HIPOSPADIA, begitu sebutan pada kelainan sistem reproduksi yang dialami mantan atlet timnas bola voli Indonesia Serda Aprilia Manganang. Sebagai atlet voli putri, Manganang acap diragukan tim lawan sebagai perempuan. Keraguan banyak pihak itu akhirnya membawa jajaran TNI AD melakoni pemeriksaan medis terhadap Manganang di RSPAD pada 3 Februari. Hasilnya, Manganang dinyatakan sebagai laki-laki.
Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Andika Perkasa memastikan bahwa Manganang terlahir sebagai laki-laki namun mengalami hipospadia dan bukan merupakan seorang interseks maupun transgender. Manganang sendiri mengaku senang akan kepastian itu setelah hidup 28 tahun diklaim sebagai perempuan dengan akta lahir perempuan pula.
“Ini momen yang sangat saya tunggu. Saya bahagia banget. Puji Tuhan Yesus saya bisa lewati ini dan saya sangat bersyukur Tuhan pakai Bapak dan Ibu untuk mempertemukan saya,” ujar Manganang secara virtual, dikutip Kumparan, Selasa (9/3/2021).
Yang dialami Manganang bukan kali pertama terjadi pada atlet yang masih aktif maupun yang sudah pensiun. Banyak atlet dunia mengalami kelainan alat reproduksi sejak awal abad ke-20. Dari sembilan nama yang tercatat, berikut empat di antaranya:
Mark Weston
Sebelum adanya kewajiban tes dan verifikasi gender pada 1950, banyak terjadi kasus ambiguitas gender karena kelainan alat reproduksi. Mark Weston tercatat jadi atlet pertama yang mengalaminya. Ia terlahir sebagai perempuan dengan nama Mary Louise Edith Weston pada 30 Maret 1905. Ia jadi salah satu langganan kampiun di kejuaraan atletik nasional Inggris era 1920-an.
Weston merajai kategori lempar lembing, lempar cakram, dan tolak peluru. Tiga kali pula Weston berkalung medali emas cabang tolak peluru: di kejurnas 1925, 1928, dan 1929. Namun, ia gagal membawa prestasi serupa di Women’s World Games di Gothenburg, Swedia, 27-29 Agustus 1926.
Sesudah pensiun pada 1936, Weston justru bikin heboh seantero Inggris. Sepanjang April-Mei 1936, ia dikabarkan menjalani serangkaian operasi perbaikan kelamin di Rumahsakit Charing Cross, London.
Baca juga: Atlet Anggar Yahudi di Olimpiade Nazi
Menukil laporan suratkabar Reading Eagle, 28 Mei 1936, Weston sejak lahir sudah mengalami Disorder of Sex Development (DSD) alias kelainan alat kelamin yang bermetamorfosis seiring bertambahnya usia. Weston mengaku perubahan dalam dirinya terjadi sejak mengikuti Kejuraan Dunia di Praha, Cekoslovakia pada 1928.
“Saya selalu membayangkan diri saya sebagai seorang gadis sampai tahun 1928. Dalam kejuaraan itu saya mulai menyadari diri saya tidak normal dan merasa tak berhak berkompetisi sebagai perempuan. Lalu tahun ini saya memberanikan diri memeriksakannya ke dokter spesialis dan saya harus menjalani dua kali operasi,” kata Weston dalam suratkabar tersebut.
Stanisława Walasiewicz
Saat lahir di Wierzchownia, Polandia pada 3 April 1911 dan dinyatakan dalam akta kelahirannya, Walasiewicz disebutkan merupakan perempuan. Pun ketika beremigrasi ke Amerika Serikat, surat keterangan kewarganegaraannya juga menyebutkan dia perempuan. Hal serupa juga terjadi kala Walasiewicz tampil di Olimpiade 1932 dan 1936, Kejuraan Atletik Eropa 1938, serta Women’s World Games 1930 dan 1934.
Sepanjang kiprahnya membela Polandia, Walasiewicz punya prestasi mentereng. Meraih tiga medali emas di nomor 60, 100, dan 200 meter putri di Women’s World Games 1930, satu emas di 100 meter putri pada Olimpiade Los Angeles 1932, dan dua medali emas di nomor 100 dan 200 meter putri di Kejuaraan Atletik Eropa 1938 di Paris.
Baca juga: Kisah Gurnam Singh di Lintasan Atletik
Akan tetapi kontroversi menyeruak ketika jenazahnya diautopsi pasca-Walasiewicz jadi korban perampokan hingga tewas di Cleveland, Amerika Serikat, 4 Desember 1980. Suratkabar Sarasota Journal, 12 Februari 1981 mengabarkan, Walasiewicz alias Stella Walsh ternyata memiliki kelainan alat kelamin.
Hasil autopsi yang dilakukan petugas koroner Cuyahoga County menunjukkan bahwa Walasiewicz tak memiliki organ uterus. Walasiewicz juga dinyatakan punya uretra yang abnormal, serta penis yang tak berkembang secara sempurna. Ia dinyatakan meninggal sebagai laki-laki karena punya kromosom XY (laki-laki) yang lebih dominan ketimbang kromosom XX (perempuan). Hal itu membuat Harry Olsen, suami Walasiewicz yang menikahinya sejak 1956, syok.
“Saya merasa bodoh karena menikahi dia. Sungguh aneh. Saya pikir dia memang bukan manusia normal. Saya sangat terkejut mendengar ini,” ujar Harry.
Zdeněk Koubek
Ia dilahirkan sebagai perempuan di Paskov, Bohemia pada 8 Desember 1913 dengan nama Zdena Koubková. Sejak muda, ia mendalami cabang atletik di klub VS Brno dan VS Praha. Pada 1934, ia sudah merajai kejuaraan nasional Cekoslovakia di nomor lari 100, 200, dan 800 meter. Ia mencetak rekor dunia pada 14 Juni 1934 dengan catatan waktu 2 menit 16 detik. Selain tiga medali emas di kategori itu, ia juga memetik dua emas di kategori lompat tinggi dan lompat jauh putri.
Sebulan berselang, di Women’s World Games di London (9-11 Agustus 1934), ia menyumbang masing-masing sekeping emas dan perunggu bagi kontingen Cekoslovakia di nomor lari 800 meter dan lompat jauh.
Baca juga: Enam Pelari Terbaik Indonesia
Kegegeran internasional terjadi setelah Zdena memutuskan untuk menjalani operasi kelamin sesudah pensiun pada 1935. Koubkova berubah dari perempuan jadi laki-laki. Namanya pun dia gganti menjadi Zdeněk Koubek. Majalah Time edisi 24 Agustus 1936 menyebutkan, Koubek ternyata mengalami pseudohermaprodit atau kerancuan alat kelamin sejak lahir.
“Pada (kelainan) pseudohermaprodit, terdapat kelenjar dari kelamin yang berlainan dari karakter dan bentuk tubuh seseorang. Dalam kelenjar kelamin laki-laki jika testisnya tidak tampak, harus diturunkan dari perut ke organ skrotum. Jika penisnya terikat pada adhesi dan menempel pada daging, maka harus dilakukan operasi plastik untuk bisa melakukan aktivitas seks sebagai laki-laki. Itulah prosedur yang diambil pada kasus Zdenka Koubková,” tulis Time.
Foekje Dillema
Lahir sebagai perempuan di Burum, Belanda pada 26 September 1926, Dillema diyatakan dokter sebagai perempuan. Dillema juga tumbuh dan dibesarkan sebagai perempuan.
Dillema jadi momok bagi para pelari putri nomor 100 dan 200 meter di seantero Belanda. Namun sepak terjangnya menemui titik balik pada 1950 ketika ia menolak melakukan tes verifikasi gender.
“Pada musim panas 1950 Dillema merupakan pelari tercepat di dunia pada nomor 200 meter. Catatan waktunya bahkan lebih cepat dari saingannya, Fanny Blankers-Koen, yang kemudian dianugerahi atlet putri terbaik oleh International Amateur Athletics Federation (IAAF),” tulis Max Dohle dalam “They Say I’m Not a Girl”: Case Studies of Gender Verification in Elite Sports.
Baca juga: Bob Hasan di Lintasan
Sejak penolakan itu, Dillema dijatuhi sanksi larangan berkompetisi seumur hidup oleh IAAF. Rekor dunianya di nomor 200 meter dengan catatan waktu 24,1 detik pun otomatis dihapus.
Di kemudian hari, ternyata Dillema dinyatakan sebagai hermaprodit atau kelainan berupa alat kelamin ganda. Selain punya kromosom perempuan, Dillema memiliki kromosom laki-laki.
“Kondisi interseksnya tak pernah diketahui meski ia telah melalui masa puber. Terlebih kondisi semacam itu jadi aib tersendiri bagi kultur di area masyarakat tempat tinggalnya. Kakaknya, Aafke Dillema, juga menyatakan Foekje tak pernah mengalami menstruasi,” imbuh Dohle.
Kelainan pada Dillema baru diketahui setelah pemeriksaan forensik pada jasadnya setelah dia wafat pada 5 Desember 2007. Dillema dinyatakan memiliki kelainan hermaprodit. Ia memiliki bentuk kelamin yang tak biasa dan memiliki kromosom laki-laki dalam DNA-nya.
Baca juga: Persahabatan Jesse Owens dan Atlet “Nazi”