanggungjawab atas pembunuhan massal terhadap suku Maya, terutama warga Ixil yang hidup di kaki gunung di wilayah El Quiche. Jaksa berhasil memaksa Rios Montt, yang kini berusia 86 tahun, duduk di kursi pesakitan. Berdasarkan investigasi Komisi PBB dan Komisi Klarifikasi Sejarah di Guatemala, dalam 17 bulan masa kekuasaannya, sejak 1982-1983, Rios Montt mengetahui dan merestui tindak kejahatan kemanusiaan tersebut.
“Mahkamah sejarah” juga pernah berlangsung di London, Inggris, Oktober 2012 yang lampau. Tiga warga Kenya, Ndiku Mutua, Jane Muthoni Mara dan Wambugu wa Nyingi menuntut pemerintah Inggris bertanggungjawab atas kekerasan terhadap mereka dan warga Kenya lainnya semasa Inggris menjajah Kenya pada 1950-an. Dalam persidangan yang masih berjalan ini sejumlah sejarawan dihadirkan sebagai saksi.
Cerita lain terjadi di Timor Leste. Pascajajak pendapat 1999 terjerumus ke dalam pertumpahan darah. Puncak konflik panjang semenjak diduduki oleh Indonesia pada 1975. Namun negeri itu bergerak cepat. Mendirikan sebuah komisi yang bertugas mencari bukti-bukti kejahatan kemanusiaan. Hasilnya dokumen Chega! Setebal ribuan halaman. Memuat kesaksian orang-orang yang mengalami sejumlah penderitaan dan kehilangan. Tak ada “mahkamah sejarah” di Timor Leste. Para pelaku kejahatan kemanusiaan terlalu sulit untuk diseret ke pengadilan. Tapi usaha berdamai dengan masa lalu, sudah setahap lebih maju.
Pada negeri-negeri yang sedang bergulat dari masa transisi menuju demokrasi, kejahatan kemanusian di masa lalu acap menjadi beban di masa kini. Ada sebagian negeri yang berhasil mengatasinya, sebagaimana yang terjadi di Guatemala dan Timor Leste. Namun, tak sedikit pula yang belum bisa melepaskan diri dari masa lalunya. Indonesia contoh paling baik dalam soal menggantung kasus masa lalu.
Kasus pembunuhan massal 1965-1969 misalnya, tak pernah jelas di ranah hukum. Komnas HAM telah menyampaikan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung, namun sampai detik ini tak menunjukkan hasil apapun kecuali komentar kontroversi yang berseliweran, mulai dari yang berbobot sampai dengan omongan kelas asbun (asal bunyi).
Indonesia mestinya malu pada Belanda. Negara yang pernah menjajah Indonesia berani menghadapi masa lalunya sendiri. Dalam kasus pembunuhan massal di Rawagede 1947, pengadilan di Den Haag menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan wajib memberikan kompensasi kepada para keluarga korban. Belakangan pula ada usaha untuk membawa kasus pembunuhan massal rakyat Sulawesi Selatan oleh Kapten Raymond Westerling ke pengadilan.
Sementara di negeri-negeri lain keadilan yang sempat terabaikan di masa lalu kembali ditegakkan di masa kini, di Indonesia yang konon berbudaya ini menegakkan keadilan dari masa lalu hanya angan-angan kosong. Di sini, dalam soal menuntaskan kasus masa lalu masih berpusar pada hal: mau atau tidak mau, berani atau tidak berani. Atau mungkin: tidak punya kemauan sama sekali.