MAKIN mendekati “tahun politik” Pemilu 2024, makin bertebaran pula nama-nama yang bakal dicalonkan terutama untuk bertarung di pemilihan presiden (pilpres) pada 14 Februari 2024. Tiga nama bakal calon presiden (capres) sudah muncul, menyisakan jatah kursi wakil presiden (wapres).
Hingga detik ini, para bakal capres yang sudah mendeklarasikan keikutsertaan di pilpres adalah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 Anies Baswedan, dan Menhan Letjen (Purn.) Prabowo Subianto. Kendati begitu, Ganjar, Anies, maupun Prabowo semua belum menentukan siapa calon yang bakal mendampingi mereka.
Saat ini sudah banyak nama yang mencuat di bursa bakal cawapres. Di antaranya Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menko Polhukam merangkap Plt. Menkominfo Mahfud MD, Menparekraf Sandiaga Uno, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, dan Menteri BUMN cum Ketum PSSI Erick Thohir.
Beberapa nama di atas bahkan sudah mulai seliweran di media massa sejak 2022. Terlebih sejak era Reformasi, sosok cawapres seringkali turut jadi penentu kemenangan capres yang didampingi. Maka, lumrah sejumlah parpol pendukung bakal capres akan punya banyak pertimbangan untuk menentukan apa dan siapa figur cawapres yang pas.
Baca juga: Cerita di Balik Pasangan SBY-JK di Pilpres 2004
Situasi itu tentu berbeda dari era pemerintahan Orde Baru (Orba) dulu. Mantan Wapres RI ke-6 di masa senjakala Orba mengenang bahwa sejak Pemilu 1992 hingga penetapan presiden dan wapres terpilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada medio Maret 1993 tak seheboh yang terjadi sekarang.
“Jadi presiden dan wakil presiden tidak seperti sekarang. Sudah satu kapal, satu calon (pasangan) mencalonkan. Pakai kampanye, pakai duit, pakai bendera. Dulu tidak. Jadi memilih presiden dilaksanakan oleh tempat (lembaga) pengejawantahan rakyat dan wujud rakyat tertinggi, ya MPR. Nah setelah (presiden) ini terpilih, baru fraksi-fraksi di MPR mencari wapres,” ujar Try Sutrisno (wapres periode 1993-1998) di program “The Legend: Pengabdian Tanpa Batas Try Sutrisno” yang ditayangkan stasiun televisi Metro TV di kanal Youtube-nya, 19 Agustus 2022.
Mengutip Nung Runua dalam Dinamika Politik Indonesia: Dari Pemilu 1992 hingga Kabinet Pembangunan VI, nama-nama cawapres menjadi beban MPR secara internal untuk digodok, lebih tepatnya oleh “Tim Sebelas” yang dibentuk Presiden Soeharto pada 1992. Hasilnya “godokan” kemudian ditentukan dalam Sidang Umum (SU) MPR pada Maret 1993.
Try sendiri mengaku, mulanya tidak berkeinginan terjun ke “bursa wapres” yang akan ditentukan Tim Sebelas tersebut. Sejak pensiun dengan jabatan terakhir Panglima ABRI (Pangab, periode 1988-1993), Try sudah punya keinginan untuk jadi suami, ayah, dan kakek bagi keluarganya usai lebih dari tiga dekade berdinas di Angkatan Darat.
“Saya tidak punya niat jadi wapres. Saya sudah pensiun. Tidak ada cita-cita jadi wapres, apalagi presiden. Saya jadi Pangab itu sudah pucuknya ABRI. Saya ingin mengasuh cucu saya,” sambung Try.
Namun baru sebulan pensiun, faktanya nama Try paling banyak disebut sejumlah fraksi. Tim Sebelas lalu mengajukannya ke Soeharto sebagai presiden terpilih usai Pemilu 1992. Soeharto pun menerima Try, mantan ajudannya pada 1974-1978.
“(MPR) setelah ketemu (cawapres), baru lapor ke presiden terpilih ini. Ditanya, bersediakah dikasih wapres ini? Kalau presidennya setuju, jadi. Saya juga tidak bergerak apa-apa. Tidak mengeluarkan duit. Eeee…Alhamdulillah waktu tanya Pak Harto, Pak Harto menerima. Kalau tidak menerima ya cari lagi. Dulu sistemnya begitu. Pak Harto juga waktu ditanya, beliau memang sudah kenal saya. Akhirnya saya menjadi wapres,” tambahnya.
Baca juga: Soeharto Capek Jadi Presiden
Lika-liku Pencalonan Try Sutrisno
Try memang bukan sosok asing bagi Soeharto yang pada 1993 resmi jadi mandataris MPR keenam kalinya. Namun, kenaikan Try menandai pertamakalinya generasi pasca-Angkatan 1945 tampil dalam perpolitikan nasional. Presiden Soeharto pun didampingi generasi yang jauh lebih muda.
Kendati pencalonan Try di permukaan tidak seheboh pencalonan wapres saat ini, di balik itu ada “kehebohan” di sejumlah fraksi MPR. Fraksi Karya Pembangunan (F-KP, kini Fraksi Golkar) selaku pihak pemenang Pemilu 1992, saat itu berniat mencalonkan nama-nama lain, di antaranya Letjen (Purn.) Soedharmono yang merupakan wapres periode 1988-1993 dan Menristek BJ Habibie. Presiden Soeharto juga disebutkan tak sepenuhnya menerima.
“Pada tahun 1993, Sudharmono mengkhiri tugasnya sebagai wakil presiden dan digantikan Jenderal Try Sutrisno, mantan Panglima ABRI. Dari lingkaran dalam di sekitar Pak Harto, saya mendapat informasi. Bapak Presiden tidak 100 persen senang dengan penunjukan (Try Sutrisno) ini. Tapi tidak ada pilihan lain. Lagi pula Try dicalonkan Pak Benny (Moerdani). Calon lain yang disebutkan saat itu antara lain Habibie, tapi Pak Harto masih memerlukan dukungan militer,” ujar Menteri Pertambangan dan Energi periode 1988-1993 Ginandjar Kartasasmita dalam bukunya, Managing Indonesia’s Transformation: An Oral History.
Baca juga: Habibie Kecil dan Soeharto Muda
Nama Menhan Jenderal (Purn.) Leonardus Benyamin ‘Benny’ Moerdani yang sangat berpengaruh, utamanya di kalangan militer di Fraksi ABRI, sudah sejak Pemilu 1987 dan SU MPR 1988 ingin menggeser dominasi F-KP. Keretakan antara Soeharto dan Benny Moerdani, menurut sejarawan Salim Said dalam “Soeharto dan Militer” yang termaktub dalam buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru, makin kentara ketika Benny ditengarai mendukung Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada kampanye Pemilu 1987.
“Desas-desus ini dibantah Moerdani. Tetapi banyak yang percaya kebenaran desas-desus tersebut, terutama ketika para purnawirawan tentara yang dikenal dekat Moerdani berduyun-duyun masuk ke PDI. Puncak keretakan hubungan antara Soeharto dan Moerdani terjadi pada 10 Februari 1988. Pada hari itu Soeharto memutuskan menyingkirkan tokoh intelijen itu dari kepemimpinan militer dan menggantikannya dengan Jenderal Try Sutrisno,” tulis Salim.
Menurut banyak pengamat, lanjut Salim, penggantian tersebut berangkat dari kekhawatiran Soeharto bahwa Benny Moerdani mungkin akan menyabot rencana mengangkat Sudharmono –yang saat itu memegang jabatan ketua Golkar– menjadi wakil presiden dalam sidang MPR bulan berikutnya.
“Pergantian Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang Umum MPR adalah suatu yang ganjil, sama sekali di luar kebiasaan. Biasanya siapa yang menduduki jabatan Panglima ABRI diumumkan bersamaan dengan pengumuman susunan kabinet karena jabatan ini setara menteri. Diberhentikannya Jenderal L.B. Moerdani sebagai Pangab hanya berarti satu hal, Presiden Soeharto mencoba membatasi ruang gerak Benny,” tulis A. Pambudi dalam Sintong & Prabowo: Dari ‘Kudeta L.B. Moerdani’ sampai ‘Kudeta Prabowo’.
Baca juga: Try Sutrisno, Benny Moerdani, dan Soeharto
Meski Benny diberi jabatan baru, yakni menteri pertahanan, ia jelas tak punya lagi wewenang komando terhadap militer. Untuk itu ia terus berupaya dengan memajukan Try Sutrisno. Try merupakan perwira generasi pasca-45 yang dekat dengan Benny semenjak Try masih taruna Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung.
“Perjuangan mereka yang tidak berhasil pada 1988, mencapai sukses dalam sidang MPR 1993. Untuk mencegah pemilihan Menristek BJ Habibie sebagai calon wakil persiden, seperti yang didesas-desuskan, maka fraksi ABRI yang berada di bawah kelompok Moerdani mendahului sidang MPR dengan mencalonkan Panglima ABRI Try Sutrisno, tanpa berkonsultasi dengan presiden terpilih, seperti yang diatur oleh TAP MPR No. II/1973,” imbuhnya.
Pencalonan Try itu kendati melanggar TAP MPR di atas, jadi suatu manuver politik yang unik dan menghebohkan. “Curi start” pencalonan Try tanpa konsultasi dengan sejumlah fraksi lain dan tentunya Soeharto sebagai presiden terpilih, jadi hal baru di era Orba.
“Jangankan konsultasi dengan Pak Harto, dengan saya saja tidak,” kata Try dikutip Salim Said dalam wawancaranya di buku Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian.
Ketika masih menjabat pangab, Try mengaku sudah mulai mendapat info dirinya akan diajukan di SU MPR oleh Kasospol ABRI cum ketua F-ABRI, Letjen Harsudiyono Hartas. Namun Try juga mengklaim dirinya tak sepenuhnya berkenan dicalonkan.
Akan tetapi, lanjut Salim, perintah sang pangab tidak dihiraukan kasospol. Terlebih pencalonan Try oleh kelompok Moerdani di F-ABRI itu mulanya ingin dirahasiakan, namun bocor usai Harsudiyono keceplosan saat diwawancara media massa jelang SU MPR.
“Saya tidak bisa menunjuk siapa yang memulai tapi kasospol ABRI suatu hari lapor kepada saya bahwa rapat staf Mabes ABRI memutuskan saya menjadi calon (fraksi) ABRI untuk jabatan wakil presiden. Stop, saya bilang. Wapres itu dipilih oleh presiden terpilih. Saya minta soal pencalonan itu jangan dibicarakan lagi,” lanjut Try.
Baca juga: Pesan Soeharto bagi yang Kalah Pemilu
Terlepas pencalonan Try dari F-ABRI itu, usai Pemilu 1992 Presiden Soeharto membentuk Tim Sebelas. Mengutip Nung Runua Dinamika Politik Indonesia: Dari Pemilu 1992 hingga Kabinet Pembangunan VI, Tim Sebelas berisi para perwakilan fraksi di MPR guna menggodok nama-nama cawapres untuk diserahkan kepada Soeharto. Anggotanya dari F-ABRI, F-KP, F-PDI, F-PPP, dan Fraksi Utusan Daerah.
“Anggota Tim Sebelas ini adalah Wahono (Ketum DPP Golkar), Moerdiono, Soesilo Soedarman, Rudini, BJ Habibie, Harmoko, Jenderal Edi Soedradjat, Jenderal Try Sutrisno, Yogie S. Memed, Ibrahim Hasan, dan Ir. Alala. Dalam pertemuannya, setiap anggota tim membuat daftar nama calon wapres,” kata buku tersebut.
Nama Try kian menguat ketika dicalonkan F-ABRI dalam rapat Tim Sebelas. Pencalonannya kemudian didukung anggota dari dua fraksi lain, PDI dan PPP, lantaran Try dinilai sebagai perwira yang punya nilai religius tinggi.
Baca juga: PDI Masukkan Seniman ke Parlemen
Majalah Dharmasena Nomor 3 (Maret) tahun 1993 menulis, nama Try turut didukung sejumlah ulama. Tujuh ulama yang mewakili ulama se-Jawa dan Madura menyampaikan dukungannya pada Try pada November 1992. PDI sediri dalam rapimnya pada 13 Januari 1993 menjatuhkan pilihan pada Try. Lantas pada 14 Februari 1993, PPP ikut mengusung pencalonan Try, kemudian disusul Fraksi Utusan Daerah pada 26 Februari 1993.
“Pada 14 Februari PPP bergabung dengan PDI dan Fraksi ABRI di MPR dalam mencalonkan Try Sutrisno. Ketika PPP bertanya kepada Try Sutrisno tentang pencalonannya pada Februari 1992, dia menjawab, ‘Subhanallah’,” ungkap Darul Asqha, Dick van der Meij, dan Johan H. Meuleman dalam Islam in Indonesia: A Surey of Events and Developments from 1988 to March 1993.
Hanya F-KP yang tidak mencalonkan Try. Sebab, fraksi ini ingin mengusung tokoh Golkar. Sementara, Tim Sebelas kemudian dengan percaya diri membawa nama Try untuk diserahkan kepada Soeharto.
“Kami mendorong Try Sutrisno menjadi wakil presiden karena kami menerima isyarat dari Soeharto bahwa ia lebih menyukai Try Sutrisno daripada Habibie. Memberikan komentarnya tentang temuan Tim Sebelas yang menghasilkan dua calon paling sesuai, B.J. Habibie dan Try Sutrisno, Presiden Soeharto mengatakan, ‘tempat Habibie adalah dalam bidang teknologi.’ Berarti Soeharto telah memilih Try Sutrisno sebagai wakil presiden yang berikutnya,” terang Harsudiyono saat diwawancara Salim Said pada Januari 1997.
Presiden Soeharto akhirnya memilih pencalonan Try. Selain masih butuh dukungan ABRI, lanjut Salim, Soeharto tak ingin muncul kesan di khayalak umum bahwa terjadi keretakan antara pemerintahannya dengan ABRI.
“Rapat paripurna ke-12 tanggal 11 Maret 1993 malam memilih secara bulat dan mengesahkan pengangkatan Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden. Selanjutnya pukul 22.15 di tempat sama dilangsungkan upacara pengucapan sumpahnya. Sidang yang mengesakan pengangkatan Wakil Presiden dengan TAP No. V/MPR/1993 itu dihadiri 987 anggota majelis. Dengan demikian sahlah dwitunggal Soeharto-Try Sutrisno menahkodai perjalanan bangsa selama lima tahun sejak tanggal 11 Maret 1993 sekaligus mengakhiri Sidang Umum MPR 1-11 Maret 1993 yang berlangsung sukses dan aman,” tulis majalah Dharmasena.
Kendati disebutkan Presiden Soeharto tak 100 persen senang dengan wakilnya, Try tetap mengaku bisa bertugas sebagai RI-2 dengan lancar. Hubungan personalnya dengan Soeharto sejak ia menjadi ajudan tetap jadi kunci positifnya dalam aktivitas menjalankan pembangunan yang direncanakan.
“Saya oleh Pak Harto ditugasi sebagai pembantu presiden di bidang Wasrik Pembangunan (Pengawasan dan Pemeriksaan Pembangunan). Luas ini (cakupan tugasnya). Dua tahun setengah saya pakai meninjau di lapangan, setiap provinsi saya datangi. Saya lihat kenyataan pembangunan. Diawasi, diperiksa, ada apa kekurangan, kelebihan. Dua tahun setengah berikutnya saya pakai di tingkat pusat. Saya masuk ke setiap kementerian. Tiap tahun kita ada laporan ke Pak Harto,” tukas Try.
Baca juga: Cerita Try Sutrisno Menakhodai PBSI