Masuk Daftar
My Getplus

Achmad Chaerun, Bapak Rakyat Tangerang

Cerita tentang mereka yang terbakar semangat revolusi kemerdekaan. Ternoda insiden rasialis.

Oleh: Ravando Lie | 07 Des 2015

MEDIO Oktober 1945, ribuan massa dari Karawaci dan Sepatan bergerak ke kediaman bupati Tangerang Agus Padmanegara di Tangerang. Tujuan mereka satu: melengserkan sang bupati. Namun Agus sudah terlebih dahulu pergi menyelamatkan diri dan keluarganya ketika massa yang terbakar semangat revolusi itu datang mengepung rumahnya.

Beberapa hari sebelumnya, pada 18 Oktober 1945 bertempat di Curug, Achmad Chaerun mendeklarasikan dirinya sebagai ′Bapak Rakyat′. Dialah yang memerintahkan Soetedjo, pemimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) Tangerang, menggerakkan ribuan massa dari Karawaci dan Sepatan untuk melakukan aksi ′daulat′ terhadap Bupati Tangerang, Agus Padmanegara.

Sang bupati berhasil dilengserkan. Achmad Chaerun pun ditunjuk sebagai Bupati baru Tangerang. Seluruh Pamong Praja mulai dari bupati sampai lurah diberhentikan secara sepihak oleh Chaerun. Berbagai aksi rakyat dikonsolidasi hingga ke tingkat daerah guna membersihkan sisa-sisa pemerintahan lama. Hubungan kerjasama dengan pemerintah pusat di Jakarta juga diputus.

Advertising
Advertising

Haji Achmad Chaerun anak Kyai Chaerun, ulama terkemuka asal Banten. Achmad Chaerun menyelesaikan studinya di Mekkah pada 1920 dan menjadi pengikut ajaran Kyai Abdulkarim Banten. Dirinya sempat mendapatkan pendidikan dasarnya di Pesantren Doyong, kemudian nyantri kepada Kyai Asnawi di Pesantren Caringin, Labuan, Banten pada kurun 1908-1913.

Pada 1921 dia mengambilalih kepemimpinan Sarekat Islam cabang Tangerang dari Said Usman Alasgaf, setelah Said Usman dianggap terlalu lembek dalam melawan Belanda. Dukungan terhadap Achmad Chaerun datang dari berbagai kelompok Islam di Tangerang. Tidak sedikit haji-haji yang memutuskan untuk bergabung dalam gerakannya. Tidak hanya itu, Achmad Chaerun juga dikenal sebagai jawara dan ahli kebatinan.

Di masa Jepang, bersama-sama dengan Syekh Abdullah dan Deos, Chaerun sempat mendirikan organisasi semi-militer bernama ′Barisan Banteng Tangerang′. Barisan Banteng Tangerang sempat memiliki 4.000-5.000 anggota tetap dengan markas pusatnya di daerah Sepatan. Namun karena aktivitas pergerakan mereka yang dianggap mencurigakan dan meresahkan Jepang, Barisan Benteng Tangerang dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Haji Achmad Chaerun, Syekh Abdullah, Usman, dan Dulloh kemudian ditangkap oleh Kenpeitai (Polisi Jepang), sementara para pimpinan lainnya dapat melarikan diri ke Jakarta, tepatnya ke Menteng 31 guna mencari perlindungan.

Pada masa revolusi, Achmad Chaerun menjadi inisiator dari berdirinya kelompok politik bernama Sangiang di Tangerang. Sebagian besar anggota Sangiang merupakan bekas anggota Barisan Banteng Tangerang. Lewat pendekatan keislaman, Sangiang berhasil merekrut banyak pengikut, terutama mereka yang berasal dari kalangan santri, haji, dan ulama di Tangerang.

Di Kampung Sangiang, Achmad Chaerun menawarkan pelajaran ilmu kebatinan kepada para pengikutnya, termasuk ′ilmu kebal′. Bersama-sama dengan kelompok Barisan Banteng Merah, Chaerun memiliki peranan kunci dalam peristiwa revolusi sosial di Tangerang.

Chaerun terus mendorong dibentuknya organisasi milisi. Pada 8 November 1945, seperti dilansir dalam arsip Procureur-Generaal bij het Hooggerechtshof Ned. Indie, 1945-1950. Inv. nr. 1056, pemerintahan ′Rakyat Jelata′ Tangerang mengeluarkan pengumuman yang isinya mendorong para bekas anggota organisasi militer seperti PETA, Heiho, Kaigun Heiho, Seinendan, Keibodan, Pelopor, dan para pemuda untuk menjadi anggota BKR atau TKR Tangerang.

Tidak ada syarat khusus bagi yang tertarik untuk bergabung, asalkan umur mereka masih berkisar 18-35 tahun, sehat, dan bila memungkinkan bisa baca-tulis. Para wedana Tangerang pun wajib untuk berkoordinasi dan berkorespondensi terkait dengan prosedur perekrutan tersebut.

Matia Madjiah menulis dalam bukunya yang berjudul Dokter Gerilya, periode awal kemerdekaan di Tangerang ditandai dengan munculnya berbagai organisasi pergerakan, seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Sutejo, Barisan Pelopor, Laskar Rakyat, dan sebagainya. Laskar Pasukan Berani Mati (LPBM) atau yang biasa disebut sebagai Laskar Hitam atau Laskar Ubel-Ubel juga didirikan di bawah pimpinan Syekh Abdullah.

Di Tangerang, situasi semakin memburuk dengan kemunculan LPBM dan organisasi paramiliter tersebut. “Tidak jarang mereka menjadi penyebab dari berbagai kekacauan yang terjadi di Tangerang. Apalagi senjata api dengan mudahnya dapat ditemukan di pasar gelap. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang tak mengindahkan instruksi dari tentara resmi Indonesia, dan beraksi sesuai dengan kehendaknya sendiri,” tulis Srimastuti Purwaningsih dalam tesisnya yang berjudul Kerusuhan Anti Cina Tangerang 1913-1946.

[pages]

Kekerasan Rasial

Di bawah kepemimpinan Chaerun, kondisi orang-orang Tionghoa semakin memprihatinkan. Seringkali Laskar Hitam menggunakan nama dan pengaruh Chaerun untuk menekan orang Tionghoa. Herwin Sumarda dalam skripsinya yang berjudul Tangerang 1945-1946: Pemerintahan dan Rakyat menulis toko dan rumah orang Tionghoa kerap menjadi sasaran penggedoran kelompok Laskar Hitam. Dalih yang kerap digunakan adalah ′razia senjata′.

Jika ternyata tidak menemukan apapun, maka sebagai gantinya mereka akan mengambil barang yang dianggap berharga. Namun bila ternyata ditemukan senjata, maka biasanya kepala keluarga akan ditahan dengan tuduhan sebagai mata-mata NICA. Umumnya mereka yang ditahan tidak pernah kembali. Di mana-mana dilakukan aksi pemboikotan terhadap toko-toko Tionghoa. Organisasi dan konglomerat Tionghoa juga dipaksa untuk memberikan sumbangan hingga ribuan gulden dengan dalih ′perjuangan′.

Antara bulan November hingga Desember 1945 orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah Sepatan, Mauk, Kronjo, dan Kresek, bersama-sama dengan para pegawai sipil Tangerang, melarikan diri ke Kota Tangerang, mengingat daerah-daerah di luar Kota Tangerang sudah dirasa tidak aman.

Pemerintah pusat Republik di Jakarta, yang terletak hanya 25 kilometer dari Tangerang, tidak mampu melakukan apapun. Achmad Chaerun selaku pemimpin seperti tak berdaya untuk mencegah aksi-aksi tersebut. Laskar Hitam semakin merajalela dan kerap melakukan serangan terhadap siapapun yang masih loyal terhadap pemerintah pusat.

Langkah cepat kemudian diambil oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melalui Resimen IV untuk mengambilalih pemerintahan Chaerun. Dalam surat keputusan yang dikeluarkan TKR Tangerang disebutkan bahwa terhitung sejak tanggal 14 Januari 1946, pemerintahan Tangerang resmi berada di bawah perlindungan TKR.

Para tokoh terkemuka Tangerang seperti Achmad Chaerun, Haji Alibasyah, Haji Muhur, Haji Arsyad, Haji Saelan, dan Abbas kemudian diasingkan ke Selabintana, Sukabumi, di bawah pengawasan ketat Didi Kartasasmita, komandan Komandemen I TKR Jawa Barat. Dewan Rakyat Tangerang dirombak. Bupati baru pun dipilih. Achyat Pena yang sebelumnya menjabat sebagai wakil bupati, ditunjuk sebagai bupati baru Tangerang. Namun teror terhadap orang Tionghoa tidak berhenti di situ saja.Di awal Juni 1946 terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang Tionghoa di Tangerang, dimana lebih dari 1.000 orang Tionghoa terbunuh. 

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Sebelum Telepon Jadi Pintar Empat Hal Tentang Sepakbola Andi Azis, Tambora, dan Hutan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Meneer Belanda Pengawal Mistar Indonesia Riwayat Jackson Record Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Akhir Kisah Raja Lalim Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola