TANAH KARO, 5 Maret 1949, segerombolan pasukan Belanda pimpinan Mayor Van der Plank mengadakan gerakan ke daerah Empat Teran (Simpang Empat) . Begitu tiba di Kampung Sigarang-garang, mereka menyatroni beberapa rumah lalu membakarnya. Di tengah aksi intimidasi itu, sebanyak 5 penduduk diberondong peluru. Kelimanya ditembak mati karena tidak mau menunjukan tempat persembunyian gerilyawan Indonesia.
“Kelima penduduk yang menjadi korban keganasan Van der Plank tersebut ialah Benih Karo-karo (kepala kampung yang diangkat oleh pemerintah RI), Katan, Menet, Maca, dan Pa Ngaku,” ujar saksi mata Sumbul Ginting, seperti dikutip Letkol (Purn.) A.R. Surbakti dalam Perang Kemerdekaan II: Tanah Karo Jahe dan Dairi Area
Peristiwa penggerebekan berdarah yang terjadi di Kampung Sigarang-garang tadi bukan hanya terjadi sekali. Sepanjang paruh pertama 1949, Van der Plank melancarkan serentetan teror ke berbagai kampung di Tanah Karo. Van der Plank memimpin satuan polisi antigerilya (Troopen Intellegence Vor Gerilya/TIVG) yang bertugas memburu pejuang Republik. Namun dalam menjalankan tugasnya, pasukan Van der Plank kerap menyertakan tindakan brutal. Di beberapa tempat, mereka menjarah dan membakar kampung yang disambangi hingga membunuh warga setempat.
Berkunjung dan Mengeksekusi
Sebulan sebelumnya, tepatnya 18 Februari 1949, Van der Plank menyambangi Kampung Batukarang. Di sana, pasukan Van der Plank mengancam penduduk. Bahkan, seturut dengan catatan harian Djamin Gintings, Komandan Resimen IV Divisi X,beberapa warga ada yang ditembak mati di hadapan seluruh penghuni kampung.
Menurut Djamin Gintings, Van der Plank kian beringas seiring dengan pukulan yang dilancarkan pejuang Republik. Dalam memberikan reaksi atas serangan-serangan gerilya pasukan Indonesia, Van der Plank melampiaskannya kepada rakyat. Bukan sekedar mengancam, tapi untuk menanamkan rasa takut nan mencekam Van der Plank tidak segan menembak penduduk.
“Semakin hebat gerakan pasukan kita, Van der Plank pun rupanya semakin mengganas,” tulis Djamin Gintings dalam catatan hariannya berjudul Bukit Kadir yang dibukukan pada 1964.
Baca juga:
Van der Plank dan Kejahatan Perang di Sumatra
Van der Plank selalu punya kecurigaan bahwa penduduk kampung melindungi ekstrimis Indonesia. Oleh karena itu, untuk membongkar pertahanan rakyat, dia menebar teror lewat aksi semena-mena. Selain itu, sekitar Februari – Maret 1949, Van der Plank menyerukan sayembara: “bahwa setiap anggota intelijen Belanda (NEFIS) yang dapat menangkap pejuang Republiken diberikan hadiah uang sebesar 1000-50.000 gulden per orang.” Dengan taktik demikian, Van der Plank dapat memburu gerilyawan dan rakyat pro Republik dengan sekali tebas.
“Banyak anggota-anggota gerakan ditangkap dari desa satu ke desa lainnya oleh TIVG dibawah pimpinan Mayor Van der Plank yang keji itu,” tulis Tukidjan Pranoto dalam Tetes Embun di Bumi Simalungun.
Van der Plank “Cuci Tangan”
Pada 9 Juni 1949, Van der Plank menggerakan pasukannya dari Kabanjahe ke kampung Kandibata. Tidak seperti biasanya, waktu yang dipilih Van der Plank justru pada saat ramainya penduduk yang pulang dari sawah dan ladang. Setibanya di Kandibata, pasukan Van der Plank beraksi dengan mengepung dan menggerebek beberapa rumah. Beberapa penduduk ditangkap dan dibariskan.
Sebanyak 45 warga Kandibata diinterogasi dengan menayakan nama masing-masing. Dari semuanya hanya 3 orang yang diperintahkan keluar dari barisan. Begitu mereka menyisihkan diri, Van der Plank segera menembaknya hingga mati. Salah seorang yang rebah di tangan Van der Plank itu ialah Selat Purba yang merupakan ayah dari Letnan Riswan Purba. Sementara itu, dua orang lainnya bernama Lenggur Ginting dan Jagut Surbakti. Keduanya merupakan tukang penyadap enau yang sering memberikan air niranya kepada pejuang gerilya TNI Sektor III pimpinan Mayor Selamat Ginting.
Baca juga:
Ketika pasukan Van der Plank hendak meninggalkan Kandibata, Van der Plank kembali melontarkan ancaman, “Kalau masih ada penduduk yang membantu gerilya TNI, maka semua penduduk kampung ini akan ditembak mati,” catat Surbakti.
Aksi semena-semana Van der Plank mereda jelang persiapan Konferensi Meja Bundar (KMB). Saat itu, kesepakatan gencatan senjata sudah efektif untuk melaksanakan local joint commitee pada Agustus 1949 di Medan. Perundingan di tingkat lokal antara pihak Indonesia dan Belanda diawasi oleh UNCI, pihak ketiga yang berasal dari Komisi Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Makanya, TIVG yang berada di bawah komando Van der Plank pun tidak berani lagi berlaku semena-mena terhadap rakyat sipil.
Ketika berlangsung local joint commite itulah Letkol Djamin Gintings yang mewakili Tanah Karo untuk kali pertama bersua dengan Van der Plank. Di sela-sela perundingan, Van der Plank sengaja menemui Djamin Gintings yang menginap di Hotel Langkat. Djamin Gintings mengenang sosok Van der Plank sebagai pemilik postur tinggi dan tegap. Van der Plank berusaha menyelamatkan diri sehubungan dengan citra busuknya sebagai penyiksa dan pembunuh sejumlah penduduk di beberapa kampung.
Baca juga:
Djamin Gintings, Sang Loyalis dari Utara Sumatra
Kepada Djamin Gintings, Van der Plank mengklarifikasi bahwa sebenarnya bukan dia yang menangkapi dan menyiksa atau membunuh penduduk sipil, tetapi itu semua perbuatan pimpinan tentara Belanda yang lain. "(Soal) kebenaran ceritanya hanya dia yang tahu,” ujar Djamin Gintings.