Di Kampung Berastepu, Tanah Karo, puluhan serdadu Belanda melepaskan tembakan secara membabi-buta. Rumah-rumah penduduk digerebek. Mereka merampas harta benda pemilik rumah. Selain itu, beberapa warga kampung yang dicurigai ditangkap lalu ditembak tanpa pemeriksaan.
Menurut Sumbul Ginting warga setempat yang menyaksikan kejadian tersebut, ada 9 penduduk kampung Berastepu yang ditembak mati oleh Belanda. Mereka antara lain: Meltah Sembiring, Mestik Karo-Karo, Muniken Karo-Karo, Manik Ginting, Alar Karo-Karo, Kitik Sitepu, Masar Ginting, Naik Sembiring, dan Baban Sembiring.
“Demikianlah pada tanggal 1 Juni 1949 tentara Belanda yang berkekuatan 60 orang di bawah pimpinan Van der Plank telah menggerakan pasukannya dari Simpang Empat Surbakti ke Kampung Berastepu, melalui jalan setapak Jeraya dan Tambesi,” catat mantan veteran Perang Kemerdekaan, Letkol (Purn.) A. Surbakti dalam Perang Kemerdekaan II: Tanah Karo Jahe dan Dairi Area.
Setelah melakukan penembakan di Berastepu, Van der Plank menggerakan pasukannya ke Kutagamber. Di kampung tersebut, pasukan Van der Plank juga menembak seorang penduduk bernama Babah, berasal dari Gurukinayan. Dari Kutagamber, pasukan Van der Plank kembali ke pangkalannya melalui Kutatengah.
Kepala Polisi Istimewa
Van der Plank nyaris tak berbeda dengan Westerling. Keduanya sama-sama pernah bertugas di Sumatra Utara untuk menumpas tentara Republik Indonesia dalam berbagai operasi kontra-gerilya. Nama Van der Plank pun dikenal sebagai perwira Belanda yang sangat bengis. Jika Westerling menjalankan aksi sadisnya di Kota Medan, maka jejak berdarah Van der Plank membekas di Tanah Karo.
Baca juga: Aksi Sadis Westerling di Medan
Dalam catatan hariannya yang diterbitkan berjudul Bukit Kadir, Djamin Gintings mengenang sosok Van der Plank yang berperawakan tinggi dan tegap. Di masa kolonial, Van der Plank merupakan Kepala Polisi Istimewa Hindia Belanda. Ketika Jepang menguasai Hindia Belanda, Van der Plank merana. Tentara Jepang menyiksanya sebagai tawanan di Brastagi, Tanah Karo. Setelah Jepang kalah perang, Belanda kembali ke Indonesia untuk menjajah lagi. Van der Plank pun mendapatkan posisinya semula sebagai kepala Polisi Istimewa berpangkat mayor.
Van der Plank mulai menebar teror sejak Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada Juli 1947. Pasukan Belanda menekan dengan memblokade basis ekonomi di kawasan Sumatra Timur. Semua satuan bersenjata Indonesia ditarik ke pedalaman Tapanuli. Akibatnya, rakyat yang berpihak pada Republik terpaksa meninggalkan Sumatra Timur dan ikut mengungsi ke pedalaman.
“Dalam suasana yang kurang terkoordinasi inilah Van der Plank dengan Troopen Intellegence Vor Gerilya (TIVG) melakukan perang urat syaraf dan melakukan infiltrasi ke daerah-daerah rawan, sepanjang jalur pengungsi dan penarikan mundur kesatuan-kesatuan TNI/lasykar,” tulis Tukidjan Pranoto dalam Tetes Embun di Bumi Simalungun.
Baca juga: Butet, Nyanyian Pilu di Tengah Perang
Infiltrasi unit TIVG yang dipimpin Van der Plank acap kali menimbulkan keresahan. Mereka menjadikan TNI dan unsur pejuang dari kesatuan lasykar saling curiga-mencurigai. Menurut Tukidjan, kelompok Van der Plank ini berperan dalam memecah belah kelompok pejuang pendatang dari Sumatra Timur dengan pejuang yang berasal dari Tapanuli. Salah satu nya politisasi isu terhadap Barisan Harimau Liar (BHL) yang dicap sebagai lasykar penjahat.
Pengacau di Tanah Karo
Karena pernah ditawan Jepang di Brastagi, Van der Plank cukup mengetahui seluk daerah Tanah Karo. Sebagai komandan TIVG, Van der Plank doyan melakukan patroli dari kampung ke kampung lalu menangkapi warga setempat. Warga yang dicurigai akan ditahan dan diperiksa untuk mengorek keterangan dengan cara dipukuli ataupun disengat listrik. Dalam interogasi yang menyakitkan itu, mereka dipaksa memberikan informasi mengenai basis TNI, siapa pemimpinnya, dan siapa saja penduduk yang bekerja sama dengan TNI.
Pada Desember 1948, dua penduduk di Gurukinayan dan kepala kampung Payung yang diangkat oleh pemerintah Republik ditembak mati. Sebelum dieksekusi, kepala kampung yang berusia lanjut tersebut terlebih dahulu dipukuli dan kemudian dilepas. Kepala kampung yang merasa tidak aman itu lalu menghindar melalui persawahan yang berada di belakang rumahnya.
“Pada waktu berada di tengah sawah itulah orang tua itu ditembak dan meninggal di tempat,” tulis Djamin Gintings dalam Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir: Saat Genting di Medan Tempur Catatan Harian Jamin Gintings.
Baca juga: Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo
Rakyat di Tanah Karo mafhum, dini hari merupakan waktu yang kerap dipakai Van der Plank dan pasukannya untuk bergerak. Itulah sebabnya, penduduk kampung khususnya laki-laki sejak sore hari lewat petang sudah berangkat meninggalkan kampung menuju tempat yang lebih aman. Mereka biasanya pergi ke sawah atau ladang dan menjadikan pondokannya sebagai tempat tidur. Demi keamanan, mereka yang melarikan diri berkelompok bergantian berjaga. Bila hari sudah terang dan tidak ada kabar patroli Van der Plank barulah mereka pulang ke rumah.
Demikianlah, teror yang berkecamuk di Tanah Karo semakin merajalela dan itu bermuara kepada satu nama: Van der Plank. (Bersambung)