Masuk Daftar
My Getplus

Sembilan Atlet di Antara Dua Gender (Bagian II – Habis)

Kelainan alat reproduksi kerap jadi kontroversi bagi para atlet sejak abad ke-20. Yang dialami Aprilia Manganang menambah daftar kasus langka tersebut.

Oleh: Randy Wirayudha | 14 Mar 2021
Aprilia Manganang jadi satu di antara kasus langka kelainan gender yang dialami atlet dunia. (Fernando Randy/Historia.id).

KASUS kelainan alat reproduksi yang dialami mantan pevoli timnas putri, Serda Aprilia Manganang, bukan kasus baru dalam sejarah olahraga di dunia. Pada era 1950-an, olahragawati atletik Karnah Sukarta juga sempat bikin kegegeran serupa.

Karnah pernah berjaya di Asian Games 1951 di New Delhi dan Asian Games 1958 di Tokyo. Ia juga pernah dua kali menikah dengan laki-laki. Tetapi ia mengalami kejadian aneh pada 1979. Mengutip Poskota, 8 Juni 2007, Karnah mengklaim ia bermimpi bahwa dia akan menikah dengan perempuan setelah berziarah ke makam Bung Karno. Setelah itu, keanehan terjadi pada tubuhnya. Alat reproduksinya berubah, hingga ia mengganti namanya jadi Iwan Setiawan dan menikah dengan perempuan.

Namun, tak ada penjelasan medis terkait fenomena Karnah itu. Karnah tak seberuntung Manganang yang mendapat penjelasan medis bahwa dia mengalami kelainan hipospadia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Atlet Putri yang Bertransformasi jadi Laki-laki

Kasus hipospadia tersebut bukan kasus pertama atau kedua yang dimiliki sejumlah atlet dunia. Setidaknya ada enam atlet di abad ke-21 yang mengalami berbagai kelainan alat reproduksi. Sebagian dari mereka gagal dalam tes verifikasi gender yang diterapkan IOC (Komite Olimpiade Internasional) sejak 1966. Lima di antaranya atlet India: Pratima Gaonkar (renang) Santhi Soundarajan (atletik), Pinki Pramanik (atletik), dan Dutee Chand (atletik); serta pelari Afrika Selatan Caster Semenya.

Sebelum persyaratan tes gender IOC (Komite Olimpiade Internasional) ada, sejarah olahraga modern mencatat ada sembilan atlet sepanjang abad ke-20 yang diragukan gendernya. Di bagian pertama sudah diulas empat di antaranya, yakni: Mary Louise Weston (Inggris), Stanisława Walasiewicz (Polandia), Zdena Koubková (Cekoslovakia), dan Foekje Dillema (Belanda). Berikut lima lainnya:

Tamara dan Irina Press

Kolase "Press Bersaudari", Tamara Natanovna (kiri) & Irina Natanovna. (Asahi Shinbun, 19 Oktober 1962).

Kisah tentang kerancuan gender Press bersaudari masih jadi misteri hingga kini. Pasalnya keduanya tak pernah melakukan tes kromosom hingga kini. Semua rahasia Tamara, yang lahir pada 10 Mei 1937, dan Irina, lahir pada 10 Maret 1939, ditutup rapat oleh pemerintah Uni Soviet.

Sejak 1950-an Tamara acap jadi langganan pendulang emas bagi Uni Soviet di beraneka ajang di cabang atletik pada nomor lempar cakram dan tolak peluru putri. Termasuk di Kejuaraan Eropa 1958 dan 1962, serta Olimpiade 1960 dan 1964. Sedangkan Irina merupakan andalan Uni Soviet di nomor lari gawang 80 meter dan pentatlon putri.

Keduanya sudah dinyatakan pensiun tepat sebelum IOC mewajibkan tes verifikasi gender pada 1966. Sejak saat itu, nama keduanya hilang dari pentas olahraga internasional. Maka isu bahwa Tamara dan Irina adalah “alat” pemerintah komunis Uni Soviet untuk mengagungkan citra olahraganya dengan memalsukan identitas gender keduanya pun muncul. Pola itu dianggap sama dengan yang dilakukan Nazi Jerman di Olimpiade 1936, ketika atlet putra Hermann dipropagandakan sebagai atlet putri bernama Dora Ratje.

Baca juga: Sembilan Atlet di Antara Dua Gender (Bagian I)

Padahal, disebutkan Thomas H. Murray dalam Good Sport: Why Our Games Matter – and How Doping Undermines Them, penampilan fisik Tamara dan Irina sangat meyakinkan bahwa mereka perempuan karena payudara keduanya tumbuh. Hanya saja, perilaku keduanya sangat maskulin.

“Dirumorkan mereka adalah laki-laki yang menyamar jadi perempuan, atau perempuan yang disuntikkan hormon (laki-laki) demi berkompetisi. Kemungkinan besarnya adalah, mereka mengalami DSD, walau kemudian pensiun untuk menghindari pemeriksaan terkait anatomi tubuh yang tidak normal,” sebut Murray.

Ewa Janina Kłobukowska

Ewa Kłobukowska korban tes gender. (olimpedia.org).

Saat lahir di Warsawa pada 1 Oktober 1946, Kłobukowska dinyatakan sebagai perempuan. Pun ketika terjun ke atletik dan meraih emas nomor estafet 4 x 100 meter di Olimpiade Tokyo 1964 serta Kejuaraan Eropa 1966 di Budapest, ia pun tampil sebagai pelari putri.

Tetapi ia mengalami titik balik saat tidak lolos tes gender menjelang kejuaraan atletik di Kiev pada 1967. Hasil pemeriksaan genetiknya menyebutkan ia memiliki kromosom laki-laki dominan.

Baca juga: Tendang Bola Bisa Hilang Keperawanan?

Hasilnya, ia pun dilarang berkompetisi oleh IAAF. Semua catatan prestasi medalinya pun dicabut IAAF.

“Seorang perempuan tak bisa menjadi perempuan dan tak mengetahuinya selama ini,” ungkap seorang anggota komisi IAAF, dikutip Robyn Ryle dalam Throw Like a Girl, Cheer Like a Boy: The Evolution of Gender, Identity, and Race in Sports.

Namun uniknya, Kłobukowska tetap bisa hamil. Dia melahirkan pada 1968. Diketahui kemudian, Kłobukowska tak mengalami kelainan alat kelamin. Ia hanya kelainan genetik pada kromosomnya yang dominan laki-laki, sementara alat reproduksi perempuannya tetap bisa bekerja. Kasus Kłobukowska hingga kini dikenang sebagai korban pertama dari kesalahan tes gender dalam olahraga.

Erika Schinegger

Jawara ski putri, Erika Schinegger yang memilih jadi laki-laki. (Alchetron).

Saat dilahirkan pada 19 Juni 1948 di Agsdorf, Austria, Schinegger dinyatakan sebagai perempuan dan tumbuh besar hingga jadi atlet ski perempuan yang memenangi Kejuaraan Dunia Ski 1966 di Portillo, Cile. Namun dua dekade kemudian, Schinegger memilih melanjutkan hidupnya sebagai laki-laki dan bersedia memulangkan medali emasnya.

Pada 1967, jelang Olimpiade Musim Dingin 1968 di Grenoble, Schinegger tak lolos tes gender yang diwajibkan IOC. Sebagaimana dikutip suratkabar Los Angeles Times, 19 November 1988, tim medis IOC saat itu menemukan hormon laki-laki yang sangat dominan dari sampel air liur Schinegger.

Baca juga: Akhir Tragis Olahragawati Prancis

“Setelah memeriksa area perut bawah, tim dokter menemukan adanya organ testis yang justru tumbuh di dalamnya, bukan di luarnya sebagaimana normalnya laki-laki,” tulis suratkabar itu.

Schinegger lantas dinyatakan mengalami kelainan interseks. Schinegger memutuskan untuk menjalani operasi alat kelaminnya dan mengumumkan dirinya sebagai laki-laki sekaligus mengubah namanya menjadi Erik Schinegger. Operasi itu berjalan sukses. Schinegger kemudian menikahi seorang perempuan dan kemudian bisa menjadi ayah dari keturunannya sendiri.

Maria José Martínez-Patiño

MJ Martínez-Patiño punya kelainan AIS. (vidaatleticodegalicia.org).

Sejak lahir pada 10 Juli 1961, Martínez-Patiño sudah dinyatakan punya kelainan Androgen insensitivity syndrome (AIS), sebuah kondisi interseks yang hormon testosteronnya tidak bekerja. Surat pernyataan itu turut disertakan oleh atlet lari gawang Spanyol itu kala mengikuti tes-tes gender berkala di setiap kejuaraan di bawah naungan IAAF.

Ketika mengikuti Kejuaraan Dunia IAAF 1983, Martínez-Patiño dinyatakan lolos tes gender dengan bukti “Certificate of Feminity”. Namun ketika hendak tampil di World University Games 1985 di Kobe, Jepang, Martínez-Patiño khilaf tak membawa sertifikat itu. Alhasil ia gagal lolos saat menjalani sex chromatin test dan tak bisa mengonfirmasi dirinya perempuan gegara lupa membawa sertifikasi yang ia peroleh dua tahun sebelumnya itu.

Kay Schaeffer dalam “One Chromosome Too Many?” yang dimuat dalam buku The Olympics at the Millennium mengungkapkan, IOC menyarankan Martínez-Patiño untuk tidak mengumumkan hal itu ke publik. Alih-alih dengan alasan gagal melewati tes, IOC menyarankan Martínez-Patiño untuk mengumumkan bahwa ia batal ikut dengan alasan yang dibuat-buat: cedera. Martínez-Patiño pun menuruti saran itu.

Dua bulan berselang, ia menjalani tes kromosom lagi. Meski kromosom laki-lakinya sedikit lebih dominan, dalam surat pernyataannya ia dinyatakan mengalami AIS tetapi tetap diputuskan bahwa Martínez-Patiño adalah perempuan. IOC lantas memberi pernyataan, “Dia didiskualifikasi karena sebuah keuntungan (dianggap laki-laki, red). yang tak ia miliki.”

Baca juga: Para Ibu di Lapangan Hijau

TAG

atletik atlet

ARTIKEL TERKAIT

Kompak Unjuk Aksi Solidaritas HAM di Podium Olimpiade Epilog Tragis Sang Pengusung Bendera Palestina di Olimpiade Sebelum Ferry Juara Dunia Bulutangkis Srikandi Catur Itu Bernama Lindri Juni Sembilan Atlet di Antara Dua Gender (Bagian I) Kawin-Cerai di Ganda Campuran Bob Hasan di Lintasan Pertarungan Terakhir Pahlawan Piala Uber Jalan Berliku Judoka Krisna Bayu Liang Tjiu Sia, Pelatih Kelas Wahid yang Namanya Tak Melangit