Tubuh-tubuh prajurit TNI dari Kompi Markas Resimen I Divisi X Sumatra terbujur kaku di tepi Sungai Wampu, Langkat. Letkol Djamin Gintings, sang komandan, memeriksa satu persatu anak buahnya yang tergeletak sekarat. Sembilan orang gugur termasuk tiga di antaranya yang hilang terbawa arus sungai. Enam orang lainnya mengalami luka berat. Tanda-tanda kekerasan yang mendera para prajurit malang itu, menurut Djamin Gintings lebih mirip ladang pembantaian.
“Selain tubuh mereka robek dan tembus diterjang peluru, tubuh yang kini berbaring tanpa nyawa itu kelihatan penuh dengan tusukan-tusukan bayonet dan ada yang ususnya terburai keluar,” kenang komandan Resimen I itu pada catatan hariannya yang kemudian diterbitkan dalam memoar berjudul Titi Bambu.
Sungai Wampu terletak di antara Kabupaten Langkat dan Tanah Karo. Ia berhulu di Seberaya, Tanah Karo dan berhilir di Langkat. Orang-orang Karo menyebutnya Sungai Lau Biang, yang menjadi saksi Pertempuran Titi Bambu pada 21 Agustus 1947.
Baca juga: Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo
Petaka itu bermula dari rencana militer Belanda yang hendak menyerang basis Resimen I. Pasukan Resimen I bertugas di wilayah operasi Tanah Karo. Belanda punya kepentingan terhadap wilayah ini karena merupakan daerah subur penghasil sumber pangan. Selain itu, Tanah Karo merupakan daerah mata air yang disalurkan ke Kota Medan. Dari sumber mata air Lau Kaban, mayoritas kebutuhan air bersih penduduk Medan dipasok lewat pipa-pipa air.
Kota Berastagi yang menjadi markas Resimen I sudah ditaklukkan Belanda. Markas darurat Resimen I kemudian dipindahkan ke Seberaya di Tigapanah.
Dengan kekuatan dua kompi, Belanda bergerak dari Kabanjahe menuju Seberaya. Namun, rencana itu sudah diantisipasi di Samura, sekira 2 km dari Kabanjahe atau 13 km dari Seberaya. Gerakan pasukan Belanda dilaporkan oleh seorang kurir telik sandi yang datang dengan menunggang kuda.
Untuk memotong ruang gerak mereka, Djamin Gintings mengeluarkan perintah penyerangan. Batalion III dan IV ditugaskan untuk melancarkan gempuran di antara Kabanjahe dan Samura.
Baca juga: Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo
Djamin Gintings mencatat, kontak senjata berlangsung sejak pukul 7 pagi. Pertempuran sengit berkecamuk. Pasukan Belanda dibantu tiga pesawat pemburu yang didatangkan dari Medan. Hingga pukul 9, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur. Mereka menyingkir ke Kampung Katepul lewat semak-semak di atas bukit sekitar daerah tersebut.
Pada saat bersamaan, prajurit Kompi Pengawal Markas Resimen I tiba di Tepi Lau Biang. Pasukan yang dipimpin Letnan Azis Siregar itu, menurut Gintings, ditugaskan untuk memberi tembakan-tembakan pancingan dari seberang sungai kepada serdadu Belanda yang terpojok. Dengan demikian, mereka akan mengira dalam posisi terkepung oleh prajurit TNI.
Tapi, Letnan Azis bersama kompinya memutuskan untuk menyeberangi sungai. Barangkali karena melihat sekeliling sungai dalam keadaan sepi dan aman. Padahal, titi penyeberangan sudah dirusak dan dihanyutkan sebelumnya oleh kaki tangan Belanda. Mereka menebang empat batang bambu lalu mengikatnya menjadi titi penyeberangan buatan. Satu persatu mereka kemudian menyeberangi mulut sungai yang lebarnya sekira lima meter itu. Tanpa disadari, serdadu Belanda di atas bukit telah mengintai mereka begitu mencapai seberang sungai.
Baca juga: Pembantaian Kilat di Rengat
Bunyi senapan menderu ketika prajurit anggota Kompi Markas itu coba mendaki bukit di hadapannya. Satu persatu mereka rebah kena terjangan peluru tentara Belanda. Mereka yang luput dari berondongan tembakan mencoba sekuat tenaga untuk mencari tempat perlindungan. Gintings mencatat, para prajurit yang masih selamat coba melakukan perlawanan. Tapi, mereka hanya dapat melepaskan tembakan ke atas tanpa mampu melihat siapa musuhnya. Baku tembak baru berhenti setelah tembakan balasan dari bawah tak terdengar lagi.
Saat itulah tentara Belanda turun dari bukit ke tepian sungai. Mereka mendapati setengah kompi prajurit Indonesia terkapar bersimbah darah. Alih-alih memberikan pertolongan, tentara Belanda melancarkan eksekusi secara bengis. Bilik Ginting, seorang penunjuk jalan, berhasil meloloskan diri sampai ke Markas Resimen I pada sore harinya. Setelah menerima kabar bencana itu, Djamin Gintings mengirimkan bala bantuan untuk evakuasi prajurit di Titi Bambu. Ia sendiri beserta beberapa orang prajurit turut menyambangi lokasi tersebut.
“Saya memeriksa satu persatu mayat ke-9 Prajurit Kompi Markas Resimen I yang telah gugur itu, berikut ke-6 prajurit yang menderita lukal-luka berat,” kenang Gintings terhadap prajurit yang kebanyakan –seperti Gintings– berasal dari Desa Suka itu.
Baca juga: Pertempuran Berdarah di Bukit Mardinding
Suasana bertambah haru lantaran bekal para prajurit itu terlihat hambur berserakan. Nasi, telur, dan ayam panggang yang terhampar di tanah itu jadi saksi kekejaman tentara Belanda. Setelah dievakuasi, mereka yang selamat di bawa ke Desa Suka untuk dirawat.
Letnan II Raja Sjahnan, komandan Batalion V Resimen I, turut menyaksikan situasi mencekam di Titi Bambu. Setibanya di lokasi, para serdadu Belanda itu telah berlalu. Tapi, Raja Sjahnan terperanjat sewaktu melihat kondisi mayat-mayat pasukan Kompi Resimen I itu. Dalam bukunya, Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan, ia menyebut peristiwa itu merupakan satu malapetaka bagi Resimen I.
“Mereka disiksa oleh serdadu Belanda jahanam itu,” tutur Raja Sjahnan penuh emosi.
Baca juga: Van der Plank dan Kejahatan Perang di Sumatra
Ia menyaksikan ada anggota ditusuk dengan bayonet sampai keluar matanya, ada yang dipotong telinganya. Ada pula yang dipukul dengan popor karaben kepalanya sampai ada yang keluar otaknya. Malah, ada pula yang ditusuk sampai ususnya terburai keluar.
“Ah, serdadu-serdadu Belanda itu sungguh kejam, bertindak di luar perikemanusiaan,” ujarnya.
Keesokan harinya, 22 Agustus 1947, diselenggarakan upacara pemakaman terhadap para prajurit gugur itu. Mereka dimakamkan secara militer di Seberaya. Letnan Azis Siregar salah satu di antara prajurit yang mengalami luka berat. Ia terkena tembakan pada pahanya. Ketika ditemukan, Azis dalam keadaan lemah karena kehabisan darah. Namun, ia berhasil selamat dan terus bertugas di ketentaraan hingga mencapai pangkat brigadir jenderal. Peristiwa nahas ini sendiri kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pertempuran Titi Bambu.