ORANG Sulawesi Selatan sudah punya agama lokal sebelum agama-agama dari luar datang dan dianut hingga sekarang. Islam adalah agama yang kini paling banyak dianut penduduknya meski bukan agama luar yang datang pertama ke sana. Agama Kristen lebih dulu menarik minat beberapa bangsawan Makassar pada abad ke-16. Agama Kristen dan Islam sama-sama dikenal karena perdagangan internasional.
Sulawesi Selatan dengan Pelabuhan Makassarnya menjadi salah satu titik di timur dalam perniagaan internasional itu. Dari pelabuhan tersebut, orang Portugis di Malaka mendapatkan beras, kelapa, mangga, pisang, dan sayur-sayuran.
Di Makassar, orang Portugis –yang beragama Katolik– itu berurusan dengan bangsawan setempat, entah itu dari Gowa ataupun Tallo. Ketika Portugis punya pangkalan di Ternate, orang Makassar pun pernah datang berkunjung. Kala itu gubernur Portugis di Ternate adalah Antonio Galvao (1490-1557).
Baca juga: Seberapa Mahal Meminang Perempuan Bugis?
“Pada tahun 1537 beberapa utusan dan bangsawan dari Makassar datang ke Ternate. Mereka bertemu dengan dan terkesan oleh Antonio Galvao, tertarik belajar seluk-beluk agama Kristen, sampai menerima baptisan,” catat Jan Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.
Sekitar 1542, seorang pedagang Portugis bernama Antonio de Paiva berangkat dari Malaka ke Sualwesi Selatan. Dia hendak menuju Durate, di antara Toli-toli dan Dampelas, di barat laut Sualwesi. Dalam perjalanannya, Paiva singgah ke Kerajaan Siang, Pangkajene, Sulawesi Selatan, untuk mencari kayu cendana. Dalam pelayaran pulang pun Paiva singgah lagi di Siang. Paiva sempat terpaksa tinggal selama beberapa bulan di sana karena sakit.
Baca juga: Pencipta Aksara Perjuangan Kaum Bugis
Pada 1544, Paiva datang lagi ke Siang. Selain ke Siang, Paiva juga datang ke Suppa, utara kota Pare-pare Sulawesi Selatan. Baik Siang maupun Suppa dikenal sebagai wilayah orang-orang Bugis. Paiva akrab dengan raja Siang dan Suppa. Dia biasa berbincang-bincang dengan mereka. Kedekatan itu sampai membuat raja-raja itu pun tertarik dengan ajaran agama yang dianut oleh Paiva. Raja-raja itu bahkan minta dibaptis juga. Bangsawan yang dibaptis itu menjadi pintu masuk penyebaran agama Kristen di Sulawesi Selatan.
Paiva kemudian membawa empat pemuda dari kerajaan-kerajaan itu ke Malaka. Raja-raja itu juga membawakan hadiah kepada raja Portugis. Kepada gubernur Portugis di Malaka, mereka minta dikirimi pendeta dan juga militer.
“Dengan kata lain, kedua raja tersebut memanfaatkan persamaan agama yang baru mereka anut untuk membuat persekutuan militer, mungkin untuk menghadapi ancaman Gowa Tallo,” catat Pelras.
Baca juga: Azab Raja Cabul di Tanah Bugis
Kisah pembaptisan raja-raja Bugis dan bangsawan-bangsawa Makassar tadi sampailah ke telinga seorang misionaris yang masyur bernama Fransiscus Xaverius. Fransiscus Xaverius pun melakukan perjalanan ke Malaka. Dia urung ke Siang karena adanya perang antara Sidenreng dan Wajo. Namun sebuah kapal Portugis tiba di Sulawesi Selatan sekitar 1545. Salah satu kapalnya membawa seorang pendeta bernama Vincente Viegas. Pendeta ini berhasil mengajak raja Alitta, di sekitar kota Pinrang, dan Bacukiki (di perbatasan Pare-pare, Barru dan Sidenreng-Rappang). Keduanya merupakan sekutu Suppa. Konon Vincente Viegas juga membaptis raja Tallo.
Toh, hubungan baik Portugis dan Suppa ada masanya. Hubungan itu berakhir lantaran kelakuan salah satu perwira Portugis yang membawa lari putri penguasa Suppa. Ketika pecah kabar putri tersebut lari dari rumahnya, kapal Portugis buru-buru angkat kaki dari Suppa. Kawin lari atau silariang adalah penghinaan bagi keluarga gadis yang dibawa lari. Hukumannya adalah kematian bagi si pelaku yang membawa lari. Kapal Portugis kemudian tak singgah ke Suppa lagi. Di Malaka, putri Suppa yang dibawa lari itu dinikahi si perwira yang membawa lari. Sementara Paiva yang tak lagi di Siang pada 1544 sudah makin dekat dengan Gowa-Tallo karena merasa nyaman di pelabuhan sekitar Gowa-Tallo.*