Masuk Daftar
My Getplus

Wushu dan Telepon Merah RI Satu

Kerja keras IGK Manila berbuah manis. Mengangkat Wushu dari represi menjadi prestasi.

Oleh: Randy Wirayudha | 10 Feb 2018
I Gusti Kompyang Manila (tengah, baris kedua) bersama sejumlah atlet Wushu Indonesia. Foto: Repro "IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara."

TEPAT di Hari Pahlawan 10 November 1992, Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) berdiri. I Gusti Kompyang (IGK) Manila yang sedari awal membidani dan membina wushu, punya pekerjaan rumah (PR) besar sebagai Ketua Umum pertama PBWI. (Baca: Wushu Menembus Sentimen dan Stigma Orde Baru). Terlebih, target jangka pendek organisasi itu adalah pembinaan dan pengembangan para atlet untuk persiapan SEA Games 1993 di Singapura.

Manila langsung mengagendakan beragam tur sosialisasi dan pengguliran kejuaraan di 27 provinsi. “Pak Manila ingin wushu lebih dikenal masyarakat,” kenang Ahmad Idris, praktisi dan salah satu atlet pertama wushu Indonesia yang sempat diminta ikut sosialisasi di berbagai kota selama tiga bulan, dikutip koran Tempo, 28 Januari 2004.

Namun, kendala bermunculan. Dua hal paling urgent adalah dana untuk perlengkapan berstandar internasional dan kebutuhan akan pelatih-pelatih yang qualified. Manila lantas membawa persoalan ini ke Cendana, tempat kediaman Presiden Soeharto.

Advertising
Advertising

Manila yang ketika itu masih berpangkat kolonel dari satuan intelijen Corps Polisi Militer (CPM), dikenal Soeharto sebagai komandan Operasi Ganesha dan manajer timnas PSSI di SEA Games 1991. Soeharto juga tahu gagasan dari KONI untuk mengembangkan Wushu yang dijalankan Manila. Dia menganggap Wushu bisa jadi sarana persahabatan yang lebih erat lagi dengan China setelah pemulihan hubungan RI-China, Agustus 1990.

“Soeharto manggut-manggut waktu dilapori. Tidak banyak cakap, the smiling general itu langsung angkat telepon merah –yang hanya dipakai Soeharto menghubungi orang-orang untuk urusan yang sangat penting,” tulis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso di biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara.

Selesai mengontak seseorang lewat telepon merah, Soeharto memberi solusi singkat pada Manila. “Hubungi Gunung Sahari!” perintah Soeharto. “Siap,” jawab Manila.

Gunung Sahari yang dimaksud Soeharto merupakan sebutan tempat tinggal konglomerat Tionghoa kenalan dekat Soeharto bernama Liem Sioe Liong alias Sudono Salim –yang beralamat di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Dari situ, Manila mendapat modal dana untuk memuluskan pengembangan wushu.

Kendala Manila tinggal mencari pelatih wushu berkualitas. Perihal ini, Manila melakukan pendekatan ke Kedutaan Besar RRC. Dari situ, Manila mendapat rekomendasi mendatangkan dua pelatih: Wang Donglien dan Deng Changli. Kedua nama ini kemudian mengemban tugas penyeleksian terhadap 100 calon atlet yang tersaring dari berbagai daerah. Setelah tersaring 14 atlet, kedua pelatih itu lalu menebalkan skill para atlet di disiplin ilmu Taolu selama enam bulan.

“Kita sempat dibawa ke China, tepatnya ke Shanxi. Jadi kita lima bulan pelatnas di Jakarta. Lalu sebulan sebelum SEA Games, kita dikirim ke Shanxi,” kenang Fonny Kusumadewi, salah satu mantan atlet timnas Wushu di SEA Games 1993, kepada Historia.

Di sana, mereka lebih mendalami Taolu atau kategori keindahan jurus. Taolu terbagi menjadi nomor tangan kosong dan senjata. Tangan kosong berisi antara lain changquan (pukulan panjang utara), nanquan (tinju selatan), taijiquan (style taichi), xingyiquan (pukulan jarak dekat), dan duilian yang dilakukan dua atlet berpasangan. Sedangkan Taolu yang menggunakan senjata terdiri dari daoshu (jurus golok/pedang bermata satu), jianshu (jurus golok/pedang bermata dua), nandao (jurus golok/pedang selatan), taijijuan (jurus pedang Taiji), gunshu (jurus tongkat/toya), nangun (jurus tongkat/toya selatan), dan Qiangshu (jurus tombak).

Kategori Sanda atau pertarungan/duel berkembang kemudian. Ia berisi kelas nomor 48 kilogram (kg), 52 kg, 56 kg, 60 kg, 70 kg, dan 75 kg.

Keempat belas atlet Indonesia yang belajar di Tiongkok itu lalu memulai debut di SEA Games 1993 Singapura. Sayangnya, mereka pulang dengan tangan hampa. “Karena kita Indonesia peserta terbaru, persiapan juga hanya enam bulan. Dari nol semua. Sementara negara lain persiapannya sudah sekian tahun karena berdiri lebih dulu. Dari 14 yang dikirim, satupun tak ada dapat medali. Tapi kita menyadari waktu itu masih paling bawah,” lanjut Fonny.

Prestasi pertama mereka datang dua tahun kemudian di ajang Kejuaraan Dunia 1995 di Baltimore, Amerika Serikat (AS). Sebagaimana dilansir Kompas 12 Desember 2017, atlet Wushu Jainab memetik medali perak di kategori Taolu nomor Taijiquan putri. Prestasi ini baru bisa dilewati oleh Gogi Nebulana di Kejuaraan Dunia Wushu 2007 di Beijing. Gogi meraih emas untuk kategori Taolu nomor Jianshu putra.

Di era Reformasi, wushu kian menggema. Indonesia akhirnya dipercaya IWUF (Federasi Wushu Internasional) untuk menggelar Kejuaraan Dunia Wushu 2015 di Jakarta. Gelaran akbar itu turut mendatangkan praktisi wushu yang tersohor sebagai aktor laga, Li Lian Jie. Publik sejagat mengenalnya sebagai Jet Li. Panitia mengundangnya untuk lebih mempromosikan wushu dan menularkan inspirasi pada khalayak Indonesia. Meski gagal juara umum, di ajang ini Indonesia jadi runner-up dengan 7 emas, 3 perak dan 6 perunggu, di bawah China.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Serdadu Ambon Gelisah di Bandung Permina di Tangan Ibnu Sutowo Sudirman dan Bola Selintas Hubungan Iran dan Israel M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Tradisi Sungkeman