Masuk Daftar
My Getplus

Orde Baru Mengobok-obok Parmusi

Keterlibatan pemerintah dalam kepengurusan partai politik terjadi pada masa awal Orde Baru. Korbannya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 12 Mar 2021
H.M.S. Mintaredja menerima kunjungan pelajar dan mahasiswa pada September 1970. Dia ditunjuk sebagai ketua umum Parmusi pada November 1970. (Perpusnas RI).

Kongres Luar Biasa Partai Demokrat menunjuk Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko sebagai ketua umum. Keputusan ini menimbulkan kecaman keras dari kubu pendukung Agus Harimurti Yudhoyono. Teuku Riefky Harsya, sekjen Partai Demokrat, menyebut ada keterlibatan pemerintah dalam mengobok-obok Partai Demokrat. Sebab, Moeldoko menjabat Kepala Staf Kepresidenan.

Keterlibatan pemerintah mengobok-obok partai kali pertama terjadi pada masa awal Orde Baru. Kala itu korbannya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Cerita berawal dari permintaan tokoh-tokoh eks Masyumi untuk merehabilitasi partai dan tokoh-tokoh Masyumi yang terlibat dalam PRRI/Permesta kepada Mayor Jenderal TNI Soeharto pada 22 Desember 1966.

Soeharto, pemegang Supersemar sekaligus pejabat presiden, menolak permintaan tersebut. Melalui suratnya pada 6 Januari 1968, Soeharto menyatakan, “Alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada satu pendirian, bahwa ABRI tidak menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi”.

Advertising
Advertising

Tapi Soeharto berjanji menjamin hak-hak politik dan demokrasi tokoh-tokoh Masyumi. Menyikapi surat tersebut, tokoh-tokoh Masyumi berpikir mendirikan partai politik baru. Sebab, keinginan merehabilitasi Masyumi sudah terkubur dalam. Partai itu diusulkan bernama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).

Baca juga: Kala Orde Baru Terlibat Kudeta Partai

Ide pendirian partai baru diterima eksponen Masyumi dan ormas penyokongnya dalam Badan Koordinasi Amal Muslimin. Nama-nama pengurus pun diajukan oleh masing-masing ormas kepada tim panitia pembentukan. Antara lain Fakih Usman dan Anwar Harjono. Soeharto kurang suka dua nama ini sehingga menolak susunan pengurus Parmusi.

Soeharto meminta para tokoh Masyumi saat partai itu dilarang tidak duduk menjadi pengurus. Jika masih ada nama-nama mereka, dia tak akan mengesahkan partai tersebut. “Dengan agak sedikit tertekan akhirnya para pemimpin ormas pendukung Parmusi tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menyetujui syarat yang dikemukakan oleh pemerintah,“ tulis Solichin Salam dalam Sedjarah Partai Muslimin Indonesia.

Akhirnya partai baru itu resmi berdiri di Jakarta pada 20 Februari 1968 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 70 Tahun 1968. Ketua dan sekjen dari Muhammadiyah, yaitu H. Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun. Nama-nama di bawahnya sama sekali nyaris tak dikenal khalayak sebagai tokoh Masyumi.

Pengumuman nama-nama pengurus Parmusi mengecewakan para loyalis Masyumi. Tadinya mereka berharap bisa melihat nama Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Natsir, atau Sjafruddin Prawiranegara di susunan pengurus partai. “Tergantung pada nama-nama inilah Partai Muslimin Indonesia. Tidak ada seorang pun yang menyamai mereka,” kata seorang loyalis Parmusi di Sumatra Utara kepada As-Siyasah, 1 Mei 1973.

Baca juga: Ketika PNI Terbelah

Harapan loyalis untuk melihat nama-nama tokoh Masyumi bertengger di jajaran pengurus sempat menguar ketika Soeharto mengatakan susunan pengurus itu bukan untuk selamanya. Pengurus bisa saja berganti bila muktamar pertama Parmusi telah terlaksana.

“Adapun nanti, apabila saudara-saudara berkongres, dan pemimpin-pemimpin Masyumi itu akan terpilih semuanya, itu adalah soal intern organisasi. Itu adalah soal kedaulatan rakyat. Saya sudah tidak dapat campur tangan lagi,” kata Soeharto.

Mendapat janji surga begini, pengurus Parmusi pun segera menetapkan waktu kongres atau muktamar. Kongres pertama Parmusi berlangsung di Malang, Jawa Timur, 1–7 November 1968. Hasil muktamar secara aklamasi menetapkan Mohammad Roem, eks Masyumi, dan Hasbullah sebagai ketua umum dan sekjen baru.

Mengetahui hasil muktamar menempatkan orang-orang Masyumi di susunan pengurus, Soeharto lekas mengirim telegram. Isinya, “belum waktunya adanya perubahan susunan Pimpinan Partai Muslimin Indonesia... Apabila ada perubahan pimpinan yang bertentangan dengan Keputusan Presiden No. 70 Tahun 1968 tersebut, berarti suatu pelanggaran dan tidak dapat dibenarkan.”

Karena sikap pemerintah tersebut, Parmusi menahan pengesahan pengurus baru. Roem pun belum bersedia menerima posisi ketua umum jika tak ada lampu hijau dari pemerintah. “Jangan bertindak konfrontatif terhadap pemerintah,” pinta Roem kepada anggota Parmusi dalam “Nasib Partai Muslimin Indonesia” yang termuat dalam Bunga Rampai Dari Sejarah Buku Keempat.

Baca juga: Kisah Partai Pohon Kelapa

Roem juga belum memperoleh surat bersih diri dan lingkungan dari pemerintah. Surat itu penting untuk membuktikan seseorang tidak terlibat dalam organisasi terlarang dan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Tanpa surat itu, seseorang akan sulit bergerak di dunia politik.

Selama masa menunggu lampu hijau dari pemerintah, Parmusi tak punya kepengurusan. Majelis Pertimbangan Partai memilih untuk membebankan kepengurusan ke pengurus sebelum muktamar. Artinya, Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun tetap menjadi ketua umum dan sekjen sampai keluarnya keputusan dari pemerintah dan kesediaan Roem.

Tapi bagi H.J. Naro dan Imran Kadir, dua orang anggota Parmusi, memandang masa menunggu secara berbeda. Mereka yakin Parmusi dalam keadaan bahaya jika terus-menerus ingin mempertahankan hasil Muktamar Malang. Karena itu, mereka mengambil tindakan dengan membentuk pengurus tandingan pada 5 Oktober 1970. Mereka juga menyebut Djarnawi sebagai orang yang sulit bekerja sama dengan pemerintah.

Karuan pengurus lama berang. Mereka menyebut pembentukan pengurus baru hanya bisa lewat muktamar. Mereka menilai tindakan Naro inkonstitusional. Sedangkan Djarnawi secara khusus balik menuding Naro sebagai sosok yang tak punya loyalitas kepada Parmusi.

“Ia hanya datang sekali saja ke kantor partai, dan kedudukannya sebagai anggota DPR GR adalah mewakili Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar,” kata Djarnawi dalam Abadi, 31 Oktober 1970.

Baca juga: Memasung Kaki Banteng

Naro juga bukan sosok yang dikenal luas oleh pengurus dan anggota Parmusi di cabang, ranting, dan daerah. Mayoritas cabang Parmusi pun menolak pengurus tandingan bentukan Naro. Pengurus pusat Parmusi kemudian memecat Naro dan Imran Kadir.

Tapi Naro tetap percaya diri. Dia bilang pemecatan itu tidak sah sebab kepengurusan yang mengeluarkan pemecatan terhadap dirinya pun tak punya legalitas. Dia juga mengklaim telah mendapat restu dari pemerintah. “Pengurus baru di bawah pimpinan saya sudah direstui oleh pemerintah,” kata Naro dalam Indonesia Raya, 22 Oktober 1970.

Pengurus Parmusi lama membawa masalah ini ke Menteri Dalam Negeri Amirmachmud yang menyarankan agar masalah ini diteruskan ke Presiden Soeharto. Pengurus lama Parmusi menolak karena melihat masalah ini soal internal.

Mengabaikan keberatan pengurus lama, Presiden Soeharto justru menunjuk H.M.S. Mintaredja sebagai ketua umum Parmusi. Alasannya, untuk menghindari kemarahan warga Muhammadiyah karena pemecatan Naro dan Imran dari Parmusi. Keduanya merupakan anggota Muhammadiyah.

Yang unik, Muhammadiyah tidak merasa kehilangan kader di Parmusi setelah pemecatan Naro dan Imron. Pimpinan Pusat Muhammadiyah bahkan menolak kepemimpinan Mintaredja di Parmusi sekalipun dia anggota Muhammadiyah. A.R. Fakhrudin, ketua umum Muhammadiyah, meminta Soeharto menyerahkan kembali Parmusi kepada duet Djarnawi dan Lukman Harun.

Baca juga: Ahli Waris Partai Marhaenis

Soeharto menolak semua permintaan dan keberatan mayoritas pengurus Parmusi lama. Dia tetap meminta Mintaredja berjalan sebagai ketua umum. Keputusan ini memperparah konflik internal Parmusi. Apalagi Mintaredja orang luar Parmusi. Dia bukan kader Parmusi. Tiba-tiba malah menjadi ketua umum. Dukungan untuknya hanya berasal dari kelompok Naro dan Imran.

Ken Ward dalam The Foundation of the Partai Muslimin Indonesia menjelaskan alasan campur tangan pemerintah terhadap Parmusi. “Pemimpin-pemimpin Masyumi memiliki reputasi keras, atau bisa juga disebut sebagai ‘tukang bikin masalah’ terhadap jalannya pemerintahan Soeharto, terutama pertanyaan seputar demokrasi dan pemilu,” tulis Ken.

Roem menilai pemerintah telah campur tangan terlalu jauh. Dia berpendapat “Demokrasi Pancasila sekarang sedang parah.” Walaupun berbagai kecaman terhadap kepengurusan Mintaredja berdatangan, Mintaredja tak peduli. Dia tetap menjadi ketua umum Parmusi hingga pemilu 1971 dan ikut mengarahkan Parmusi berfusi dengan partai Islam lainnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973.

TAG

partai politik partai masyumi parmusi

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Musuh Napoleon di Waterloo Hina Diponegoro Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Sekolah Dokter Dulu Sekolah Miskin Setelah  Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Dulu Hoegeng Jadi Menteri Iuran Negara Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial