SUASANA kantor Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Bogor siang di akhir Maret 2018 itu cukup asri. Keasrian makin lengkap dengan senyum menyejukkan dan sambutan hangat dari karyawati berseragam putih sang tuan rumah.
“Saya di sini sebagai kasi (kepala seksi) Pembibitan dan Tenaga Keolahragaan. Saya di sini (lingkungan Pemkot Bogor) sejak 2012. Sebelumnya, di Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Baru tahun lalu saya pindah ke Dispora,” ujar Rossy Pratiwi Dipoyanti Syechabubakar, karyawati tadi, memulai perbincangan dengan Historia.
Rossy merupakan salahsatu srikandi tenis meja (pingpong) nasional era 1980-an sampai awal 2000-an. Popularitasnya mungkin hanya bisa disaingi Diana Wuisan atau Ling Ling Agustin, pasangan Rossy saat berlaga di nomor ganda putri tenis meja Olimpiade Barcelona 1992.
Atlet Kampung Jadi Ratu Ping Pong
Lahir di Bandung, 28 Juni 1972 dari pasangan Ali Umar Syechabubakar dan Neni Nurlaeni, Rossy menggandrungi tenis meja sedari kanak-kanak. “Sejak kelas II SD sudah kenal tenis meja dari ayah sendiri. Beliau kebetulan hobi dan kita punya meja pingpong di depan rumah. Dulunya saya atlet kampung,” kata Rossy.
Rossy meretas kariernya dari perlombaan-perlombaan antarkampung. Saat kelas IV SD, dia masuk klub Triple V. Di sanalah Rossy mengenal salah satu legenda tenis meja Diana Wuisan. Diana yang melihat Rossy berpotensi besar, lalu mengajak masuk ke klub PTM Sanjaya Gudang Garam di Kediri. “Saya tinggal di sana dari kelas enam sampai lulus SMA. Hampir tujuh tahunlah,” tambahnya.
Demi karier, Rossy rela pisah dari kedua orangtuanya di Bandung karena mesti tinggal di asrama Gudang Garam, Kediri. Dari situ bintang Rossy mulai bersinar. Rossy digembleng lewat berbagai kompetisi, termasuk Asian Junior Championship di Nagoya, Jepang, April 1986. Di turnamen itu, tim putri Indonesia hanya sanggup berada di peringkat enam, di bawah Taiwan, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan dan Cina.
Toh, Rossy mulai menggapai prestasi di beragam turnamen nasional, mulai dari kejuaraan tingkat daerah hingga Pekan Olahraga Nasional (PON). Sepanjang kariernya hingga 2008, Rossy pernah mewakili Jawa Timur, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Lampung, dan Sumatera Selatan di PON. “Sudah enggak ingat berapa medali yang saya dapat sepanjang PON itu,” cetus ibu empat putri itu.
Di level internasional, ketika pensiun dari pemain pelatnas Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI) pada 2001, Rossy meninggalkan beragam prestasi mentereng, terutama di SEA Games. Debut Rossy di SEA Games terjadi ketika usianya baru 15 tahun, di SEA Games 1987 Jakarta.
“Alhamdulillah pertamakali ikut sudah nyumbang dua emas dari nomor tunggal putri dan ganda campuran. Dua peraknya di beregu putri dan ganda putri. Di SEA Games 1989 saya dapat dua emas, 1 perak, dan 1 perunggu. Itu yang terjadi insiden kecurangan itu. Kalau enggak dicurangi, ya saya mestinya tiga emas,” sambung Rossy (Baca: Atlet Tenis Meja Indonesia WO dari SEA Games Malaysia).
Di SEA Games 1991 Filipina, Rossy memetik dua emas dan sekeping perak. Sedangkan di SEA Games 1993 Singapura, Rossy menyandang gelar “Ratu Pingpong” Asia Tenggara setelah menyapu bersih emas di empat nomor yang diikutinya. “Indonesia juga juara umum dengan tujuh emas,” lanjut penggemar film-film ber-genre horor tersebut.
Rossy berulangkali membawa tim putri Indonesia masuk 10 besar Kejuaraan Asia. Di Kejuaraan Dunia, tim putri Indonesia semasa Rossy selalu menempati divisi 2 bahkan pernah divisi 1. Rossy dua kali menjadi wakil Indonesia di olimpiade, Barcelona 1992 dan Atlanta 1996.
Semua itu, kata Rossy, merupakan buah dari kerjakerasnya bertahun-tahun yang menyita masa remajanya. “Dengan fokus di tenis meja kan ya kita enggak bisa seperti menjalani masa remaja pada umumnya. Tapi bangga juga bisa mengumandangkan Indonesia Raya di negara lain. Rasanya tuh, wah enggak bisa diungkapin ya. Bangga, terharu, campur aduk sudah. Pasti juga ada peran doa dari orangtua. Saya selalu minta doa dan restu mereka sebelum tanding dan mujarab banget ya,” tambah Rossy, yang menjadi pelatih timnas putri Indonesia di SEA Games 2011 Jakarta.