SIRINE meraung-raung di atas Pasar Beringharjo, Yogyakarta pada Minggu (4/3/18) pagi. Penanda dimulainya serangan tentara republik itu langsung diikuti suara tembakan dan beraneka dentuman senjata berat. Para serdadu Belanda yang tak siap, langsung panik mendapat serangan dari berbagai pejuru kota.
Pertempuran sengit itu membuat masyarakat yang tengah ber-Car Free Day di Maliboro langsung geger. Mereka penasaran. Banyak dari mereka mendekati sumber suara bahkan sampai melewati batas keamanan yang dijaga 150 personel Polda DIY.
Kota Yogya dihumbalang perang. Namun, hanya perang dalam aksi teatrikal dan sosiodrama yang dihelat komunitas reenactor dari beragam kota, mulai Jakarta hingga Surabaya, bekerjasama dengan Komunitas Sejarah Djokjakarta 1945, Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas, dan elemen TNI-Polri. Mereka menghelat acara tersebut untuk memperingati Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949.
Acara teatrikal bertajuk “Jogja Mendunia” itu merupakan hasil rembukan Komunitas Djokjakarta 1945 dan pihak Museum Benteng Vredeburg. “Awalnya kita dan Museum Vredeburg punya tema masing-masing untuk diusulkan. Hasil rembukan ya menghasilkan tema itu,” kata Eko Isidianto, Ketua Komunitas Djokjakarta 1945, kepada Historia.
Alasan mengapa tema itu dipilih adalah, adanya harapan agar publik Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya bisa me-refresh ingatan akan pentingnya serbuan besar ke ibukota yang telah diduduki Belanda.
“Kan memang serangan ini bukan kebetulan. Memang disengaja agar bisa didengungkan kepada dunia. Agar dunia tahu bahwa saat itu RI masih ada sebagai negara. Belum sirna sebagaimana yang dipropagandakan Belanda,” lanjut Eko.
SO akhirnya mendunia karena banyaknya wartawan asing yang –sedang meliput kunjungan delegasi Komite Tiga Negara– memberitakannya. Meski Indonesia hanya mampu merebut Jogja selama enam jam, lewat SO Indonesia sukses mendapatkan tiga tujuan sekaligus: politis, strategis, dan psikologis. Dunia jadi tahu RI masih ada, rakyat pun kembali percaya pada perjuangan bersenjata. Walhasil, tekanan dunia kepada Belanda berhasil membawa negeri itu ke meja perundingan. Pada 29 Juni 1949, Yogyakarta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Untuk membuat masyarakat bisa merasakan suasana tegang dari momen bersejarah itu, acara dibuat seotentik mungkin. Selain penggunaan sejumlah kendaraan tempur seperti tank AMX dan panser Anoa, para serdadu “dadakan” yang ikut aksi itu mengenakan seragam dan menggunakan beragam senjata yang sesuai masa SO 1 Maret. Empat dentuman senjata berat yang diikuti rangsekan “pejuang” republik ke dalam benteng mengakhiri visualisasi perebutan kembali ibukota itu.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY Umar Priyono, serangan tersebut menjadi gambagaran persatuan kuat antara TNI dan rakyat yang perlu dijaga karena belakangan muncul benih perpecahan akibat pihak-pihak tertentu. “Sejarah mengatakan saat itu penyerangan dilakukan tidak hanya oleh TNI, tetapi juga rakyat. Semoga semangat persatuan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini akan selalu terjaga dari waktu ke waktu,” katanya.