NIYEM baru berusia sepuluh tahun ketika dibawa dari rumahnya di Karangmojo, Yogyakarta, ke kamp militer Jepang terdekat. Di sana, ia selama dua bulan diperkosa berulang kali. Bertahun-tahun kemudian setelah berhasil kabur dan kembali ke rumah, Niyem memilih tidak mengatakan nasib buruk yang dialaminya kepada siapapun. Selain takut menyakiti hati orang tuanya, ia juga khawatir akan dikucilkan bila orang-orang sekitarnya mengetahui apa yang terjadi pada dirinya selama menghilang. Meski begitu keputusan Niyem untuk tutup mulut tak membuatnya lepas dari stigma negatif masyarakat.
Puluhan tahun berlalu, gerakan aktivisme transnasional yang menuntut permintaan maaf dan ganti rugi kepada pemerintah Jepang atas kekerasan seksual yang dialami para penyintas ianfu di masa pendudukan bermunculan di sejumlah negara, termasuk Indonesia pada 1990-an. Upaya-upaya advokasi tersebut menjadi kajian Katharine E. McGregor dalam Systemic Silencing: Activism, Memory, and Sexual Violence in Indonesia yang diterbitkan oleh Critical Human Rights Series of the University of Wisconsin Press pada 2023. Tak hanya mengkaji perkembangan aktivisme oleh dan atas nama para penyintas ianfu di Indonesia, Kate juga menjabarkan hambatan apa saja yang dihadapi para aktivis hak asasi manusia secara lebih luas dalam menyuarakan isu kekerasan seksual ini.
Baca juga:
Ianfu, Perempuan dalam Cengkeraman Jepang
Buku setebal 316 halaman itu dimulai dengan uraian panjang tentang ketidaksetaraan gender sejak zaman kolonial Belanda, termasuk pembahasan mengenai praktik pergundikan, fenomena nyai, prostitusi, dan sikap patriarkis orang Belanda dan Indonesia yang memberikan konteks yang memungkinkan terjadinya sistem dan bentuk-bentuk pelecehan seksual terhadap perempuan. Lalu seiring masuknya Jepang ke Hindia Belanda pada 1940-an, Kate mengkaji pendudukan Jepang dalam kaitannya dengan ambisi kekaisaran Jepang, serta menganalisis secara kritis ideologi pan-Asiaisme yang awalnya menarik bagi beberapa anggota elite Indonesia.
Pembahasan mengenai sejarah ianfu dan prostitusi militer yang dilakukan secara paksa oleh militer Jepang juga diuraikan secara gamblang oleh profesor sejarah Asia Tenggara di School of Historical and Philosophical Studies di University of Melbourne itu. Kate meneliti bagaimana sistem ianfu direncanakan dan diimplementasikan di seluruh wilayah Angkatan Laut dan Angkatan Darat selama pendudukan Jepang pada 1942 hingga 1945.
Kate juga menguraikan pola-pola yang dilakukan Jepang dalam mendapatkan perempuan yang akan dijadikan ianfu, mulai dari “perekrutan” paksa pekerja seks lokal, menipu dengan janji akan disekolahkan atau dipekerjakan, hingga menculik anak perempuan dan wanita muda. Para perempuan malang itu ditahan di ianjo (rumah bordil) yang didirikan Jepang di berbagai wilayah. Guna memberikan gambaran bagi pembaca, Kate melengkapi bukunya dengan sejumlah ilustrasi yang menggambarkan jejak ianfu pada peta wilayah pendudukan Jepang di Indonesia.
Tak ketinggalan, Kate juga menjelaskan pola perekrutan perempuan Indo maupun Belanda dalam jumlah kecil yang ditahan di kamp-kamp interniran. Ia juga membahas upaya Jepang dalam mengasimilasi para ianfu secara budaya dengan memberikan nama-nama Jepang, biasanya nama-nama bunga, dan kadang-kadang mengharuskan mereka mengenakan pakaian Jepang.
Baca juga:
Perempuan Penghibur Disiplinkan Tentara
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, mimpi buruk yang dialami para penyintas ianfu tak hilang begitu saja. Balatentara Dai Nippon yang angkat kaki dari Indonesia menelantarkan mereka dalam kondisi yang memprihatinkan. Ketika kembali ke rumah pun para perempuan malang itu harus menghadapi pandangan negatif dan stigmatisasi. Akibatnya, mereka memilih bungkam dan menutup diri karena malu atas masa lalunya.
Akhirnya, keberanian Kim Hak-Sun, penyintas ianfu dari Korea, berbicara tentang pengalaman pahitnya di hadapan media dalam sebuah pengadilan di Tokyo pada 1991 menarik perhatian internasional terhadap isu “comfort women”. Aktivisme memperjuangkan keadilan bagi para penyintas ianfu pun bermunculan di sejumlah negara, seperti Jepang, Korea Selatan, hingga Filipina. Di Indonesia, Kate mengungkapkan situasi yang berbeda.
“Pada awal 1990-an, tidak seperti Korea Selatan yang mengalami demokratisasi, masyarakat Indonesia masih hidup di bawah rezim militer. Meski ada pola kekerasan militer yang terus berlangsung di Indonesia, ada impunitas yang hampir sepenuhnya untuk kejahatan hak asasi manusia dan toleransi yang terbatas untuk aktivisme hak asasi manusia. […] walau begitu pemberitaan media di Indonesia membantu meningkatkan kesadaran akan isu mengenai ianfu, tetapi upaya untuk mengadvokasi para penyintas baru dimulai setelah delegasi pengacara Jepang berkunjung pada tahun 1993,” tulis Kate.
Baca juga:
Delegasi Japan Federation of Bar Associations (JFBA) berkunjung ke Indonesia untuk mendokumentasikan bentuk-bentuk pelecehan yang terjadi di masa perang. Kunjungan ini membuat menteri sosial menyerukan kepada para penyintas untuk menyuarakan pengalamannya. Hal ini juga membuka pintu bagi YLBHI untuk memulai aktivisme para penyintas ianfu dan mantan pekerja paksa atau romusha. Pada Mei 1993, cabang-cabang LBH mulai mengumpulkan dan memproses data-data dari para laki-laki dan perempuan yang pernah mengalami pelecehan di masa perang. “Melalui aktivisme dan jaringan LBH, para penyintas Indonesia mulai terwakili secara nasional dan internasional,” sebut Kate.
Gencarnya seruan dari para pembela hak asasi manusia dan lembaga-lembaga terkemuka dari berbagai negara membuat pemerintah Jepang menyetujui pendirian Asian Women’s Fund (AWF) sebagai bentuk “tanggungjawab moral” Jepang terhadap para penyintas ianfu. Lembaga yang didirikan pada 18 Juli 1995 itu bertugas untuk memberikan kompensasi kepada para penyintas ianfu.
Namun, kehadiran AWF menuai pro dan kontra di masyarakat. Aktivis yang mendukung para penyintas keberatan karena pembayaran kompensasi tidak dibayarkan dari dana pemerintah. Sementara di tanah air, lembaga ini menjadi sorotan usai menandatangani perjanjian dengan pemerintah Indonesia. Kate menyebut perjanjian ini sangat kontroversial bagi para penyintas karena tidak mencakup pembayaran kepada individu, namun dananya digunakan untuk membangun panti jompo dengan alasan untuk melindungi kehormatan perempuan.
Baca juga:
Melacak Jejak Jepang di Indonesia
“Hal ini mengantarkan pada periode baru aktivisme yang semakin intensif di Indonesia dan Jepang, yang ditandai dengan berdirinya Society for Solidarity with Former Indonesian Comfort Women (SOMJII),” ungkap Kate.
Setelah kesepakatan pemerintah dengan AWF, LBH menerbitkan buku mengenai kisah hidup para penyintas ianfu. Buku ini menjadi karya pertama dalam bahasa Indonesia yang secara detail membahas pengalaman hidup korban pelanggaran hak asasi manusia di tanah air dan menjadi publikasi yang sangat penting dalam memperkenalkan pendekatan hak asasi manusia terhadap pengalaman individu penyintas.
Selepas berakhirnya rezim Orde Baru, gerakan aktivisme untuk dan atas nama para penyintas ianfu terus bergeliat dan semakin menarik perhatian publik. Sebuah tim dari Indonesia bergabung dengan Women’s International War Crimes Tribunal atau Pengadilan Kejahatan Perang Internasional untuk Perempuan di Tokyo pada 2000. Pengadilan rakyat yang diorganisir oleh para aktivis ini digelar sebagai tanggapan atas kegagalan hampir semua jalur hukum untuk mendapatkan ganti rugi.
“Terlepas dari kerugian yang dialami oleh para penyintas, aktivisme terkait ‘comfort women’ telah berkontribusi pada proyek yang lebih luas untuk menyuarakan perlawanan terhadap kekerasan seksual. Meski perjuangan untuk memperoleh keadilan atas kasus-kasus kekerasan seksual yang pernah terjadi di Indonesia dan kasus-kasus kekerasan seksual yang sedang berlangsung masih jauh dari selesai, […] aktivisme ini setidaknya telah berhasil menarik perhatian pada kisah-kisah perempuan yang telah lama terpinggirkan dalam sejarah,” tutup Kate.*