Masuk Daftar
My Getplus

Srikandi Catur Itu Bernama Lindri Juni

Lindri Juni jadi salah satu srikandi catur pertama Indonesia yang menyandang gelar master internasional.

Oleh: Randy Wirayudha | 06 Apr 2023
WIM Lindri Juni Wijayanti, srikandi catur yang disegani pada masanya (Fernando Randy/Historia)

DEBU-DEBU dari penghapus papan tulis yang dibersihkan Beth Harmon berterbangan memenuhi sebuah gudang rubanah. Tetapi kemudian fokus gadis sembilan tahun itu teralihkan dari aktivitas membosankannya itu setelah mencuri pandang ke celah sela rak-rak di gudang. Saking penasarannya saat melihat seorang tua sedang memainkan 32 bidak hitam-putih di atas sebuah papan kotak-kotak berwarna senada, ia pun mendekat.

Adalah Tuan Shaibel, petugas kebersihan Panti Asuhan Putri Meuthen, orang tua tadi. Ia sedang berpikir keras saat memainkan permainan yang belum dimengerti Beth itu. Darinyalah Beth mengenal permainan yang dimaksud adalah catur. Bahkan, Shaibel pula yang mengajari Beth teknik dan strategi klasik permainan catur, seperti Pembukaan Italia, Pembukaan Sisilia, hingga Pembukaan dan Pertahanan Queen’s Gambit alias Gambit Menteri.

Momen itu hanyalah permulaan kisah Beth (diperankan Anya Taylor-Joy) dalam miniseri Netflix bertajuk The Queen’s Gambit (2020), di mana Beth kelak jadi pecatur perempuan yang disegani dunia. Kendati karakter dan kisahnya fiktif, pengaruh The Queen’s Gambit dalam meroketkan lagi pamor catur di masa pandemi begitu nyata dan masif di dunia internasional, termasuk Indonesia.

Advertising
Advertising

Baca juga: Tur Catur Max Euwe ke Indonesia

Terlebih di tanah air, pamor catur –lazimnya dimainkan beragam lapisan masyarakat, mulai dari kelas warung kopi hingga golongan pejabat– makin terdongkrak usai viralnya pecatur daring, Dewa Kipas alias Dadang Subur, yang dituding curang oleh pecatur daring lainnya, Gotham Chess alias Levy Rozman, di platform chess.com pada awal Maret 2021. Puncak dari kehebohan itu, Dadang Subur ditantang Woman Grandmaster (WGM) Irene Kharisma Sukandar dalam permainan on the board (OTB) yang ditayangkan kanal Youtube Deddy Corbuzier. Jumlah penontonnya memecahkan rekor, mencapai 1,25 juta viewers, dan jadi trending topic teratas mengalahkan kondangan selebriti Aurel Hermansyah dan Atta Halilintar yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta nasional.

“Tahu-tahu heboh sekali, viral banget. Saya sebenarnya ya juga sedikit, Astaghfirullahaladziim, itu Dewa Kipas kok bisa seperti itu? Jadi GM (Grandmaster) itu susahnya minta ampun tapi bisa-bisanya menantang Irene. Alhamdulillah sama Irene-nya dipukul benar, habis 3-0, kan? Wah, baru tahu rasa,” kata WIM Lindri Juni Wijayanti, pecatur putri era 1980-an bergelar Woman International Master (WIM), kepada Historia.

Namun ingar-bingar tren itu hanya sesaat. Pamor catur di masyarakat berangsur balik lagi ke “setelan pabrik” atau datar-datar saja.

Padahal, Indonesia punya banyak jago catur putri dari kalangan Gen-Z bergelar master internasional. Selain Irene Kharisma Sukandar, ada WGM Medina Warda Aulia, WGM Dewi Ardhiani Anastasia Citra, WIM Chelsie Monica Ignesias Sihite, dan Woman FIDE Master Samantha Edithso yang kini baru berusia 15 tahun.

Baca juga: Hitam-Putih Catur Indonesia

Tiga pecatur bergelar WGM, ki-ka: Irene Kharisma Sukandar, Medina Warda Aulia, dan Dewi Ardhiani Anastasia Citra (scua.id/pbpercasi.com)

Pionir Catur Putri

Di salah satu sudut ruang tengah kediaman Lindri Juni Wijayanti di Depok, Jawa Barat yang bercat merah jambu, satu meja marmer yang di atasnya melekat papan catur menjadi penghuninya. Dua atau tiga foto menghiasi ruang yang sama. Hanya itulah kenang-kenangan dari masa ketika ia masih aktif bermain catur pada usia muda.

Lindri bukanlah sembarang pecatur. Ia punya segudang prestasi meski ia tak pernah lagi memperlihatkan medali atau piala yang pernah ia raih di rumahnya.

Lindri yang lahir di Kediri pada 16 Juni 1963 itu berkisah bahwa ia mengenal dan menekuni permainan catur secara otodidak dari ayahnya di usia sekolah dasar. Bakatnya di olahraga asah otak itu ternyata besar. Dalam waktu singkat, ia menembus turnamen antarkampung hingga kejuaraan daerah (kejurda).

“Setelah diajarin ayah, saya kembangkan sendiri karena enggak ada yang melatih, enggak ada yang mengajarkan teori untuk ikut. Sampai saya SMP itu ada (pengurus pengda) yang melihat, namanya Bapak Tarkah. Dia heran ada pecatur cewek sendirian. Lalu saya diambil (pengda) dan baru diajarin teori sebentar sebelum ikut turnamen (kejurda) Jawa Timur. Juara I terus selama di Jawa Timur dulu,” kenang Lindri.

Baca juga: Rossy Sang Srikandi

Lindri kemudian diproyeksikan untuk jadi wakil pertama Jawa Timur di Kejurnas Wanita II 1979. Ia digabungkan dengan beberapa pecatur putra dalam training camp (TC) di Dukuh Kupang, Surabaya, di bawah naungan KONI Jawa Timur.

“Mulai deh digembleng teori sama Pak Tarkah, sama Pak Abubakar Baswedan selama satu bulan. Diajarin opening, problim, mengarahkan semacam trik catur mematikan ini langkah-langkahnya yang simpel-simpel dulu. Jadi ada teori untuk opening, sambung lagi dengan middle-nya, terakhir dengan endgame-nya. Latihannya diadu sama cowok-cowok,” lanjutnya.

Foto lawas selama Lindri berkarier sebagai pecatur sejak 1978-1996 (Randy Wirayudha/Historia)

Menurut Ketum Percasi periode 1955-1965 Frits Kilian Harahap dalam Sejarah Catur Indonesia, peserta Kejurnas Wanita II 1979 menyusut menjadi 10 pecatur jika dibandingkan 16 peserta di kejurnas pertama pada 1978. Meski begitu, pesertanya mendapat tambahan dua pengda, yakni Bali dan Jawa Timur yang diwakili Lindri.

Nyali Lindri tak ciut meski harus meladeni para pecatur putri senior yang lahir dari Kejurnas Wanita I 1978 macam Imasniti, Hanik Maria, Mun’yati, Nanik Wijaya, atau Upi Damayanti Tamin. Hasilnya pun tak mengecewakan, Lindri keluar sebagai runner-up.

“Nah tahun 1979 di Cipayung itu pertamakali terjun untuk kejurnas dan langsung runner-up. Sama poinnya sama master nasional Imasniti. Jadi dia 6 poin, saya juga 6 poin,” jelas Lindri.

Baca juga: Babak demi Babak Kehidupan Julisa Rastafari

Usai Kejurnas Wanita II, Lindri pun dipanggil pelatnas Percasi untuk persiapan Olimpiade Catur 1982 di Lucerne, Swiss. Bersamanya ada tiga pecatur putri lain: Retnowati Hadian, Munyati, dan Darmayanti. Itu jadi momen pertama Indonesia bisa mengirim dua regu: putra dan putri.

Sebagai persiapannya, mereka dikumpulkan dalam training camp di sebuah wilayah dingin untuk adaptasi suhu. Lantas dilanjutan beragam program sparring, teori, dan analisa yang tentu belum dibantu teknologi komputer seperti sakarang.

“Kalau sparring kita didatangkan pemain dari klub-klub lain. Teori-teori ya kita buka-buka buku. Kalau untuk analisa, dulu setiap olimpiade itu ada notasi-notasi buletin dari turnamen itu sendiri. Kalau di olimpiade round pertama itu muncul. Kita akan belajar dari situ saja. Misalkan round pertama buletinnya udah keluar, jadi pairing-nya (lawan, red.) main seperti ini, seperti ini, jadi kita analisa sendiri,” terangnya.

Sesekali Lindri gemar membuka lagi papan permainan caturnya (Randy Wirayudha/Historia)

Sebagai debutan, tim putri Indonesia yang dipimpin ofisial Baris Hutagalung pulang dengan hasil lumayan. Indonesia menempati posisi ke-24 dari 44 tim peserta.

Sepulangnya dari Swiss, Lindri pindah ke Pengda DKI dengan iming-iming bisa dikaryakan di Bank BNI 46. Karena sering latihan tarung dengan pecatur putra selama di Pengda Jakarta dan pelatnas, Lindri meraup empat kali juara kejurnas wanita (1984, 1988, 1990, dan 1991). Rekor empat kali juara nasional ini baru bisa disamakan Irene Kharisma Sukandar pada 2006-2010.

Baca juga: Totalitas Srikandi Lapangan Hijau

Usai keikutsertaannya di Kejuaraan Interzonal 1993 di Jakarta dengan menempatkan diri di rangking 33, Lindri resmi mendapat gelar Woman International Master (WIM) dari FIDE. Prestasi tertinggi Lindri bersama tim putri Indonesia di Olimpiade Catur, diraih di Yerevan, Armenia pada 1996. Di sana Lindri cs. menempati rangking 11.

“Kita di tahun 1996 10 besar (11 besar) dunia. Sampai sekarang belum ada lagi kan? Masih kita. Tapi itu saja kita pulang ke tanah air biasa saja. Enggak ada yang meriah sekali seperti zaman sekarang,” tambah Lindri.

Usai olimpiade itu, Lindri memutuskan pensiun secara profesional tanpa menyebutkan alasannya. Mungkin karena Lindri dikaryakan oleh bank pelat merah.

“Kita dulu yang penting bawa nama negara ke kancah internasional saja sudah bangga sekali. Enggak berpikiran cari duit. Pas olimpiade, satu babak kita menang regunya tentu ada bonus dari ofisial. Kalau saya pas juara Asia 1993 itu sekitar Rp3-5 juta bonusnya. Setelah olimpiade (1996) saya berhenti main catur, kepikiran lagi dari pemerintah itu memang tidak seperti sekarang penghargaannya: Rp1 miliar, Rp2 miliar kayak di tenis atau bulutangkis, jauh sekali,” tandas Lindri.

Baca juga: Pertarungan Terakhir Pahlawan Piala Uber

TAG

catur atletlegenda

ARTIKEL TERKAIT

Percasi dari Masa Revolusi Tur Catur Max Euwe ke Indonesia Jalan Berliku Judoka Krisna Bayu Pangeran Diponegoro Suka Main Catur Liang Tjiu Sia, Pelatih Kelas Wahid yang Namanya Tak Melangit Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi