Masuk Daftar
My Getplus

Ketika PNI Terbelah

Bagaimana sebuah partai nasionalis terbesar pada masanya terpecah menjadi dua kelompok. Tidak luput dari campur tangan penguasa.

Oleh: Martin Sitompul | 09 Mar 2021
Rapat Umum Partai Nasional Indonesia (PNI) dalam rangka kongres ke V bulan Mei 1951. Sumber: Perpusnas RI.

Kisruh Partai Demokrat terus berlanjut. Setelah isu kudeta mencuat, kini Partai Demokrat bergumul dalam dualisme kepemimpinan. Agus Harimurti Yudhoyono masih tercatat sebagai ketua umum yang resmi. Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terpilih sebagai ketua umum versi Kongres Luar Biasa yang diusung kader pecatan. Masing-masing kubu saling klaim sebagai pemegang mandat partai yang sah.  

Prahara yang dialami oleh Partai Demokrat pernah sejatinya melanda Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai berlambang banteng ini sempat menjadi simbol ideologi nasionalis setelah memenangkan pemilihan umum 1955. Namun pada awal 1960, PNI mulai goyah karena adanya konflik di tubuh partai.

Pada 4 Agustus 1965, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PNI memecat beberapa anggota dewan pimpinan. Diantaranya ialah Osa Maliki, Sabilal Rasjad, Mh. Isnaeini, Karim Moh. Durjat, Hardi, Hadisubeno Sosrowedjojo, Umar Said, Sugeng Tirtosiswojo, dan Sutrisno. Mereka dipecat lantaran menentang “Deklarasi Marhaenis” yang menyisipkan unsur Marxisme dalam garis perjuangan PNI. Tudingan “Marhenis Gadungan” pun dilekatkan pada kelompok ini.    

Advertising
Advertising

“Keputusan pemecatan tersebut tidak ditaati (ditolak) oleh yang bersangkutan dan mereka menyatakan tidak ada manfaatnya rapat pleno DPP tanggal 4 Agustus itu,” kata Soenario, tokoh pendiri PNI dalam Banteng Segitiga.

Baca juga: 

Memasung Kaki Banteng

Sudah goyah, PNI makin goncang karena peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. PNI yang dipimpin Ali Sastroamidjojo dan Sekjen Surachmat menyatakan berdiri di belakang Presiden Sukarno dan politik Nasakom. Sementara itu, kader PNI yang dipecat  pada 6 Oktober 1965 mendeklarasikan pembentukan DPP PNI baru dibawah kepemimpinan Osa Maliki dan Usep Ranuwidjaja sebagai sekjen.

Dengan demikian, PNI terbagi dua faksi. PNI Ali-Surachman yang berstatus legal kemudian diplesetkan kelompok penandingnya menjadi PNI ASU. Di pihak lain, kubu tandingan yang lebih dikenal sebagai PNI Osa-Usep berstatus “riil murni”. Pertentangan keduanya sempat menyebabkan bentrokan di tingkat akar rumput.

Paulus Widyanto mencatat, pendukung Ali-Surachman menyerang markas besar kelompok Osa-Usep di Jalan Sawah Lunto. Mereka melempari rumah tersebut dengan batu sehingga genting dan kaca jendela pecah. Perang pamflet antara kedua kelompok ini juga berkembang gencar.

“Karena GMNI Osa-Usep ikut serta dalam aktivitas KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) maka eksistensinya diterima oleh barisan dan unsur-unsur lain dalam Orde Baru,” kata Paulus dalam “Osa Maliki dan Tragedi PNI” dimuat Prisma Edisi Khusus 20 Tahun, 1971-1991. Akibatnya, PNI Ali-Sartono jatuh sedangkan DPP PNI Osa-Usep naik pamornya.

Baca juga: 

PNI Pasca-Peristiwa 1965

Pada April 1966, PNI menyelenggarakan Kongres Pemersatuan di Bandung. Waperdam urusan Keamanan dan Pertahanan merangkap Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto turut hadir. Soeharto memberikan wejangan agar PNI menghindari segala bentuk penyelewengan. Perhelatan itu akhirnya memenangkan kubu Osa-Usep dalam kepengurusan PNI yang didukung oleh militer dan KAMI Bandung.

Menurut Manai Sophiaan dalam Kehormatan Bagi yang Berhak, Kongres Pemersatuan tersebut dipenuhi intrik dan ancaman dengan melibatkan unsur luar partai. Hal ini sekaligus mengingkari komitmen PNI terhadap Bung Karno sebagai pendiri PNI dan Bapak Marhaenisme. Namun, seperti diungkap Paulus Widiyanto, tugas Osa Maliki memimpin PNI cukup berat. Selain kesulitan dari kalangan internal yang tidak puas dengan hasil Kongres Bandung, tantangan juga datang dari pihak penguasa militer yang menginginkan PNI tampil secara tegar dalam barisan Orde Baru.    

Pada 11 Desember 1967, DPP PNI yang diwakili Hardi, Mh. Isnaeni, dan Gde Jaksa menghadap Soeharto. Mereka meminta Soeharto agar membantu PNI mempercepat proses konsolidasi dan kristalisasi partai. Soeharto memberikan jawaban mengambang. Dia mengatakan bahwa sikapnya terhadap PNI tergantung pada sikap Angkatan Darat.

Selang tiga hari kemudian, pimpinan PNI menyambangi pejabat Panglima Angkatan Darat Letjen Maraden Panggabean. Mereka menanyakan sikap Angkatan Darat terhadap PNI. Jika PNI memang tidak diperlukan, maka partai ini segera dibubarkan. Panggabean menyatakan bahwa Angkatan Darat bersedia membantu PNI melakukan konsolidasi dan kristalisasi.

Baca juga: 

Ahli Waris Partai Marhaenis

Puncak kompromi ini mewujud dalam Pernyataan Kebulatan Tekad PNI pada 21 Desember 1967. Pernyataan itu, menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Kepolitikannya, 1963—1969, menegaskan bahwa PNI tidak menghendaki lagi kepemimpinan politik Sukarno. Gelar Bapak Marhaenisme yang melekat pada Sukarno ditiadakan. PNI tidak lagi terikat dengan ajaran dan pemikiran politik Sukarno, khususnya terkait Nasakom.

Sejak itu pula, kata Manai Sophiaan, PNI mencatat bagaimana massanya berbondong-bondong meninggalkan partainya. Dalam pemilihan umum 1971, partai yang bertanda gambar banteng dalam segitiga ini hanya kebagian 8 persen suara. Dari partai pemenang, PNI kemudian tenggelam dalam kebijakan fusi partai selama Orde Baru.   

 

TAG

pni

ARTIKEL TERKAIT

Menggerakkan Ideologi Kebangsaan dari Bandung Di Sekitar Indonesia Menggugat Sanak Saudara Partai Nasionalis Partai Nasional Indonesia dan Ahli Warisnya Eks Pemilih PKI Pilih Golkar ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Dari Matros ke Banteng Marhaen Akhir Tragis Menteri Surachman Kisah Sunyi Ali Sastroamidjojo Saat Natsir Gagal Merangkul PNI