Masuk Daftar
My Getplus

Antara Perempuan dan Politik

Supeni menolak pemisahan perempuan dari partai politik. Kritiknya tak asal bunyi, ia jadi tokoh penting dalam PNI.

Oleh: Nur Janti | 18 Mar 2019
Supeni kala menemani Sukarno menyambut Putri Michiko dari Jepang. Sumber: Supeni Wanita Utusan Negara.

PROKLAMASI mengubah konfigurasi politik. Ketiadaan musuh bersama membuat lelaki menjadi makin dominan dalam bidang politik sementara perempuan disingkirkan dan dianggap lebih layak bergerak di bidang sosial. Organisasi perempuan yang bercorak keagamaan, misalnya, kebanyakan berjalan dengan pembagian kerja model ini.

Kecenderungan seperti itu dikritik para aktivis perempuan, salah satunya Supeni. Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menyebut Supeni menolak keras pemisahan perempuan dan partai politik. Menurutnya, perempuan harusnya dianggap setara dan disamakan statusnya dengan lelaki untuk ikut andil dalam urusan-urusan politik.

Pendapat Supeni tak asal bunyi. Di tengah kecamuk Perang Kemerdekaan dan kesibukan mengatur organisasi perempuan, pada 1946 Supeni mendaftarkan diri ke PNI. Posisinya di PNI dan gerakan perempuan pun tak sepele. Supeni menjabat ketua Kowani pada 1948 di mana Maria Ullfah duduk sebagai wakilnya. Pada 1949, Supeni diangkat menjadi anggota dewan partai PNI.

Advertising
Advertising

“Partailah yang dapat mendidik dan memimpin rakyat menuju transformasi masyarakat dari dijajah menjadi merdeka,” kata Supeni dalam memoarnya Supeni Wanita Utusan Negara.

Baca juga: Supeni, Perempuan di Balik Kemenangan PNI

Sejak remaja, Supeni sudah aktif dalam gerakan. Di usia 14 tahun, Supeni sudah melahap bermacam bacaan politik dan ikut mendengarkan ceramah politik. Ia lalu menjabat sebagai wakil ketua Indonesia Muda merangkap Keputrian Indonesia Muda cabang Blitar. Posisi itu mengharuskan Supeni menjadi pembicara di forum-forum pemuda nasionalis.

Keaktifan Supeni dalam gerakan pemuda nasionalis ini mengakibatkannya dinas intelijen politik kolonial, PID, dan menjadi sorotan guru-gurunya di Holandsche Indische Kweekschool Blitar. Supeni ingat perkataan gurunya bahwa ia tak pantas menjadi guru karena membahayakan pendidikan.

“Di kota Blitar aku berkenalan dengan Supeni. Seorang gadis lincah aktivis Indonesia Muda. Nantinya ia menjadi aktivis PNI yang andal,” kata Lasmidjah Hardi, rekan seperjuangan Supeni, dalam Perjalanan Tiga Zaman.

Supeni juga aktif dalam gerakan perempuan dengan ikut mendirikan Persatuan Wanita Madiun usai Jepang kalah perang. Namun, organisasi ini tak bertahan lama dan dilebur menjadi Perwari lewat putusan Kongres Perempuan Indonesia 1945 di Klaten.

Baca juga: Riwayat Berdirinya PNI

Berbekal mengikuti organisasi sejak remaja itulah Supeni bisa menjadi salah satu elite PNI. Ia terpilih menjadi ketua Departemen Pendidikan dan Sosial PNI di samping terpilih menjadi anggota Dewan Pimpinan partai pada 1959.

Ketika terjadi perpecahan di tubuh PNI pada minggu pertama Agustus 1965, Supeni sedang dinas ke luar negeri. Sekembalinya ke Jakarta, ia menemukan kondisi partai yang penuh konflik akibat kebijakan DPP PNI menskorsing beberapa anggota yang dianggap tidak loyal.

Orang-orang yang dianggap PNI gadungan berencana mendirikan PNI tandingan. Supeni, yang khawatir akan kondisi perpolitikan makin memanas, pun menemui Presiden Sukarno untuk meminta bantuan.

“Saya minta kepada Bung Karno untuk memerintahkan Mas Ali (Sastroamidjojo, Ketum PNI, red.) supaya segera menyelenggarakan Kongres Luar Biasa untuk menyelesaikan masalah penggadungan karena kalau tidak cepat-cepat, saya khawatir Hardi CS akan mengadakan PNI tandingan,” kata Supeni.

Baca juga: Cerita Lawas Golkar Terpecah Belah

Kendati mulanya menolak karena bukan lagi bagian dari PNI, Sukarno akhirnya tak kuasa menolak permintaan Supeni. “Ya, saya akan perintahkan kepada Ali (Sastroamidjojo, red.) tapi kau saya minta juga untuk mencegah Hardi jangan sampai membuat PNI tandingan,” jawab Sukarno.

Supeni pun menemui Hardi untuk menyampaikan pesan Sukarno. Ali yang kemudian ditemui Sukarno pun akhirnya sepakat untuk mengadakan kongres darurat selepas ia kembali dari perjalanan dinas ke Tiongkok.

Namun, belum lagi PNI sempat meredam potensi perpecahan di tubuhnya, G 30 S keburu terjadi. PNI tandingan yang dipimpin Osa Maliki pun muncul ke permukaan. Nasib PNI yang terpecah menjadi dua tak bisa dibiarkan oleh Iskaq Tjokroadisuryo, salah satu pendiri PNI pada 1927. Dia mengajak Supeni untuk membuat Panitia Penegak PNI. Sayangnya, usaha ini gagal.

TAG

sejarah-pemilu Sejarah-Perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Siapa Dia Ketua Pemilu 1955? Untuk Golkar dari Eddy Sud Rebutan Rhoma Irama Jalan Try Sutrisno ke Kursi RI 2 PDI Masukkan Seniman ke Parlemen Ada Ali di Tiap Pemilu Orba Amirmachmud Larang PKI Ikut Pemilu Perempuan-Perempuan Bersenjata Supeni, Perempuan di Balik Kemenangan PNI Perempuan dalam Pemilu Pertama