KIRA-kira dua ratus meter dari jalan antara Kaliurang dan Pakem yang menikung ke kanan. Banyak pohon bambu. Sebuah jurang. Dari pinggiran yang tertimbun daun-daun tampak Kali Kuning mengalir.
Pagi 21 Desember 1948 pasukan Korps Speciale Troepen (KST atau Korps Pasukan Khusus) di bawah komando Letnan Rudy de Mey dengan jip melaju ke arah tingkungan. Di situ mereka menembak Masdoelhak Nasoetion, Soemarsono dan seorang Jawa lain yang tidak dikenal. Yang terakhir ini penjaga rumah Mentri, dr. Soekiman, yang kelak menjadi perdana menteri. Dua lainya, Tje Kiemas dan Dirdjoatmodjo selamat pada serangan ini. Kiemas yang luka akibat tiga peluru jatuh ke jurang dan tertahan tanah yang empuk. Dirdjoatmodjo meskipun terkena peluru, berhasil menyelamatkan diri. Mereka berdua kemudian dipanggil polisi militer untuk bersaksi.
Penulis ingat sebelas tahun lalu menerima surat dari pembaca yang menulis tentang pembunuhan kejam yang terjadi di sini, dua hari setelah pasukan payung Belada menduduki lapangan terbang Maguwo di Yogyakarta. Itu terjadi pada Operasi Kraai (Operasi Gagak); di Indonesia disebut Agresi Militer Belanda II dan di Belanda disebut Tweede Politionele Actie (Aksi Polisionil Kedua). Surat itu dilengkapi foto-foto dan salinan pernyataan tersangka utama saat itu, Sersan Mayor Marinus Geelhoed pada November 1949. Dalam pernyataan itu ada kalimat-kalimat:
“Setelah itu, ketika kami berbaring di kamar, Letnan De Mey mengatakan pada saya bahwa orang-orang itu harus dibereskan (dengan) menggunakan penyembur api," ungkap Geelhoed.
Pertanyaannya: siapakah para pelaku? Dan lebih dari itu: siapakah para korbannya? Mengapa mereka dibunuh tanpa proses pengadilan. Dua diantara mereka, Soemarsono dan seorang penjaga, tidak dikenali karena seluruh tubuhnya telah terbakar penyembur api.
Baca juga: Perdana Menteri Piet de Jong dan Nota Ekses Belanda
Menurut Nota Ekses yang disusun pada 1969 atas perintah kabinet De Jong, kehakiman dan polisi militer di Yogyakarta menyidik perkara itu tiga bulan setelah kejadian. Auditor-militer Mr. E. Bonn menulis bahwa Geelhoed menerima perintah ‘memberi makan ayam-ayam’, dan bahwa “mr. Nasoetion c.s.” akan ‘dititipkan’ pada patroli. Bahwa para tahanan coba melarikan diri dan oleh karena itu ditembak, dibantah oleh dua saksi yang selamat.
Menurut laporan tersebut para tersangka tidak pernah diadili karena berkas-berkas terkait hal tersebut dimusnahkan pada saat penyerahan kedaulatan. Di samping itu ada indikasi proses sengaja dihambat oleh militer dan otorita pengadilan pada 1949. Dari laporan itu jelas pula bahwa kasus itu telah menyebabkan polemik secara nasional maupun internasional. Pers Belanda mencium ketidakberesan pada penyerangan di Yogyakarta. Lou de Jong, penulis sejarah Perang Dunia II, membacakan surat anonim seorang perwira yang mencela kekerasan berlebihan yang dilakukan tentara Belanda pada penyerangan di sana. Hal itu sempat diperdebatkan di parlemen. Pihak Repubik Indonesia sendiri pernah mengajukan perkara tersebut ke PBB.
Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa surat dari janda Nasoetion sampai ke tangan Menteri Wilayah Jajahan Johan van Maarseveen. Dialah yang mendesak penyidikan kejadian itu diusut secara hukum pidana.
Riwayat Pasangan Nasoetion
Janda Nasoetion adalah seorang perempuan Belanda bernama Adriana van der Have. Mereka menikah pada 1939 di Zuilen, Belanda. Karena Adriana setelah penyerahan kedaulatan menggugat negara Belanda, terkumpul banyak data tentang Nasoetion. Jauh lebih banyak ketimbang informasi tentang korban-korban lain yang ditangkap pada 20 December itu di Kaliurang. Bahkan lebih banyak dari informasi yang dikeluarkan oleh Mayor Tje Kiemas, ayah Taufik Kiemas, yang kelak menikah dengan Megawati Soekarnoputri. Karena lengkapnya bukti dan data, Adriana menang dalam perkara itu.
Ketika perang sedang berlangsung, Nasoetion meraih gelar doktor di Utrecht dengan disertasi tentang peran perempuan dalam masyarakat Batak. Mr. Dr. Masdoelhak Hamonangan Nasoetion Gelar Soetan Oloan, berasal dari keluarga terkemuka di Sibolga, Sumatra Utara. Sejak kuliah di Belanda ia berteman dengan Mohammad Hatta, dan Adriana sendiri mengenal Hatta. Ketika Hatta studi ekonomi di Rotterdam, ayah Adriana sering memberi bimbingan studi pada Hatta.
Usai perang keluarga ini pindah ke Indonesia, dan Masdoel, begitu Adriana menyebut suaminya, menjadi tangan kanan Hatta, yang pada 1948 jadi perdana menteri dan wakil presiden. Nasoetion adalah penasehat Hatta dalam perundingan antara Indonesia dan Belanda pada 1948 melalui komisi PBB (Security Council Committee of Good Offices on the Indonesian Question). Perundingan diadakan silih berganti di Jakarta dan Kaliurang.
Hilang dalam Perang
Semenjak suaminya diberitakan hilang, Adriana van der Have dilarang untuk mengontak keluarga dan teman-teman di Belanda. Namun melalui perantaraan seorang kenalan ia berhasil mengirim surat-surat kepada keluarga Maas yang tinggal di Utrecht dan sampai ke Menteri Van Maarseveen. Demikian Adriana bercerita dalam suratnya kepada pada temannya ‘Tono’ Maas. Kepada Maas ia juga mengatakan bahwa cukup lama ia tidak tahu nasib suaminya. Ketika suaminya dibunuh, dia sedang melahirkan Anwar, anak keempat di sebuah rumah sakit Yogyakarta.
Pada 23 Januari 1949 dia menulis surat dari Yogyakarta bahwa awal Januari kepala bagian dinas rahasia Belanda mengunjunginya di Kaliurang. “Dua bapak itu mengatakan hampir pasti (99%) saya sekarang jadi seorang janda. Masdoel dinyatakan hilang, diduga ia dibunuh. Ya Tuhan semoga tidak benar! Saya tidak kuasa menulis. Tono, sayang, kasihan anak-anak, oh Tuhan.”
Tujuh hari kemudian Tje Kiemas menceritakan, bahwa “Masdoel tiba-tiba dibunuh Belanda seperti menghabisi anjing gila.” Kepada Tono Adriana juga menulis: “Bayangan Masdoel jongkok terus di bermain di pelupuk mata, dan saya mendengar ia mengerang kesakitan. Itu senantiasa mengikuti saya. Selanjutnya di dalam diri saya semua mati, saya harus bertahan hidup untuk empat anak kami. Saya tidak pernah menduga kebencian bisa sedahsyat itu. [….] Menurutmu apakah Sinar, Tigor dan Paroehoem (tiga putra Adriana-Masdoel) bisa melupakan bagaimana ayah mereka dipukuli serdadu Belanda dan dipaksa keluar […]? Jika Tuhan betul-betul ada, mengapa semua ini terjadi?”
Adriana juga menulis: “Suami saya bukan satu-satunya orang terpelajar yang mengalami hal seperti ini.”
Saya pernah menjumpai Tigor (74) di kediamanya di suatu perkebunan teh, di pegunungan sebelah barat Bandung bersama Paroehoem (73) adik Tigor yang tinggal di Jakarta. Di era 1960-an mereka studi di Utrecht, Belanda. Paroehoem kemudian menjadi bankir dan tinggal di Jakarta. Tigor jadi wiraswasta, menjabat konsul kehormatan Belanda di Bandung. Di sana dia tinggal bersama ibunya sampai meninggal pada 1994. Anak-anaknya menabur abunya di atas makam Masdoelhak di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
Baca juga: Kekerasan Seks Serdadu Belanda
Tigor belum genap lima tahun ketika ayahnya dijemput para serdadu KST. Adriana ternyata benar: Tigor tidak pernah melupakan kejadian itu. Dia juga ingat, bagaimana sebelum ditangkap, ayahnya membakar kertas-kertas di halaman belakang. Asapnya masuk rumah.
Kemudian hari diketahui pemerintah Sukarno telah menduga Belanda akan menyerang. Kabinet saat itu berkumpul di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Salah satu tokoh militer yang hadir kala itu adalah Kolonel T.B. Simatupang. Dua belas tahun kemudian, pada 1960 ia menulis dalam Laporan dari Banaran tentang diskusi pagi itu atara para petinggi militer dengan Sukarno dan Hatta yang mempertimbangkan kemungkinan agar mereka ditangkap oleh Belanda.
Ia juga menulis tentang penembakan yang dilakukan Belanda dari pesawat Mustang terhadap Hatta dalam perjalanan dari Kaliurang ke Yogyakarta. Seorang penumpang di mobil tewas. Di Kaliurang Hatta melaporkan kejadian ini pada Thomas Critchley Ketua Komisi PBB untuk urusan Indonesia. Ia memohon agar kejadian ini dilaporkan juga pada Dewan Keamanan PBB. Dan itu segera dilakukan. Tampaknya sebelum berangkat, Hatta menugaskan Masdoelhak Nasoetion tetap berada di Kaliurang dan menghancurkan berkas-berkas dokumen pemerintah.
Tigor ingat sore itu ada pesawat pengintai Belanda. “Ketika itu ayah membawa kami bertiga ke ruang tengah dan membacakan kami ‘Petualangan Bibi Pollewop’, karya Godfried Bomans. Di luar bahaya, terjadi tembak menembak."
Memang Nota Ekses mencatat: Senin 20 Desember, “di bawah pengawasan” anggota Komisi PBB urusan Indonesia seorang perajurit Belanda menembak mati “seorang pemuda tak bersenjata”. Menurut laporan ‘aksi militer tentang pendudukan […] Kaliurang’ pukul tiga siang mulai dilakukan ‘pembersihan’ desa. Komisi PBB urusan Indonesia segera dihubungi dan mendapat perintah tinggal di dalam sampai kendaraan-kendaraan komisi tiba untuk mengantar mereka ke Yogya. Para diplomat dikenai tahanan rumah dan ini berlaku juga untuk delegasi Republik yang berada di desa. Tentara Belanda tidak ingin ada penonton saat mereka melakukan ‘pembersihan’.
Baca juga: Gereja Belanda Kutuk Kekejaman Tentara Belanda di Indonesia
Dalam surat pada temannya di Belanda, Adriana menulis bahwa pada 21 Desember itu Masdoelhak tidak boleh dibawa. Seharusnya pada 22 Desember dia bersama dengan Komisi PBB dan delegasi Indonesia. Dan pada hari itu: “Senin itu Masdoelhak berada di rumah menunggu jemputan”. Soeloeng (nama akrab Sinar), putra pertama Adriana dan Masdoelhak menceritakan bahwa ayah mereka diseret keluar rumah secara kasar.
Masih segar dalam kenangan Sinar, begitu pintu rumah dibuka para serdadu Belanda itu langsung menyerbu ke dalam rumah dan salah seorang dia antaranya memukul ayahnya dengan popor senjata. Mereka kemudian membongkar semua lemari dan laci-laci seluruhnya diperiksa. Setelah selesai memamerkan semua kekasaran itu di hadapan anak-anak kecil, mereka lantas membawa Masdoelhak:
“Jaga baik-baik ibumu dan adik-adikmu," Itu kalimat terakhir yang sempat diteriakan Masdoelhak kepada Soeloeng. Saya ingat, ketika menceritakan bagian itu, Sinar terlihat berupaya untuk menguatkan hati, tetapi tak urung matanya terlihat berkaca-kaca.
Pada 1949 ibu mereka menulis surat pada Tono: “Sinar, Tigor dan Paroehoem malam hari-nya menangisi ayah mereka, dan saya tidak mampu menghibur mereka. [….] Untunglah saat itu gelap gulita (listrik dimatikan) sehingga mereka tidak melihat saya juga menangis. Yang paling menderita adalah Sinar, dia sudah mengerti”.
Tigor membenarkan hal itu: “Dia yang paling menderita. Dia menceritakan (kepada saya) apa yang disaksikannya. (Dia bilang) Ayah ditendang keluar pintu. (Saat terduduk di tanah) ayah memandangnya. (Tapi) Saat itu Sinar belum mengerti apa terjadi.”
Tigor masih ingat bersama kakak dan adiknya diinterogasi komandan dari para serdadu itu. “Kami disuruh menyanyi lagu tentara. Paroehoem menolak. Sinar menyanyi lagu kanak-kanak Belanda.”
Baca juga: Penelitian Menyeluruh Kekerasan Serdadu Belanda di Indonesia
Tigor pun merasa dia ikut mencelakakan ayahnya. “(Saya ingat) Sinar membisu. Dia ditampar pipi kiri dan kanan, tapi tetap diam. Paroehoem masih kecil. Mereka bertanya: “Ayahmu itu apa?” Dengan bangga, saya jawab: Ayah saya kolonel. Mereka lantas menemukan epolet kolonel milik ayah. Mereka juga menemukan tanda terima senjata. Ayah menyandang gelar kolonel sebagai pangkat kehormatan sebagai Hakim di Pengadilan Tentara di Bukitinggi. Dan senjata itu dipakai untuk berburu bersama Sinar ke (gunung) Merapi.”
Ada sebuah pendapat yang beredar bahwa Masdoelhak Nasoetion dibunuh karena Letnan De Mey menduga dia adalah Kolonel Abdul Harris Nasoetion, Panglima Divisi Siliwangi? Apakah eksekusi ini sebuah kekeliruan?
Mungkin saja. Itu juga yang diyakini Komisi Van Rij dan Stam yang ditugasi pemerintah Belanda pada 1949 untuk melakukan penyidikan ekses-ekses kekerasan tentara Belanda di tempat kejadian perkara. Di akhir pernyataan Sersan Mayor Geelhoed mengakui pelaku pembunuhan Masdoelhak adalah dia. “Saya memutuskan untuk melaksanakan perintah. Belakangan dikatakan bahwa dia adalah Kolonel Nasoetion yang terkenal itu.”
Begitu pula Auditor Militer De Bonn yang melakukan pemeriksaan berdasarkan hukum pidana pada April 1949 mengatakan: “Mungkin tentara Belanda di Kaliurang mengira (Masdoelhak) Nasoetion ini adalah perwira TNI (Kolonel Abdul Haris) Nasoetion yang terkenal itu”.
Kekeliruan bisa saja terjadi. Namun jika benar Abdul Harris Nasoetion begitu terkenal (seperti dikemukakan dalam proses penyidikan), apakah masuk akal bisa terjadi kekeliruan semacam itu? Sejarawan Sri Margana, Guru Besar UGM di Yogyakarta malah menilai itu "semacam permintaan maaf yang dungu.”
Baca juga: Trauma Serdadu Belanda
KITLV (Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia) di Leiden melakukan penelitian baru bersama pusat dokumentasi perang Belanda NIOD (Institut Kajian Perang, Holocaus dan Genosida) dan NIMH (Institut Sejarah Militer Belanda). Penelitian ini tentang kekerasan struktral militer Belanda selama perang di Indonesia. Margana adalah bagian tim peneliti dari pihak Indonesia.
Bagi Margana pembunuhan Nasoetion masih diselubungi pertanyaan. “Tokoh-tokoh lain yang sejajar atau lebih tinggi pangkatnya ditangkap dan dibuang ke pulau Bangka.” Menurut Margana mustahil dua Nasoetion ini tertukar. “Dua orang ini sama sekali tidak mirip. Perajurit biasa mungkin bisa keliru. Tapi Geelhoed mengatakan dia melaksanakan perintah perwira atasannya. Dia tahu betul ini adalah sekretaris pemerintah dan bukan perwira TNI.”
Jaap de Moor, sejarawan dari Leiden pada 1999 menulis dalam Westerling's Oorlog (Perang-nya Westerling) mengungkap juga kasus pembunuhan di Kaliurang tersebut. Sebagai catatan, sebelum Operasi Gagak, de Mey dan pasukannya berada di bawah perintah Westerling. De Moor menyimpulkan bahwa Geelhoed ‘mendapat keleluasaan melakukan kekerasan terhadap para tahanan Indonesia. De Moor menilai kesalahan Letnan de Mey adalah dia tidak melaksanakan disiplin militer secara ketat. Apakah benar?
Dalam acara televisi Belanda Januari 2007 tentang Pasukan Khusus Raymond Westerling muncul veteran Peter van Haalem. Manula yang memiliki penyakit bengek itu ternyata yang puluhan tahun lalu menembak Dirdjoatmodjo dan Kiemas. Dia menembak mati Soemarsono dan korban lain yang tidak dikenal. Dan dia juga yang kemudian membakar mayat-mayat korban dengan penyembur api.
Baca juga: Kisah di Balik Foto Eksekusi Pejuang Indonesia
Dalam logat Amsterdam Van Haalem menceritakan operasi-operasi di Sulawesi Selatan, dua tahun sebelum Operasi Gagak. Namun dari pernyataannya sangat jelas bahwa serdadu itu hanya melaksanakan perintah. Belakangan masyarakat Belanda bereaksi keras terhadap pengakuannya itu. “Saya dihujat dan disebut sebagai pembunuh...” ujarnya.
Sedang sejarawan Margana membantah perkiraan bahwa Geelhoed secara mandiri mengambil semua keputusan. Dua sekawan De Mey dan Geelhoed berulang kali terlibat ekses-ekses kekerasan. Misalnya pada perebutan lapangan terbang Maguwo dua hari sebelum kasus pembunuhan di Kaliurang, Geelhoed dan De Mey juga hadir, menembak mati tujuh warga sipil. Di antaranya dua anggota staf Hatta.
Margana menganggap tidak masuk akal tentara Belanda membunuh Nasoetion karena mereka menduga dia adalah komandan Divisi Siliwangi. Lagi pula mengapa empat orang lainnya juga harus dibunuh? “Alasan paling masuk akal adalah: teror. Peringatan Belanda pada para pejabat Republik bahwa mereka dalam bahaya.” Bahkan kematian Si Penjaga Rumah merupakan peringatan pada juragannya, Mentri Soekirman.
Dari ‘laporan kejadian’ operasi di Kaliurang ternyata pembunuhan Nasoetion dirahasiakan oleh kelompok itu. Ada laporan rinci yang menyebutkan bahwa pada 20 Desember, dalam perjalanan, mereka ‘membereskan’ 10 orang dan di desa lain mereka membunuh sekitar 60 orang bersenjata bambu runcing yang mendekati para tentara Belanda. Namun dalam catatan harian 21 Desember tidak ada laporan tentang ‘berburu ayam’ yang berakhir fatal itu. Yang tercantum pada pukul 9:00 hanya: “Satu seksi ditugaskan mencari beras”. Pukul 11:00: “Patroli kembali tanpa beras.” Cerita ‘berburu ayam’ tampaknya dikarang belakangan.
Baca juga: Ditemukan Lagi: Foto Eksekusi Pejuang Indonesia oleh Tentara Belanda
Masuk akal jika yang disebut satu seksi di sini adalah yang dipimpin Geelhoed. Namun membunuh orang tak bersenjata yang tidak membahayakan pasukan-pasukan itu sama sekali tidak ada dalam laporan resmi. Demikian pula perintah ‘membereskan’ pejabat-pejabat Republik. Dari tingkat bawah sampai atas terdapat moral ganda; ada kasus pembunuhan yang dilaporkan dan ada yang sengaja tidak dilaporkan.
Dalam perintah harian seperti yang dikeluarkan Jenderal Simon Spoor pada 18 Desember 1948 untuk mengakhiri Republik Indonesia ia mengemas kekerasan dengan selimut mengasihi sesama seperti ajaran Kristen (“Anda ditugaskan merampungkan tindakan terakhir […]”). “Sadari, kalian bukan bangsa perang, melainkan pembawa keadilan dan keamanan. Dia bahkan menghubungkan dengan ‘pesan Natal’: “Meskipun saat ini banyak yang dituntut dari kalian, saya menyadari ada saat-saat hati dan pikiran kalian besama orang tua di rumah, bersama keluarga dan semua yang kalian kasihi. Oleh karena itu saya mohon kalian menjunjung tinggi pesan Natal.”
Sementara itu pemerintah Belanda di Den Haag menjelang Natal ingin menciptakan fakta di lapangan yang kedap terhadap intervensi yang diperkirakan akan dilakukan oleh PBB. Pada 19 Desember saat serangan dimulai, Mentri Wilayah Jajahan Maas Sassen menulis kepada perwakilan tingggi Kerajaan di Jakarta, mantan Perdana Mentri Louis Beel (KVP) harus siap jika sampai ada resolusi Dewan Keamanan PBB untuk memulihkan keadaan semula, hal itu akan mustahil.
Tampaknya kabinet Belanda menduga bisa merahasiakan serangannya di Indonesia. Pada hari sama Mentri Luar Negeri Dirk Stikker (VVD) dan Sassen, menulis kepada Beel: “Dalam publikasi semua yang bisa diasosiasikan dengan ‘medan perang’ bisa dihindari.” Beel dengan kesal menjawab mantan rekan-rekannya, mereka tidak perlu ikut campur. “Mustahil merahasiakan pendudukan Djokja.” Dalam sebuah telegram pada Sassen mengenai tujuan serangan itu Beel bersikap jelas: “Aksi kami akan mengakhiri republik.”
Baca juga: Penelitian tentang Kejahatan Perang Belanda di Indonesia
Teror masih sering terjadi, kata Jenderal Abdul Harris Nasoetion, Komandan Divisi Siliwangi dalam perang melawan Belanda, pada Roelof Kiers dalam film dokumenter Indonesia Merdeka yang dibuat organisasi penyiaran VPRO pada 1976. Belanda menteror rakyat Indonesia, katanya. ‘Kekerasan struktural’ mengganti istilah ‘ekses’ dalam disertasi Remy Limpah, De brandende kampongs van generaal Spoor (2016) (Kampung-kampung Jenderal Spoor Yang terbakar) di Indonesia kekerasan itu sudah sejak lama disebut teror.
Nasoetion memaklumi hal ini seperti diucapkannya pada 1976: “Saya punya pengalaman sama pada aktifitas-aktifitas anti gerilya di berbagai pulau. Sebagai tentara kami bisa merasakan berminggu-minggu, berbulan-bulan berada di wilayah yang memusuhimu. Hal ini membuat sulit mengendalikan diri. Tapi di pihak lain, teror justru adalah awal kekalahan. Jika pasukan melakukan teror, ini adalah pertanda bahwa moral sedang ada dalam kondisi rendah. Dan dengan begitu rakyat akan menyeberang. Kami sudah memperhitungkan itu. Dalam instruksi saya: ‘mereka akan menteror’. Tapi bagi kami itu menguntungkan, karena dengan demikian rakyat jadi memihak kami.
Itulah yang terjadi pada Operasi Gagak. Tujuan pemerintah di Den Haag, Beel dan Jenderal Spoor adalah menghancurkan republik. Namun dengan serangan mereka bahkan mungkin mereka mempercepat tamatnya riwayat Belanda di Indonesia. Belanda kehilangan dukungan Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan Marshall Plan. Penguasa baru di Den Haag ingin masalah Indonesia cepat dibereskan. Februari 1949 Sassen meletakkan jabatan dan disusul oleh Beel pada bulan Mei.
Tak Ada Peradilan
Yang mencolok dari kasus itu adalah tidak adanya satupun tentara yang diadili karena mungkin melanggar hak asasi manusia selama perang di Indonesia. Bahkan sebaliknya: Untuk tindakannya selama Operasi Gagak, Geelhoed menerima lencana penghargaan Bronzen Leeuw, satu tingkat di bawah penghargaan tertinggi Willemsorde. Setelah penyerahan kedaulatan sejumlah pejabat tinggi mempertimbangkan mengadili Kapten Westerling, selain tindakannya di Sulawesi, ia juga terlibat usaha merebut kekuasaan di Bandung pada 1950. Niat ini segera dibatalkan. Dikhawatirkan jika militer diadili akhirnya akan dipertanyakan siapa penanggungjawab politiknya.
Kesimpulan pejabat tinggi Guus Belifante pada 1954 memberikan sarannya kepada Kementrian Kehakiman; “Sama sekali tidak ada dasar hukum darurat ataupun hukum pidana” untuk membenarkan tindakan Westerling. Meskipun sepak terjangnya dan penerus-penerusnya dilindungi “atasan yang berwenang”. Yang dimaksud Belifanti di sini adalah atasan militer dan politik. Maka pengadilan pasti akan menetapkan peran penguasa sipil. […] ini tidak akan menjadi tuntutan pidana, namun harus diperhitungkan nama-nama penguasa sipil akan terbongkar.
Singkatnya, saran itu menyiratkan adanya keputusan kabinet yang akan memetieskan perkara ini. Lima belas tahun kemudian pada 1969, setelah terbitnya Nota Ekses, dalam undang-undang masa kadaluwarsa kejahatan perang dihapus, kecuali kejahatan yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia.
Dimuat pertama kali di NRC Handelsblad, 17 Januari 2020. Alih bahasa oleh Yanti Mualim dan Aboeprijadi Santoso.