Masuk Daftar
My Getplus

Bayang-bayang Mega-Bintang

Tak diperbolehkan ikut Pemilu 1997. Para pendukung fanatik Mega menyeberang ke partai bintang atau memilih golput.

Oleh: Historia | 30 Apr 2023
Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan. (pdiperjuangantabanan.id).

KANTOR PDI di Jalan Diponegoro luluh-lantak akibat Peristiwa 27 Juli. Agar tetap bekerja sebagai ketua umum PDI, meski tak diakui oleh pemerintah, Megawati Soekarnoputri membuka kantor baru di bilangan Condet, Jakarta Timur. Lalu pindah ke sebuah gedung di Pejaten.

Langkah Mega mendapat reaksi dari pejabat pemerintah. Kepala Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid menyatakan pembukaan kantor tersebut tidak sah. Sementara Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung melarang kegiatan apapun di markas PDI Mega.

“Toh kami jalan terus. Tak ada kata jera dalam perjuangan,” ujar Panda Nababan dalam otobiografinya Lahir sebagai Petarung.

Advertising
Advertising

Pada 26 September 1996, Megawati meresmikan kantor baru tersebut. Namun, sehari setelahnya, penguasa menyegel kantor tersebut. Tak jera, Mega berkantor sementara di lantai 7 Gedung BRI Semanggi. Tapi dibubarkan juga oleh aparat Sospol Depdagri.

“Akhirnya markas kami pun pindah ke rumah Mega-Taufiq di Jalan Kebagusan, yang memang sudah menjadi pusat pergerakan massa,” ujar Panda. “Rumah ini menjadi markas resmi PDI-Megawati sekaligus menjadi kantor DPP-nya.”

Baca juga: Komnas HAM: Peristiwa 27 Juli 1996 Adalah Pelanggaran HAM

Di markas baru itulah Megawati menggelar kegiatan dan pertemuan-pertemuan politik. Salah satu yang terpenting adalah peringatan ulang tahun PDI pada 10 Januari 1997. Acara yang dipimpin Mega ini dihadiri banyak orang.

Dalam peringatan itu, Megawati mengucapkan pidato politik yang menegaskan bahwa DPP PDI periode 1993-1998 di bawah kepemimpinannya adalah yang sah, legal, dan konstitusional, yang keberadaannya dimaksudkan sebagai salah satu Organisasi Peserta Pemilu (OPP) pada pemilu 1997.

Mega beralasan, yang mengikuti tahapan pemilu sejak awal, dari pembentukan lembaga-lembaga pemilu sampai proses pendaftaran pemilih, adalah DPP PDI periode 1993-1998. Bahkan penyerahan dan pengesahan tanda gambar OPP, yang memastikan PDI sebagai salah satu peserta resmi Pemilu 1997, dilakukan oleh pucuk pimpinan tertinggi DPP PDI 1993-1998 di hadapan menteri dalam negeri pada 10 Juni 1996.

“Dengan demikian saya tegaskan dan sekali lagi saya tegaskan, bahwa satu-satunya PDI yang berhak menjadi peserta Pemilu 1997 adalah PDI yang dipimpin oleh kepemimpinan partai masa bakti 1993-1998 beserta segenap jajaran strukturalnya. Bukan PDI yang lain, dan bukan pula PDI yang diatasnamakan pihak lain,” ujar Mega.

Manifesto Politik

Semula Mega ingin mengadakan peringatan tersebut di Denpasar, Bali. Tapi, pengajuan izin yang disampaikan ke Polri ditolak. Karena itu peringatan digelar secara sederhana dan terbatas di rumahnya di Kebagusan. “Tapi oleh Polri, acara itu dianggap sebagai rapat gelap,” ujar RO Tambunan, pengacara Mega yang memimpin Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), dalam biografi Membela Demokrasi.

Pada 18 Februari, Taufiq Kiemas sebagai pemilik rumah diperiksa oleh polisi di Markas Polres Jakarta Selatan. Di tempat yang sama, dua hari kemudian, Megawati dan Taufiq Keimas diperiksa. Didampingi 60 pengacara yang tergabung dalam TPDI, Megawati diperiksa selama hampir lima jam dengan tuduhan mengadakan pertemuan tanpa izin.

Selama proses pemeriksaan, para pendukungnya yang sudah berkumpul sejak pagi menunggu di luar pagar sambil sesekali menerikaan yel-yel dan menyanyikan lagu kebangsaan.

“Mega yang saat itu berbaju putih dipadu rok merah dan sepatu hitam banyak menebar senyum kepada ratusan pendukungnya,” catat Mohamad Sobary dalam Tak Ada Jalan Pintas: Perjalanan Panjang Seorang Perempuan.

Baca juga: Huru-Hara 27 Juli 1996 dalam Ingatan Wartawan

Tekanan itu tak menyurutkan Megawati untuk menatap ke depan. Baginya, perlu persatuan warga banteng untuk membesarkan PDI. Tak ada PDI Soerjadi atau PDI Megawati. Hanya ada satu PDI, sehingga cobloslah gambar kepala banteng sebagai lambang PDI, katanya saat berziarah ke makam ayahnya di Blitar, Jawa Timur, pada 25 Februari 1997.

Pernyataan Mega itu, tulis Irawan Saptono dan ‎Togi Simanjuntak dalam Memberi yang Terbaik: Pergulatan Pemikiran dan Visi Sukowaluyo Mintaharjo, mendapatkan pujian dari Soerjadi. “Saya tidak hanya mengatakan bahwa pernyataan Mbak Ega itu betul, bahkan Mega cs. yang selama ini seolah berada di luar PDI adalah keluarga besar partai bertanda gambar kepala banteng. Mereka bukanlah musuh,” ujar Soerjadi.

Sikap kedua pemimpin partai itu memang terasa sejuk; setidaknya di depan publik. Masing-masing ingin mendingin suasana agar dan menenangkan warga banteng. Bagi kubu Megawati, untuk menentukan mana DPP yang sah harus menunggu keputusan pengadilan.

Tim pengacara yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) di bawah pimpinan RO Tambunan sudah mengajukan gugatan terhadap hasil Kongres Medan ke Pengadilan Jakarta Pusat. Gugatan setebal 21 halaman berjudul Demokrasi Pancasila Menggugat yang ditandatangani oleh Megawati dan Alex Litaay didaftarkan pada 4 Juli 1996.

Baca juga: Mereka yang Diburu Pasca Kudatuli

Selama proses itu masih berjalan, PDI Mega tetap melakukan persiapan pemilu. Di Kebagusan, Mega dan jajarannya menyusun visinya yang lebih luas dan konsepsional dalam apa yang dikenal dengan Manifesto Politik Megawati.

Manifesto setebal 20 halaman yang ditulis dalam bahasa Inggris dengan judul Restoring Democracy, Justice and Order in Indonesia: an Agenda for Reform (Menegakkan Demokrasi, Keadilan dan Ketertiban di Indonesia: Sebuah Agenda Reformasi) itu berisi empat agenda reformasi di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Manifesto itu ditandatanganinya pada 3 April 1997. Selain akan disampaikan ke publik, Manifesto itu dikirim ke Kongres Amerika Serikat.

Mega juga mengambil langkah-langkah taktis dalam menghadapi Pemilu 1997. Kendati pemerintah hanya mengakui PDI Soerjadi sebagai kontestan pemilu, PDI Mega tetap mengajukan daftar calon anggota legislatif dengan formulir yang dibuat sendiri karena Lembaga Pemilihan Umum (LPU) hanya memberikan formulir kepada PDI Soerjadi.

Baca juga: Presiden Soeharto, PDI Soerjadi, dan Setan Gundul

Langkah itu dilakukan sebagai bukti bahwa pihak memenuhi 12 tahapan pemilu. Selain itu, keputusan pengadilan tentang gugatan Megawati terhadap DPP PDI hasil Kongres Medan belum turun.

“Karena itulah, kami hendak menyerahkan daftar caleg sementara yang terdiri dari 750 orang dari Sabang sampai Merauke,” ujar Soetardjo Soerjogoeritno, yang memimpin delegasi PDI Mega ke kantor panitia pemilihan umum, dikutip Peristiwa 27 Juli yang disusun Tim ISAI.

Namun pengajuan itu ditolak. Pemerintah hanya menerima daftar calon dari PDI Soerjadi. “Segala sesuatu yang ada kaitannya dengan PDI, saya hanya akan berhubungan dengan Ketua Umum DPP PDI Soerjadi,” ujar Mendagri Yogie S. Memet yang juga jadi ketua LPU, dikutip Dharmasena edisi Juli 1996.

Atas penolakan itu, Mega mengeluarkan beberapa pernyataan sikap. Pada 23 April 1997, Mega mengeluarkan Pesan Harian berisi seruan kepada pendukungnya untuk tidak ikut kampanye atas nama PDI. Dua hari kemudian, DPP PDI Mega mengeluarkan pernyataan pers mengenai dimulainya pelaksanaan kampanye Pemilu 1997.

“DPP PDI pimpinan Mega tidak ikut melaksanakan kampanye atas nama PDI. Namun, kita harus tetap berjuang bersama mewujudkan Pemilu yang demokratis dan konstitusional sebagaimana amanat GBHN 1993, yang dijiwai dan disemangati oleh UUD 1945, khususnya selama masa kampanye ini,” tulis pernyataan itu.

Mega juga mengharapkan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, sebagai penyelenggara Pemilu untuk bertindak dan bersikap netral terhadap semua kontestan dan organisasi peserta pemilu, langsung maupun tidak langsung.

Pernyataan sikap tersebut bisa berpengaruh pada pelaksanaan kampanye PDI Soerjadi yang bakal sepi. Namun, pendukung Mega juga butuh sikap tegas ke mana suara mereka akan disalurkan.

Mega-Bintang

Ada keinginan kuat dari para petinggi Golkar untuk mengembalikan perolehan suara yang turun pada dua pemilu sebelumnya. Bahkan Harmoko, ketua umum Golkar waktu itu, bermaksud mengembalikan “suara yang hilang” tersebut pada Pemilu 1997. Target ambisius dibebankan kepada Jawa Tengah, yang dalam pemilu 1992 mengalami penurunan suara 12%.

Tak mau kehilangan muka lagi, Soewardi, gubernur Jawa Tengah yang juga ketua Dewan Pembina Golkar Jawa Tengah, getol melakukan apa yang dikenal dengan “kuningisasi”. Program ini dicanangkan pada Juli 1995 dengan mengecat kuning tempat-tempat atau fasilitas umum. Dalihnya untuk menyambut “tahun emas kemerdekaan” atau HUT RI ke-50. Nyatanya, kuningisasi terus dijalankan di tahun-tahun berikutnya sehingga dianggap sebagai kampanye terselubung Golkar.

Di Solo, kuningisasi dilawan dengan putihisasi yang diinisiasi Mudrick Sangidoe, ketua DPC Partai Politik Pembangunan (PPP). Caranya dengan memutihkan fasilitas umum dan marka jalan yang sebelumnya dicat kuning oleh pemerintah setempat. DPC PPP bahkan menggugat Gubernur Soewardi ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Keberanian Mudrick mendapatkan simpati dari pendukung Mega. Salah satunya Tomo Ngadimo, salah satu pendukung Mega. Aliansi yang kemudian dikenal sebagai Mega-Bintang pun dicetuskan di Solo pada 27 April 1997 atau tepat pada hari pertama masa kampanye.

Baca juga: Kala Orde Baru Terlibat Kudeta Partai

Kendati aliansi ini bersifat sementara serta jangka pendek, Mega-Bintang lekas jadi fenomena. Dari Solo, gemuruh Mega-Bintang menyebar ke daerah lain. Dalam arak-arakan dan konvoi selama kampanye, massa mengenakan dan membawa atribut warna merah-hijau serta poster dan spanduk bertuliskan “Mega-Bintang” atau gambar Megawati dan Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum. Di beberapa daerah terjadi bentrok pendukung Mega-Bintang dengan pendukung PDI Soerjadi maupun Golkar.

Melihat perkembangan itu, Mudrick kemudian melaporkan bukan saja kepada Hasan Metareum tapi juga Megawati. Pertemuan dengan Mega terjadi di Kebagusan pada 6 Mei 1997.

Pertemuan berlangsung sekitar dua jam. Menurut Mudrick, dicatat Bhudhi Kuswanto dkk dalam Politik ala Mudrick, dalam petemuan itu tak ada pernyataan politik penting. Dia hanya bersilaturahmi sesama teman lama sekaligus minta doa restu.

“Saya menghadap Mbak Mega untuk mohon doa restu, mengingat banyak warga Mega yang datang ke rumah kami dalam rangka menegakkan demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia,” ujar Mudrick.

Ada kasak-kusuk pertemuan itu jadi isyarat pendukung Mega akan mengalihkan suara ke PPP. Namun Hasan Metareum menampik. Tak ada perintah dari DPP PPP untuk merangkul pendukung Mega. “Ini konsekuensi massa mengambang. Tidak ada massa PPP murni, Golkar murni, atau PDI murni di lingkungan anak muda,” kata Hasan Metareum dikutip Kompas edisi 9 Mei 1997.

Baca juga: Orde Baru Mengobok-obok Parmusi

Kendati tak ada koalisi resmi, fenomena Mega-Bintang bikin pemerintah cemas. Penggunaan spanduk “Mega-Bintang” kemudian dilarang dalam kampanye.

Selain fenomena Mega-Bintang, kampanye Pemilu 1997 diwarnai kerusuhan di berbagai tempat, terutama antara pendukung PPP dan Golkar. Yang terbesar terjadi di Pekalongan, Jakarta, dan Banjarmasin.

Mirisnya, ada juga kekerasan, bahkan penculikan, yang dialami sejumlah simpatisan dalam kampanye Mega-Bintang sebagaimana dicatat Anak Agung Gde Putra dkk dalam Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia. Elizabeth Walean, yang mengenakan kaos merah bergambar Mega, diculik saat ikut kampanye PPP di Jalan Otista Raya Jakarta pada 14 Mei 1997. Dia kemudian “dipulangkan” sekitar pukul 23.00. Simpatisan PDI pro-Mega lain, Yani Afri dan Sonny, mengalami praktik penghilangan paksa dan hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya setelah ditangkap pada 23 April 1997.

“Walaupun Golkar kembali menang dalam Pemilu 1997, kampanye Pemilu 1997 merupakan kekalahan penting Orde Baru karena pemaksaan politik “massa mengambang” telah runtuh,” catat Anak Agung Gde Putra dkk.

Sementara PPP memperoleh limpahan dukungan dari simpatisan Mega, PDI Soerjadi loyo. Di beberapa tempat mereka membatalkan kegiatan kampanye. Kalaupun kampanye dilakukan, sepi peminat.

Menyimpan Kartu Kuning

Sehari sebelum masa kampanye pemilu berakhir, Mega menyampaikan sikap politiknya. Di kediamannya di Jalan Kebagusan, dengan mengenakan pakaian putih, Mega membacakan Pesan Harian di hadapan sekitar seribu pendukungnya pada 22 Mei 1997. Dengan nada suara lantang, sedikit bergetar, dan airmata bergelayut di pelupuk mata, Mega menyampaikan dia tak akan menggunakan hak politiknya sebagai warga negara.

“Karenanya saya akan tetap memegang dan menyimpan kartu kuning yang saya miliki dengan baik sebagai kesaksian kondisi demokrasi kita saat ini. Keputusan ini saya ambil setelah terjadinya peniadaan secara sepihak untuk saya sebagai warga negara dan Ketua Umum DPP PDI 1993-1998 yang sah dan konstitusional,” kata Mega.

“Saya mengajak warga banteng untuk selalu berpegang pada hati nurani saat saudara menggunakan hak politik dalam pemilu kali ini. Apalah gunanya kemenangan jika nilai kejujuran, ketulusan, rasa aman, ketenangan dan cahaya harapan rakyat tidak bersinar seperti benderang matahari pagi di atas cakrawala negeri ini.”

Sikap politik Mega mendapat reaksi dari beragam kalangan, pro dan kontra. Golput atau golongan putih lahir jelang pemilu 1971. Gerakan ini diinisiasi Arief Budiman dan beberapa rekannya dari Angkatan 66 sebagai bentuk protes atas Undang-undang Pemilu yang tak demokratis. Gerakan ini mendorong pemilih untuk mencoblos kertas putih alih-alih memilih salah satu kontestan pemilu.

Baca juga: Megawati Soekarnoputri: Tanpa Arsip Kita Tidak Tahu Siapa Kita

Saat itu pejabat pemerintah menyebut golput sebagai “gerakan kentut”. Bahkan dipandang sebelah mata. Saat itu, dan selama Orde Baru, pemerintah menggunakan mesin politiknya, dari perangkat birokrasi hingga militer, demi kemenangan partai penguasa, Golkar, sekaligus melanggengkan kekuasaan. Setiap pemilu sudah dipastikan siapa pemenangnya. Tapi golput tak pernah absen sebagai bentuk perlawanan.

Pemerintah sendiri selalu cemas dengan golput. Rendahnya partisipasi masyarakat dianggap sebagai kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pemilu. Meski mengakui hak untuk tidak memilih, para pejabat pemerintah menegaskan tak akan membiarkan siapapun yang mempengaruhi orang lain untuk golput. Maka, aparat keamanan menangkap 24 mahasiswa di kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang berdemonstrasi dan mengajak boikot pemilu dengan tuduhan menghasut.

Pernyataan sikap golput Mega bukan tanpa perhitungan. Kendati menyebut ini adalah sikap pribadi, dia tahu pernyataannya akan mempengaruhi pilihan politik para pendukung fanatiknya. Pernyataan Mega ibarat perintah halus yang harus diikuti. Tak heran golput meningkat dalam Pemilu 1997.

Pemungutan suara diadakan pada 29 Mei 1997. Sesuai sikap politik yang diambilnya, Mega tak mendatangi tempat pemungutan suara. Kebetulan hari itu Mega berada di Blitar, Jawa Timur, untuk melayat kerabat yang meninggal dunia. Namun, penyelenggara pemilu tetap memintanya untuk menggunakan hak memilih.

“Selama penguburan saya tetap ditunggu,” kenang Mega dalam pidato HUT ke-46 PDIP di Jakarta International Expo, Jakarta Pusat, 10 Januari 2019, “diminta untuk tetap coblos di Blitar. Tetapi tidak mungkin karena harus mengantar ke makam.

Baca juga: PDI Perjuangan Ahli Waris Partai Marhaenis

Seperti dirinya, Mega juga mendapatkan kabar bahwa warga PDI pun melakukan perlawanan dengan tak menggunakan hak pilih. “Jadi di tempat kami, PDI di tempat-tempat coblos itu turun drastis. Malah di satu tempat hanya dua suaranya. Bukan sedih, warga PDI bersorak-sorai,” ujarnya.

Bukan hanya tak mencoblos. Beberapa warga banteng membakar surat undangan memilih sebagai wujud penolakan terhadap Pemilu 1997. Kejadian ini disaksikan Pamudji Slamet, waktu itu wartawan Bali Post, di Jakarta. “Seperti api, aksi itu begitu cepat membakar ke seluruh pelosok Tanah Air,” ujarnya, dikutip dari Megawati dalam Catatan Wartawan: Bukan Media Darling Biasa.

Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Golkar menang telak, kali ini dengan perolehan suara 74.51 persen atau 325 kursi. PPP ada di urutan kedua dengan 22.43 persen suara atau 89 kursi. Sedangkan PDI merosot drastis dengan hanya meraup 3,06 persen suara atau 11 kursi. PDI kehilangan 45 kursi dibandingkan pemilu 1992 dan menjadi perolehan suara terburuk sepanjang pemilu Orde Baru.

Soeharto terpilih kembali sebagai presiden dalam Sidang Umum Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) yang digelar Maret 1998. Namun krisis politik yang sudah dimulai sebelumnya dan terus berkecamuk, ditambah krisis ekonomi, memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri pada Mei 1998.

Bintang terang seolah menyinari PDI Mega.*

TAG

megawati soekarnoputri pdi perjuangan

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Setelah  Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Dulu Hoegeng Jadi Menteri Iuran Negara Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial