BOLA melambung, mendekat mulut gawang. Kiper Inggris Peter Shilton mencoba menghalau. Tapi pada saat bersamaan Maradona melompat dan … gol! Wasit meniupkan peluit, mengesahkan gol itu. “Tangan Tuhan” telah membantunya. Empat menit kemudian, Maradona menggiring bola dan melewati lima pemain Inggris sejauh hampir tiga perempat lapangan. Terciptalah sebuah gol yang spektakuler. Kedudukan akhir 2-1 untuk tim nasional Argentina, yang mengantarkan Argentina melaju ke semifinal pada Piala Dunia 1986 di Meksiko –puncaknya: Argentina juara dunia, menang 3-2 atas Jerman Barat. Dan dunia pun mengenal namanya.
Hampir setiap orang mengenal Maradona, pesepakbola legendaris. Kepiawaiannya memainkan si kulit bundar belum tertandingi. Di luar lapangan, perilaku Maradona yang liar mengundang gunjingan dan cemoohan. Hura-hura, pesta, seks, dan obat-obatan menjadi keseharian Maradona. Sang megabintang fenomenal sekaligus kontroversial. Dia dipuja sekaligus dibenci.
Di negerinya dia bak dewa. Tapi tidak bagi FIFA, yang menganggap Maradona bukan pesepakbola yang cocok sebagai panutan. Ketika dunia menganggap Maradona sebagai pemain terbaik abad ke-20, FIFA justru menempatkan Pele asal Brazil sebagai yang terbaik.
Sebagai pelatih, Maradona nyaris jadi bulan-bulanan ketika tim nasional Argentina terseok-seok dalam babak penyisihan Piala Dunia 2010. Hasil pertandingan di putaran final mungkin akan menentukan apakah Maradona tetap jadi pahlawan atau…penjahat!
Sepakbola, terlebih Piala Dunia, seperti ditulis Owen A. McBall, penulis buku ini, dalam kata pengantar, “selalu saja melahirkan ‘teori konspirasi’-nya sendiri.” Sepakbola bukan hanya sekadar olahraga. Ia sudah menjadi tempat pertemuan banyak hal, dari politik, ekonomi, budaya, hingga psikologi. “Sepakbola dalam berbagai segi keberadaannya memberi kita satu peta kultural, gambaran metaforis, yang meningkatkan pemahaman kita terhadap masyarakat,” tulis Richard Giulianotti –mengutip Bateson– dalam Football, A Sociology of the Global Game.
Sebagai olahraga terpopuler di jagat, tak aneh bila sepakbola melahirkan banyak kisah unik, yang sebagian luput dari perhatian orang. Owen A. McBall menceritakan ceceran kisah itu dengan apik.
Maradona mengisi dua bab pembahasan Owen A. McBall, penulis buku ini. Sisanya, pesepakbola yang menjadi kebanggaan negerinya tapi dibenci gara-gara bikin kesalahan. Ya, buku ini menampilkan betapa tipis batas antara pahlawan dan penjahat.
Moacir Barbosa, kiper Brazil di Piala Dunia 1950, hidup terlunta-lunta karena gagal menahan tendangan penyerang Uruguay Alcides Ghiggia, 11 menit sebelum partai final berakhir. Brazil gagal menjadi juara dunia. Rakyat Negeri Samba marah dan menuding Barbosa sebagai biang kekalahan. Sepanjang hidupnya, dia diidentikkan dengan “setan” oleh masyarakat Brazil yang doyan klenik itu. “Hukuman di Brasil paling lama 30 tahun penjara. Tapi aku, untuk kesalahan yang tak sepenuhnya menjadi tanggung jawabku, telah menjalani hukuman selama 50 tahun,” ratapnya, beberapa saat sebelum wafat.
Ada juga kisah pesepakbola handal macam David Beckham, Ronaldinho, atau David Ginola. Perjuangan mereka telah tertoreh dalam sejarah persepakbolaan dunia. Banyak prestasi yang telah mereka ukir. Dan sebuah kesalahan kecil membuat mereka menjadi penjahat. Beckham disalahkan gara-gara mendapatkan kartu merah, yang dianggap jadi penyebab kekalahan Inggris atas Argentina dalam Piala Dunia 1998. Ronaldinho dicaci-maki karena bermain buruk. Ginola dikutuk karena terlalu bernafsu memainkan bola padahal timnya sudah di ujung kemenangan. Ada juga kisah Roberto Rojas, David Beckham, Ahn Jung-Hwan, Christiano Ronaldo, dan Marco Materazzi.
“Para penjahat itu adalah mereka yang sebelumnya diharapkan menjadi pahlawan,” tulis Owen dalam kata pengantar.
Owen juga menulis soal Stanley Rous, presiden FIFA, dan Harold Thompson, petinggi sepakbola Inggris. Untuk tim nasional, Owen menguliti Israel, Inggris, Argentina, Portugal, dan Prancis, yang menjadi penjahat bagi negara lain.
Apa yang terjadi pada tim nasional Israel agak berbeda tapi menarik. Pada kualifikasi Piala Dunia 1958 di Swedia, Indonesia dan negara-negara Arab menolak bertanding melawan Israel sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Dalam kasus Indonesia, sebenarnya tim Garuda bersedia meladeni Israel. Syaratnya: pertandingan dihelat di negara netral. FIFA menolak, karena berpegang pada prinsip bahwa sepakbola tak ada kaitannya dengan politik. Indonesia, yang melaju ke putaran kedua setelah menyingkirkan Republik Rakyat China, pun memilih mundur dari kualifikasi, bahkan membuang kartu FIFA-nya. Tim Garuda pun absen cukup lama dari ajang resmi FIFA hingga 1974. Padahal pada 1950-an tim Garuda dianggap sebagai salah satu tim terkuat di Asia.
Owen menghadirkan 18 kisah itu dengan gaya penulisan santai yang mengasyikkan untuk dikonsumsi siapa pun. Menjelang putaran final Piala Dunia 2010, buku ini bisa menjadi pelengkap dahaga tentang ajang paling bergengsi itu. Mungkin kita membacanya sembari membayangkan siapa yang nanti jadi pahlawan atau penjahat berikutnya.