SELEPAS debat pertama calon presiden pada Selasa, 12 Desember 2023, sejumlah lembaga survei merilis hasil jajak pendapat mengenai elektabilitas para kandidat capres dan cawapres. Hasil survei tersebut umumnya menjabarkan elektabilitas pasangan capres-cawapres dalam sejumlah kategori yang didasarkan pada umur, jenis kelamin hingga area tempat tinggal (perkotaan maupun pedesaan).
Survei sudah dilakukan sejak lama. Nick Moon, praktisi terkemuka jajak pendapat di Inggris, dalam Opinion Polls: History, Theory and Practice menyebut kegiatan mengumpulkan opini masyarakat secara sistematis telah dilakukan sejak berabad-abad silam. Survei sosial, yang berkembang dari sensus penduduk, sudah dilakukan di Inggris sejak abad ke-11.
“Inggris memiliki sensus yang terkenal, yang dicatat dalam Domesday Book tahun 1086, dan ada bukti sensus yang dilakukan di Venesia dan Florence selama Renaisans di Eropa pada abad ke-15. Sementara itu, pelaksanaan sensus seperti yang umum dilakukan di masa kini telah dimulai di Inggris pada 1801 dan di Amerika pada 1790,” tulis Nick Moon.
Baca juga: Iklan Kampanye dan Kemenangan Eisenhower dalam Pilpres AS
Tokoh yang berperan besar dalam pengembangan statistik sosial adalah Charles Booth dan Henry Mayhew. Booth dikenal sebagai salah seorang yang pertama menggunakan survei wawancara untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial. Peneliti sosial yang lahir pada 30 Maret 1840 itu menuliskan hasil surveinya dalam karya klasik, The Life and Labour of the People of London tahun 1890-an.
Lebih awal dari Booth, Mayhew mengambil langkah ke arah yang sama dengan karyanya London Labour and the London Poor tahun 1860-an. Meskipun sejumlah pihak mengkritik keandalan metodologi mereka, namun dasar dari karya-karya ini mirip dengan jajak pendapat yang terorganisir. “Yang paling penting, mereka memusatkan perhatian pada pentingnya pengumpulan data yang sistematis dan objektif,” tulis Moon.
Bila survei sosial telah dilakukan sejak abad ke-11, lantas sejak kapan jajak pendapat politik muncul setiap menjelang pemilu?
Kebanyakan sejarawan sepakat bahwa pemilihan presiden AS pada 1824 menandai kemunculan jajak pendapat politik. Kala itu empat kandidat ambil bagian dalam kontestasi pilpres AS. Yang menarik, keempat capres itu berasal dari satu partai yang sama. Mereka saling bersaing memperebutkan suara publik meski tidak menentukan hasil pemilu. Sebaliknya, karena tidak ada kandidat yang memenangkan suara mayoritas di electoral college, keputusan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Hasilnya, John Quincy Adams terpilih sebagai presiden AS.
Baca juga: Calon Presiden Saling Serang Lewat Iklan
Menurut Mark Pack, pengarang yang juga politisi berkebangsaan Inggris, dalam Polling UnPacked: The History, Uses and Abuses of Political Opinion Polls, kemenangan Adams tak hanya menandai kemunculan jajak pendapat, tetapi juga berperan penting dalam perkembangan sistem kepartaian AS.
“Partai Demokrat-Republik (jangan disamakan dengan Partai Demokrat atau Partai Republik yang muncul belakangan) telah menjadi dominan, dan pada pemilihan sebelumnya tahun 1820, kandidatnya, James Monroe, bahkan tidak menghadapi lawan yang berarti. Partai ini telah memberikan kekuasaan untuk memilih calon presiden kepada delegasi kongres. Dengan sedikit persaingan dari partai lain yang mengancam keberhasilan kandidat yang dipilihnya, itu berarti pemilihan presiden, pada dasarnya, telah menjadi pemilihan kecil dan tertutup oleh delegasi kongres saja,” tulis Pack.
Pada 1824 terjadi pergeseran kekuasaan dari para pengambil keputusan elite. Negara-negara bagian semakin bergerak untuk memberikan suara kepada publik dalam pemilihan presiden. Sebelumnya, masing-masing badan legislatif negara bagian memilih anggota dewan pemilih nasional untuk memilih kandidat presiden. Namun kemudian makin banyak negara bagian yang mengizinkan suara publik menentukan susunan anggota electoral college. Bila di tahun 1800, hanya lima dari 16 negara bagian yang melakukan pemungutan suara seperti itu, maka pada 1824 jumlahnya meningkat menjadi 18 dari 24 negara bagian.
“Ketiga faktor ini –kontes yang layak, terpecahnya kekuatan delegasi kongres Partai Demokrat-Republik; dan meningkatnya penggunaan suara rakyat untuk menentukan hasil di masing-masing negara bagian– berarti ada lebih banyak ketertarikan pada apa yang dipikirkan publik tentang para kandidat,” jelas Pack.
Baca juga: Kennedy vs Nixon dan Awal Debat Calon Presiden di Televisi
Munculnya ketertarikan untuk mengetahui keputusan publik dalam pilpres AS tahun 1824, mendorong diadakannya jajak pendapat politik. Dalam beberapa kasus, guna mendapatkan responden dalam jumlah besar, lembaran kertas yang berisi pertanyaan mengenai para kandidat presiden diletakkan di tempat umum selama beberapa hari, dan orang-orang menulis pilihan mereka. Metode ini merupakan cara yang alami dan relatif mudah untuk menguji opini publik, namun bukan berarti tanpa celah. Menurut Nick Moon, pemungutan suara yang sering kali dilakukan dengan cara yang sangat serampangan, dengan sedikit pemahaman tentang prinsip-prinsip pengambilan sampel menyebabkan hasil jajak pendapat tersebut kurang representatif.
Teknik jajak pendapat awal dikritik karena kurang mewakili para pemilih. Namun, survei opini publik mengenai para kandidat yang berkontestasi dalam pemilu kian berkembang. Perkembangan signifikan terjadi pada akhir abad ke-19. Surat kabar Columbus Dispatch melatih para pewawancara dan mengirim mereka ke seluruh penjuru kota untuk mengumpulkan opini publik. Survei tersebut mempertimbangkan usia dan pekerjaan para responden agar hasilnya representatif.
Baca juga: Survei SMRC Membuktikan Mayoritas Orang Tidak Percaya PKI Bangkit
Memasuki abad ke-20, minat mengukur opini publik bergeser dari skala lokal menjadi nasional. Majalah AS pertama yang melakukan jajak pendapat adalah Farm Journal. Pada pilpres AS berikutnya tahun 1916, Literary Digest sukses menghasilkan prediksi yang tepat sehingga memperoleh reputasi sebagai pemimpin dalam bursa jajak pendapat.
Majalah ini kemudian berhasil memprediksi hasil pemilu tahun 1920, 1924, 1928, dan 1932, dengan menggunakan teknik pengiriman kuesioner dalam jumlah besar ke para responden yang terdaftar dalam daftar pelanggan telepon maupun registrasi mobil.
Selain memprediksi pemenang pemilu, survei Literary Digest juga menyertakan pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur opini publik mengenai topik-topik yang sedang hangat.
Menyusul kepopuleran Literary Digest, lembaga-lembaga survei lain bermunculan tahun 1930-an, seperti American Institute of Public Opinion yang didirikan oleh George H. Gallup pada 1935, Crossley Poll dan survei Fortune, serta Roper Center yang dijalankan sebagian oleh Elmo Roper.
“Ciri khas dari semua perusahaan ini, yang membedakan mereka dari jajak pendapat Literary Digest, adalah mereka mengandalkan jumlah responden yang relatif lebih kecil, dipilih secara sistematis, dan diwawancarai secara pribadi oleh pewawancara terlatih,” tulis Nick Moon.
Kehadiran Gallup, Crossley, dan Roper menandai dimulainya jajak pendapat modern di AS dan memicu lahirnya lembaga survei di berbagai negara di dunia.*