SELAIN daun, ranting beringin juga rontok. Di tingkat organisasi massa pendukung Golkar terjadi perseteruan. Akbar Tanjung mencatat dua ormas yang bersitegang setelah Soeharto tak lagi berkuasa di Golkar, yaitu MKGR dan Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong).
MKGR berseteru sebagai buntut dari sikap Mien Sugandhi. Sebagian orang dalam MKGR menginginkan organisasi ini tetap menjadi ormas dan menyatakan tetap mendukung Golkar. Kelompok ini dipimpin Irsyad Sudiro, anggota dewan pembina MKGR. Dalam pemilu 1999, Partai MKGR tidak mendapatkan satupun kursi. Partai ini kemudian berubah menjadi Partai Gotong Royong pada 1 Juni 2002. Jika ormas MKGR masih eksis sampai sekarang, namun kedua partai bentukan Mien Sugandhi itu sudah tak ada lagi.
Dalam musyawarah besar (mubes) ke VIII, Kosgoro pun pecah. Pangkal soalnya, para peserta mubes mentok dalam persyaratan kriteria calon ketua umum. Tak kunjung selesai, Kosgoro lalu terbagi menjadi dua: Kosgoro 1957 dipimpin Agung Laksono dan Kosgoro yang dipimpin Hayono Isman.
Kembali ke partai. Pada 9 September 2002 lahir lagi partai dari rahim Golkar: Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dipimpin Jenderal TNI (Purn.) R. Hartono dan Ary Mardjono, mantan sekretaris jenderal Golkar. PKPB mencalonkan Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut, putri Soeharto, sebagai presiden. Pemilu 2009 menuntaskan riwayatnya.
Untuk meneruskan semangat reformasi, pada 2004 Golkar mengadakan konvensi calon presiden yang diikuti Akbar Tanjung, Wiranto, Prabowo Subianto, Abu Rizal Bakrie, dan Surya Paloh. Konvensi ini dimenangkan Wiranto. Pada 2004, Golkar resmi mengusung Wiranto-Shalahudin Wahid sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Namun, pasangan ini hanya mengantongi 22,15% suara. “Menyalahkan kekalahannya karena kurangnya dukungan dari Golkar, Wiranto membangun sendiri partai pada 2006,” tulis Marcus Mietzner dalam Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarhian Indonesia. Tepatnya, pada 13 November 2006 Wiranto mendeklarasikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Dua tahun kemudian, pada 6 Februari 2008, Prabowo Subianto yang pernah menjadi peserta konvensi calon presiden Golkar dan salah seorang anggota dewan penasihat Golkar mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Pada pemilu 2014, Gerindera mengusung Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Setahun kemudian daun Golkar juga rontok ketika Surya Paloh kalah dari Abu Rizal Bakrie dalam pertarungan ketua umum Golkar dalam munas 2009. Surya yang semula mendirikan organisasi massa Nasional Demokrat akhirnya mengubahnya menjadi Partai NasDem pada 26 Januari 2013. Mendapatkan 6,72% suara nasional dalam pemilu 2014, NasDem melenggang ke Senayan dan ikut dalam barisan pengusung Jokowi-Jusuf Kalla.
Ditotal jenderal, sampai sekarang ini ada tujuh partai dari rahim Golkar. Seumpama pendekar yang memiliki ajian rawarontek (ilmu yang membuat orang tak mati-mati), meski sudah rontok di mana-mana Golkar tetap masih menampakkan kekuatannya. Itu tampak pada pemilu demokratis pertama Indonesia, 2004. Saat itu, Golkar menjadi pemenang pemilu dengan menggembol 21,58%. Pada pemilu 2014 Golkar turun peringkat menjadi pemenang kedua dengan suara 14,74% dan mengantarkan 91 kadernya ke Senayan. Jumlah ini hanya selisih 18 kursi dari pemenang pemilu, Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), yang mendapatkan 18,95% suara. Dengan angka ini Golkar masih menjadi pemain penentu, dengan mengantarkan kadernya Setya Novanto ke kursi ketua DPR; mempecundangi pemenang pemilu, PDIP.
Apakah perebutan kursi ketua umum Golkar antara Agung Laksono dan Abu Rizal Bakrie ini akan segera reda atau justru melahirkan partai baru?
[pages]