Pada 19 Februari 1949, Tentara Kerajaan Belanda masuk ke Desa Peniwen, Kecamatan Kromengan, Malang, Jawa Timur, yang mayoritas masyarakatnya beragama Kristen Protestan. Mereka terperangkap oleh tembakan mitraliur dan tekidanto (mortir Jepang) dari pasukan KCKS (Kesatuan Comando Kawi Selatan) yang dipimpin Letkol J.F. Warrouw. Mereka kehilangan lebih dari 12 orang.
“Karena sangat marah, mereka mengambil 12 pasien yang dirawat di rumah sakit kecil di desa Peniwen. Kedua belas pasien yang semuanya sipil orang sipil itu dijajar di tembok Rumah Sakit dan semuanya ditembak mati,” kata Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Saat itu, Hario Kecik yang bernama asli Soehario K. Padmodiwirio berpangkat mayor dan menjabat Kepala Staf Security KCKS.
Wim Banu, saksi hidup yang saat itu berusia 14 tahun, mengatakan bahwa Rumah Sakit Panti Husodo itu menempati bangunan Sekolah Rakyat sejak 1947. Ayahnya pernah mengajar di sekolah itu yang terletak di seberang rumahnya.
“Dikira Belanda, rumah sakit itu markas tentara Republik. Kira-kira Sabtu sore, jam 3-4, mereka datang dan perintahkan semua orang keluar. Dikumpulkan di halaman depan dan saya dengar jelas, ada suara tembakan satu per satu,” ujar Wim Banu kepada Historia.
Baca juga: Palang Merah Bertaruh Jiwa Demi Nyawa
Sebanyak 12 anggota Palang Merah Remaja (PMR) dan lima pasien rakyat sipil ditembak mati tentara Belanda. Dua di antaranya adalah kakak kandung Wim Banu, Suyono Inswihardjo dan iparnya, Slamet Ponidjo.
Pada monumen peringatan Peniwen Affairs nama-nama korban disebutkan: “Telah gugur di sini para pahlawan remaja PMI: Matsaid, Slamet Ponidjo, Suyono Inswihardjo, Sugiyanto, JW Paindono, Roby Andris, Wiyarno, Kodori, Said, Sowan, Nakrowi, Soedono. Rakyat yang gugur: Wagimo, Rantiman, Twiandoyo, Sriadji, Pak Kemis.”
Menurut Wim sebenarnya korban rakyat enam orang. “Ada satu warga lainnya yang ditembak begitu saja oleh tentara Belanda. Jadi jumlahnya enam yang dikuburkan bersama-sama,” kata Wim.
Setelah membantai, tentara Belanda kemudian beristirahat di rumah orangtua Wim Banu. “Tentara Belanda datangi rumah saya. Sebentar bicara dengan ayah saya yang memang bisa berbahasa Belanda. Masih ingat betul saya. Sempat disuruh-suruh dengan teriakan cari kayu bakar buat mereka masak,” kata Wim yang kini berusia 82 tahun.
Baca juga: Apa yang Salah dengan Lambang Palang Merah?
Keesokan harinya, serdadu Belanda itu angkat kaki dari Desa Peniwen. Tidak hanya membantai anggora PMR dan rakyat sipil, mereka juga merampok keperluan medis dan melakukan pemerkosaan.
“Seluruh persediaan obat-obatan yang tersedia dibawa pergi. Segala macam perabotan poliklinik dirusak dan dibakar habis. Tiga wanita anggota gereja diperkosa, sedangkan para suami dan tunangan korban ditembak mati di tempat,” tulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer.
Rumah sakit itu milik zending dari Kristen Protestan. Pendetanya melaporkan kejadian keji itu ke Misi Gereja Pembaharuan di Malang yang meneruskannya ke pembesar mereka di Oestgeest, Belanda, dengan tembusan ke pimpinan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) di Jakarta, Komisi Tiga Negara bentukan PBB, dan Dewan Gereja Dunia di Swiss.
“Tidak lama kemudian berita itu disiarkan oleh suratkabar di Malang dan Surabaya, malahan ada yang disiarkan suratkabar di luar negeri, Amerika dan Inggris sebagai ‘Skandal Pembunuhan Peniwen’ besar yang dilakukan oleh tentara Belanda usai Perang Dunia II,” kata Hario Kecik.
Baca juga: Penelitian tentang Kejahatan Perang Belanda di Indonesia
Menurut Julius Pour, dampak laporan itu bagai bola salju. Laporannya tambah bermakna karena bukan sebuah berita desas-desus yang dikutip wartawan dari sumber tidak jelas. Melainkan datang dari sebuah laporan resmi pimpinan tertinggi Gereja Pembaharuan Belanda.
“Sehingga disimpulkan, jika kepada saudara-saudara seiman saja tentara Belanda tega memperkosa dan melakukan pembunuhan, tidak bisa dibayangkan bagaimana tindakan mereka kepada orang lain,” tulis Julius Pour.
Pimpinan Tentara Kerajaan (KL) meminta maaf dan mengirim tim penyelidik, sekaligus berjanji akan menghukum mereka yang terbukti bersalah, dan memastikan kejadian itu tidak akan terulang lagi. Akan tetapi, permintaan maaf secara resmi dari Belanda baru datang pada 2011 berbarengan dengan permintaan maaf terhadap tragedi pembantaian Rawagede.
Palang Merah Belanda menyampaikan surat permintaan maaf pada 5 April 2016, setahun setelah Jaap Timmer, perwakilan Palang Merah Belanda menemui Wim Banu. Isinya permintaan maaf secara resmi yang bersifat pribadi kepada keluarga Wim Banu yang keluarganya menjadi korban, serta pernyataan bahwa mereka akan bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia cabang Kabupaten Malang untuk memugar monumen pembantaian di Peniwen.