SECARA fisik, terdapat perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan. Namun, bukan berarti laki-laki selalu unggul. Hari ini, 20 September, lima dasawarsa silam, petenis putri Billie Jean King membuktikannya di lapangan tepok bola.
Arena Houston Astrodome di Texas, Amerika Serikat hari itu (20 September 1973) disesaki lebih dari 30 ribu penonton. Mereka antusias menyaksikan pertandingan eksebisi antargender terbesar bertajuk “Battle of the Sexes II” antara Billie Jean King kontra Bobby Riggs.
“Penonton sebanyak 30.472 orang yang datang ke Houston Astrodome pada (20) September malam itu jadi rekor tersendiri dalam sejarah tenis. Sekitar 90 juta lainnya menyakiskan dari televisi. Tapi saya ingin menunjukkan bahwa perempuan layak akan kesetaraan dan kami mampu tampil di bawah tekanan,” kenang Billie Jean yang dituangkan dalam All In: The Autobiography of Billie Jean King.
“Battle of the Sexes” yang dimenangkan Billie Jean itu jadi momen langka dalam catatan sejarah tenis. Latar belakangnya pun nyaris persis dengan yang ditampilkan Hollywood dalam film biopik Battle of the Sexes (2017) garapan duo sutradara Valerie Faris dan Jonathan Dayton. Dalam film berbalut drama komedi itu, tergambar betul betapa geregetannya Billie Jean (diperankan Emma Stone) terhadap provokasi-provokasi “male chauvinist” dari Bobby Riggs (Steve Carell) maupun para jurnalis dan penyiar olahraga kala itu.
“Sudah jadi mimpi kami bahwa setiap gadis di dunia punya ruang untuk berkompetisi dan diapresiasi berdasarkan pencapaian mereka, bukan sekadar penampilan fisik. Jika Anda mendengarkan (komentar jurnalis cum penyiar) Howard Cosell saat saya melangkah masuk ke Astrodome, ia sekadar bicara tentang penampilan fisik saya. Para petenis hari inilah yang kemudian menjalani mimpi kami,” ujar Billie Jean menyoal film tersebut kala diwawancarai Sports Illustrated, 18 September 2017.
Baca juga: Keringat dan Air Mata King Richard
Memberi Bukti di Lapangan
Momen itu masih berkaitan dengan pertarungan eksebisi “Battle of the Sexes I” sebelumnya (13 Mei 1973), di mana Riggs melawan Margaret Court di Ramona, California. Pasalnya, menurut J. E. Skinner dalam Billie Jean King Vs. Bobby Rigs: Sports Unite Us, Riggs mulanya ingin menantang Billie Jean tapi ditolak sehingga tawaran eksebisi itu dioper ke Margaret.
“Bobby Riggs salah satu petenis putra terbaik dan tentu pernah menyandang rangking 1 dunia dengan koleksi enam gelar grand slam. Ia berpikir perempuan tak bisa bermain tenis sebaik laki-laki dan ia ingin membuktikannya,” tulis Skinner.
Margaret ketika itu sudah berusia 30 tahun. Dia tidak menyandang gelar petenis putri nomor 1 dunia karena sempat “cuti” dari sejumlah turnamen untuk melahirkan anak pertamanya pada Maret 1972. Tetapi petenis putri asal Australia itu bersedia menerima tawaran Riggs pasca-melahirkan dengan jaminan imbalan bayaran 20 ribu dolar.
“Tepat di Hari Ibu (13 Mei) 1973, Riggs yang saat itu sudah berusia 55 tahun masih mampu memberikan pukulan-pukulan drop shot ketika Court sedang berada dekat baseline sehingga seringkali gagal mengembalikan bola tepat waktu. Pukulan-pukulan lob Riggs juga menyulitkan Court sehingga ia menang dari Court dalam kemenangan straight set, 6-2 dan 6-1,” lanjutnya.
Baca juga: Turnamen Tertua Itu Bernama Wimbledon
Pertandingan yang dijuluki para jurnalis sebagai “Pembantaian Hari Ibu” itu bikin Riggs yang tampil di cover majalah Sports Illustrated dan Time kian angkuh. Maka untuk kedua kalinya ia berkoar-koar menantang Billie Jean lagi. Riggs bahkan berani menawarkan hadiah uang 100 ribu dolar bagi pemenang.
Riggs terus-menerus meledek dan mendegradasi petenis-petenis putri. Billie Jean sendiri berpikir akan sangat penting membuktikan pada dunia bahwa perempuan juga bisa bermain sebaik laki-laki. Sebagai pemilik rangking 2 dunia dalam tenis putri, Billie Jean akhirnya menerima tantangan tersebut.
“Pada 1973 usianya sudah 29 tahun. Ia dalam kondisi prima dengan koleksi 10 gelar kejuaraan tunggal putri. King merasa perempuan setara dengan laki-laki dan ia menerima tantangan Riggs karena ia ingin membuktikan bahwa Riggs keliru berkomentar bahwa perempuan inferior dalam tenis,” tambah Skinner.
Pertandingan itu pun diatur dengan lebih heboh karena disiarkan secara prime time oleh stasiun televisi ABC. Tapi Billie Jean ingin memastikan semua berjalan setara. Ia bahkan mengancam mundur dari duel “Battle of the Sexes II” itu jika ABC tak mengganti komentator resminya, Jack Kramer, yang paling lantang menentang kesetaraan pendapatan antara petenis putra dan putri.
“Dia (Kramer) tidak percaya pada tenis putri. Kenapa juga dia harus jadi bagian dalam pertandingan ini? Saya tidak akan bermain. Pilih dia atau saya yang mundur,” ujar Billie Jean tegas pada seorang petinggi ABC.
Tibalah momen 20 September 1973 malam di Astrodome. Billie Jean masuk ke arena bak Cleopatra di atas kereta kuda. Sementara Riggs datang dengan jaket kuning mencolok bertuliskan Sugar Daddy.
Baca juga: Mussolini di Arena Tenis
Mengutip ulasan The New York Times, 27 Juli 1982, menjelang duel, Riggs menghadiahkan permen lollipop “Sugar Daddy”. Billie Jean merespons dengan mempersembahkan seekor anak babi sebagai simbol chauvinisme laki-laki.
“Ya, anak babi dengan dasi kupu-kupu merah jambu yang sengaja saya namai Robert Larimore Riggs, nama lengkap Bobby. Anak babi itu sempat lepas karena terusik gemuruh di arena tapi akhirnya berhasil ditangkap tanpa terluka di sebuah sudut Astrodome,” sambung Billie Jean dalam otobiografinya.
Dalam duel tersebut, Billie Jean lebih siap secara mental dan strategi. Ia meninggalkan kebiasaan bermain agresif dan memilih sering bertahan di baseline dan melayangkan pukulan-pukulan untuk menguras stamina Riggs.
“Dia (Billie Jean) masih bisa agresif dalam servis dan serangannya. Dia menguasai wilayahnya dengan melepaskan pukulan voli yang memukau dari backhand-nya dan dengan menahan pukulan lob Riggs. Dia memvariasikan kecepatan pada ground stroke, membuat Riggs terus bergerak dari sudut ke sudut dan bermain secara konsisten pada backhand. Jarang ada contoh yang lebih klasik dari seorang atlet terampil yang tampil dengan efisiensi di momen terpenting hidupnya,” tulis pengamat Curry Kirkpatrick di kolom Sports Illustrated edisi 1 Oktober 1973, “There She Is, Ms. America”.
Baca juga: Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis
Walau dengan susah payah, Billie Jean sukses membungkam para pengkritik dan para “male chauvinist” yang acap memandang rendah perempuan. Ia menang lewat tiga set: 6-4, 6-3, dan 6-3.
“Dia (Billie Jean) terlalu hebat buat saya. Dia terlalu cepat dan membuat pukulan-pukulan yang lebih bagus dari saya,” aku Riggs, dikutip suratkabar Pittsburgh Post-Gazette, 21 September 1973.
Billie Jean yang menang dan membawa pulang uang hadiah 100 ribu dolar (707 ribu dolar, kurs 2024) pun merayakan kemenangannya. Dia dielu-elukan lebih dari 30 ribu penonton yang hadir. Terlepas dari beberapa pihak tetap mencibirnya karena perbedaan usia yang jauh antara dirinya dan Riggs, Billie Jean mengaku tetap bangga dan enggan meladeni para haters-nya.
“Saya pikir tenis putri akan mundur 50 tahun jika saya tidak menang dalam pertandingan itu. Kekalahan hanya akan menghancurkan tenis putri dan mempengaruhi kepercayaan diri semua perempuan. Mengalahkan lawan berusia 55 tahun memang tidak membuat saya puas. Tapi saya puas kemenangan itu bisa mengekspos banyak orang-orang baru dalam tenis,” tandas Billie Jean.