Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka kesal. Pasalnya, dirinya diserang dengan “senjata” yang sama untuk menyerang ayahnya dulu ketika berjuang untuk menjadi presiden. Seperti ayahnya, Presiden Joko Widodo, Gibran dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekesalan Gibran pun dituangkannya dengan “nge-Twit” untuk merespon cuitan penyerangnya, @BudiSan42575425, itu.
“Bilang ke korlap lu. Serangan2 seperti ini udah kalian lakukan di 2014 dan 2019. Sudah terbukti 2x kalah dan masyarakat tidak simpatik. Masa mau lu ulangin lagi pola seperti ini di 2024?” cuit Gibran lewat akun Twitter-nya, @gibran-tweet.
Kendati PKI telah lama mati dan aturan pemilihan umum (umum) telah beberapakali berubah, isu PKI tetap digunakan sejumlah pihak hingga kini. PDIP, partai yang mengusung Presiden Joko Widodo, menjadi pihak yang apes lantaran paling sering jadi partai yang disasar serangan menggunakan “senjata” PKI jelang hingga bergulirnya tahun politik.
Baca juga: Kampanye Hitam Pemilu Indonesia
Di masa lalu, pemerintahan Orde Baru (Orba) menggunakan isu PKI untuk menyingkirkan lawan atau siapapun yang dianggap berpotensi melawannya. Setelah membubarkannya, Orba memposisikan partai kiri itu sebagai “hantu”. Apapun yang terkait dengannya, dilarang di mana-mana, termasuk di pemilu.
Sewaktu Orde Baru, pemilu diselenggarakan oleh sebuah panitia bernama Panitia Pemilihan Indonesia. Panitia tersebut berada di bawah Departemen Dalam Negeri dan ketuanya biasanya dijabat langsung oleh menteri dalam negeri (mendagri).
Oleh karena itu, setelah Menteri Dalam Negeri Mayor Jenderal Basuki Rachmat tutup usia pada 8 Januari 1969 di Jakarta, Presiden Soeharto buru-buru mencari penggantinya. Selain supaya posisi menteri dalam negeri tak lagi kosong, pengisian posisi itu dimaksudkan agar pemilu bisa dihelat.
Baca juga: Situasi Mencekam Sebelum Supersemar
“Pemilihan umum merupakan ukuran, barometer kemampuan bangsa yang menjunjung tinggi asas demokrasi dalam menyalurkan aspirasi rakyat secara demokratis dan realistis. Kemanfaatan dan tujuan pemilu itu adalah untuk menciptakan stabilitas politik, untuk melaksanakan salah satu wujud demokrasi yang sehat, sehingga oleh karena itu harus dilakukan dengan tertib, jujur, dan digunakan oleh rakyat dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu, yang harus mendapat perhatian kita semua adalah bagaimana mengamankan dan menyukseskan pemilu itu, baik ditinjau dari perundang-undangannya, pembiayaannya maupun persiapan-persiapan lainnya,” kata Soeharto dalam otobiografinya yang ditulis Ramadhan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Bertolak dari pandangan itu, Soeharto lalu memilih Pangdam Jaya Mayor Jenderal Amirmachmud sebagai pengganti mendiang Basuki Rahmat. Kendati yang dipilih sempat menolak secara halus, Soeharto keukeuh menjatuhkan pilihan pada Amirmachmud.
Baca juga: Soeharto: Mau Ganti Presiden? Jangan Ngotot
“Beliau mengatakan bahwa selama berhari-hari, masalah pengangkatan saya sebagai Menteri Dalam Negeri telah beliau pikirkan kembali. Setelah menimbang-nimbang, hati nurani beliau tetap cenderung untuk mengangkat saya,” kata Amirmachmud dalam otobiografinya, H. AMirmachmud Prajurit Pejuang.
Menteri Dalam Negeri Amirmachmud pun menjadi ketua Panitia Pemilihan Indonesia. Di masa kepemimpinannya, Pemilu 1971 terlaksana.
Apa yang berbeda dalam Pemilu 1971 ini adalah anggota tentara dan juga seluruh anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak punya hak pilih. ABRI dianggap sudah punya wakil di DPR dalam Fraksi ABRI. Selain itu, tidak ada PKI dalam daftar peserta, sebabnya PKI sudah dilarang setelah Supersemar 1966. Bekas PKI maupun siapapun yang terlibat dalam G30S juga tidak punya hak untuk memilih.
Tidak bolehnya mantan PKI atau siapapun yang dianggap terlibat G30S terlibat pemilu, membuat Amirmachmud dan jajarannya harus bekerja lebih keras. Sebab, harus ada data yang jelas tentang siapa saja yang tidak diperbolehkan memilih itu. Terlebih, mantan PKI yang dianggap telribat G30S itu tersebar di banyak daerah.
Baca juga: Tujuh Pemeran Film Pengkhianatan G30S/PKI
“Maka untuk menyusun suatu daftar mengenai penduduk yang dikategorikan sebagai yang tidak berhak ikut memilih, maka saya mengeluarkan instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor:2/1970 tanggal 2 Maret 1970 kepada para Gubernur di seluruh Indonesia, agar mengerahkan para pejabatnya untuk menyusun daftar mengenai anggota PKI dan mereka yang terlibat dalam G.30.S/PKI,” sambung Amirmachmud.
Tentu saja Amirmachmud menganggapnya pekerjaan sulit lantaran tenggat waktunya pun sangat pendek. Belum lagi fasilitas untuk mendata para eks PKI dan yang terlibat G30S sangat terbatas. “Pekerjaan ini berjalan kurang lancar,” kata Amirmachmud.
Lantaran kewalahan, Pelaksana Khusus Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (LAKSUS KOPKAMTIBDA) kemudian dilibatkan. Supaya tidak ada bekas PKI atau simpatisannya yang bisa ikut serta sebagai pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Amirmachmud kemudian juga membentuk Team Peneliti Daftar Warganegara Indonesia.
Baca juga: Soemitro dan Ali Moertopo, Kisah Duel Dua Jenderal
Hasilnya, di tahun 1971 itu juga didapatkan 2.123.747 orang dari 26 provinsi yang tidak punya hak pilih. Mereka tersebar di Jawa Tengah (677.870 orang), Jawa Timur (478.241), Jawa Barat (286.728), Sumatra Utara (168.914), Lampung (70.258) dan di daerah-daerah lain. Menurut Amirmachmud, jumlah itu dianggap belum lengkap.
Pemilihan umum akhirnya terselenggara pada 3 Juli 1971. Hasilnya, Partai Nasional Indonesia (PNI) hanya mendapat 3,7 juta suara. Jumlah itu merosot tajam dari perolehan suaranya dalam Pemilu 1955 PNI yang mendapat 7.9 juta suara. PNI bukan lagi pemenang nomor 1 dalam Pemilu.
Perolehan suara terbanyak dalam Pemilu 1971 adalah Golongan Karya (Golkar). Dengan 34,3 juta suara, pendatang baru ini langsung juara satu dalam Pemilu 1971. Setelah Golkar, Nahdatul Ulama mengikuti di posisi kedua dengan 10,3 juta suara. PNI sendiri menjadi nomor 3 pada 1971 itu.
Baca juga: Pesan Soeharto bagi yang Kalah Pemilu
Terlaksananya Pemilu 1971 menjadi kesuksesan tersendiri bagi Amirmachmud yang sempat "keteteran" itu. Kesuksesan itu disempurnakannya dengan kemenangan Golkar dalam pemilu tersebut.
“Di bawah pimpinan Amirmachmud yang terkenal bicara terus terang dan memiliki pengaruh hingga ke desa-desa, Departemen Dalam Negeri didominasi oleh anggota militer melalui peran kekaryaan,” catat David Jenkins dalam Soeharto & Barisan Jenderal Orba Rezim Militer Indonesia 1975-1983.