Masuk Daftar
My Getplus

Dilema Kehadiran Israel di Piala Dunia, Mau Saklek atau Kompromi?

Pembatalan drawing Piala Dunia U-20 2023 di Bali jadi warning keras dari FIFA. Pilihannya antara saklek seperti era Bung Karno atau kompromi.

Oleh: Randy Wirayudha | 27 Mar 2023
Timnas Israel U-20 yang lolos ke Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia usai jadi runner-up Euro U-19 2022 (uefa.com)

KETIKA perhelatan Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia sudah di depan mata, polemik soal penolakan keikutsertaan Timnas Israel U-20 malah berkembang jadi bola panas. Salah satu pemicunya adalah penolakan Gubernur Bali I Wayan Koster terhadap kehadiran tim Israel. Namun usai beraudiensi dengan Komisi II DPR di Jakarta, Senin (27/3/2023), Wayan membantah penolakannya itu sebagai sikapnya sebagai gubernur.

Buntut dari polemik itu, FIFA membatalkan drawing (pengundian grup) Piala Dunia U-20 yang mestinya digelar pada Jumat (31/3/2023) ini di Taman Werdhi Budaya Art Centre, Denpasar, Bali. Mengutip laman resmi PSSI, Minggu (26/3/2023), FIFA memang belum memberi pernyataan resmi terkait alasan pembatalan drawing.

Mestinya setelah drawing, Indonesia bersiap sebagai host dari event yang dijadwalkan bergulir pada 20 Mei-11 Juni 2023 itu. Enam venue di enam provinsi telah ditunjuk: Stadion Gelora Bung Karno (DKI Jakarta), Stadion Jalak Harupat (Jawa Barat), Stadion Manahan (Jawa Tengah), Stadion Gelora Bung Tomo (Jawa Timur), Stadion Kapten I Wayan Dipta (Bali), dan Stadion Jakabaring (Sumatera Selatan).

Advertising
Advertising

Baca juga: Standar Ganda FIFA terhadap Israel dan Rusia?

Israel sendiri sudah dipastikan lolos ke Piala Dunia U-20 2023 sebagai salah satu wakil UEFA (Eropa) sejak 1 Juli 2022. Negeri itu merupakan runner-up EURO U-19 2022.

Penolakan terhadap Israel, menurut pengamat sepakbola Kesit Budi Handoyo, menjadi hal yang ironis. Terlebih, penolakan itu baru marak belakangan ini.

“Karena ketika Indonesia sudah mengajukan diri sebagai tuan rumah, segala risiko, konsekuensi, termasuk hadirnya Israel pastinya sudah dalam tahap pembicaraan sebelumnya antara pemerintah, PSSI, dan juga dengan FIFA. Harusnya sudah antisipasi, jadi tidak ada alasan lagi kemudian menolak. Faktanya (Israel) lolos. Jadi ironis kalau kemudian di ujung justru kita meributkan masalah itu. Pejabat-pejabat kita kemudian juga mempersoalkan itu,” kata Kesit dihubungi Historia.

Pengamat sepakbola Kesit Budi Handoyo (Tangkapan Layar Youtube Historia.id)

Keputusan FIFA yang membatalkan drawing, tambah Kesit, merupakan sebuah sinyal peringatan keras terhadap penolakan itu. Akan jadi kerugian besar seandainya Indonesia sebagai tuan rumah sebuah hajatan terbesar kedua FIFA pada akhirnya menolak salah satu kontestan hajatan tersebut. Sanksi atau pengucilan dari sepakbola internasional telah menanti. 

“Di sisi lain memang inspeksi (FIFA) terhadap stadion-stadion yang akan digunakan juga baru selesai hari ini. Jadi sebetulnya bisa saja pembatalan drawing itu dilakukan karena belum selesainya inspeksi FIFA. Juga di sisi lain ramai penolakan terkait bakal hadirnya Israel. Tapi yang pasti bahwa (pembatalan FIFA) itu adalah warning keras dari FIFA. Yang sudah-sudah, FIFA kalau sudah bikin jadwal atau agenda enggak pernah meleset. Apalagi ini event Piala Dunia yang hasil drawing-nya sudah ditunggu oleh seluruh peserta,” lanjutnya.

Baca juga: FIFA Uncovered dan Tikus-Tikus Berdasi Pejabat Sepakbola

Publik sepakbola tanah air hanya bisa berharap dari belum adanya kepastian. Hingga detik ini, belum ada pernyataan resmi lanjutan baik dari FIFA maupun PSSI.

“Walaupun angin berhembus, katanya sudah ada penunjukan negara lain yang menjadi pengganti Indonesia tapi kan belum ada konfirmasi. (Rumornya) ada Qatar, ada Argentina, ada Peru. Harapannya tentu kita tetap tuan rumah,” imbuh Kesit.

Berkaca dari Masa Lalu

Sebelum adanya penolakan Gubernur Koster, berbagai elemen masyarakat, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah menyatakan sikap senada. Titik tolak mereka adalah penggalan preambul Undang-Undang Dasar 1945, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Pandangan politik itu melahirkan sikap resmi pemerintah maupun masyarakat Indonesia yang anti-Israel. Pasalnya, situasi di Palestina sejak berdirinya negara zionis Israel pada 1948 hingga kini masih dijajah Israel. Alhasil sejak era pemerintahan Bung Karno –yang mendukung upaya kemerdekaan Palestina– hingga sekarang, pemerintah Indonesia tak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Sikap politik resmi anti-Israel pemerintah Indonesia dimulai sejak negeri ini baru seumur jagung. Itu dibuktikan dengan pengabaian telegram Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion pada 14 Mei 1948. Telegram itu berisi pengakuan resmi terhadap kemerdekaan Indonesia.

Baca juga: Sukarno dan Palestina

Syahdan ketika Indonesia “hajatan” internasional pertamanya dengan menghelat Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955), Bung Karno enggan mengundang Israel. Sebaliknya, Bung Karno mengundang tokoh pejuang Palestina, Yasser Arafat, untuk sama-sama menentang neokolonialisme.

Sikap politik Indonesia itu dijalankan di kancah olahraga. Timnas Indonesia yang sangat berpotensi lolos ke Piala Dunia 1958, urung tampil untuk kedua kali di pesta sepakbola terbesar sejagad itu gegara Bung Karno tak sudi menjamu Israel di Jakarta atau mengizinkan Maulwi Saelan cs. bertamu ke Israel di laga penentuan home-away (kandang-tandang) kualifikasi zona Asia.

“Itu sama saja mengakui Israel. Ya kita nurut. Enggak jadi berangkat,” kenang Maulwi kepada Historia medio 2014.

Presiden Sukarno senantiasa berkomitmen mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel (nationaalarchief.nl)

Di pentas olahraga multi-cabang pun Indonesia menempuh sikap yang sama kendati konsekuensinya berat. Lantaran menolak partisipasi Israel ketika Jakarta jadi tuan rumah Asian Games 1962, Indonesia mendapat skorsing dari Komite Olimpiade Internasional IOC.

“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada rakyat Palestina, maka selama itu pula Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel. Sebagai bangsa kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen. Bukan hanya konsekuen berjiwa kemerdekaan dan berjiwa anti-imperialisme, melainkan juga konsekuen untuk terus berjuang menentang imperialisme,” ujar Bung Karno pada HUT RI ke-21.

Baca juga: Mimpi Indonesia di Piala Dunia Terganjal Israel

Menurut Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani dalam biografi Mangombar Ferdinand Siregar, Matahari Olahraga Indonesia, Indonesia mendapat ancaman sanksi pemecatan sementara dari IOC. Pemerintah Indonesia lantas mencoba mengajukan banding dengan bantuan teknokrat Amerika Serikat, Thomas P. Rosandich.

“Saya ditugasi Presiden Sukarno dan (Menpora) R. Maladi untuk bertemu dengan Avery Brundage, Presiden IOC di Chicago (Amerika) untuk banding kasus Indonesia, mengingat mereka terancam pencabutan keanggotaan dari IOC dan sanksi di Olimpiade Tokyo 1964,” ungkap Rosandich dikutip Brigitta dan Primastuti.

Timnas Indonesia era 1950-an yang menjadi "Macan Asia" (fifa.com)

Upaya banding itu gagal. Indonesia tetap diskorsing pemecatan sementara.

Bung Karno pun bereaksi. Indonesia keluar dari keanggotaan IOC dan kemudian menggelar “olimpiade tandingan” bernama Games of the New Emerging Forces (Ganefo), 10-22 November 1963.

Baca juga: Ganefo, Olimpiadenya Bangsa Asia Afrika

Sementara, negosiasi lanjutan hanya membuahkan dikembalikannya keanggotaan Indonesia di IOC pada 29 Juni 1964. Untuk Olimpiade Tokyo 1964, Indonesia sekadar diizinkan hadir tapi bukan sebagai peserta.

“Kalau bukan karena masalah politik, mungkin kita sudah bisa dapat medali di tahun 1964 di Tokyo. Saya perkirakan minimal dapat perunggu. Balap sepeda waktu itu kita masih merajai di Asia. tapi akhirnya kita enggak jadi tanding karena ada masalah itu. Ya itu negara urusannya,” kata legenda balap sepeda Hendrik Brocks menyesali, kepada Historia medio Februari 2019.

Thomas P. Rosandich (kiri) (International Sports Hall of Fame)

Sikap politik itu tentu melahirkan kegetiran: gagal mentas di Piala Dunia 1958 dan Olimpiade 1964. Menurut Kesit, sikap politik saklek anti-Israel itu sudah tidak relevan lagi.

“Situasinya kan sekarang berbeda ya dari zamannya Bung Karno. Waktu itu pemerintahan kita menyatakan menolak Israel akibat penjajahan mereka terhadap Palestina. Sekarang berbeda seiring berkembangnya zaman,” ujar Kesit.

Baca juga: Asa yang Kandas di Olimpiade Negeri Sakura

Satu contoh dari fleksibilitas sikap politik bisa dilihat dari event olahraga lain.. Pada Kejuaraan Bulutangkis Dunia BWF 2015 yang berlangsung di Jakarta, atlet tunggal putra Israel Misha Zilberman tetap bisa tampil. Lantas, atlet panjat tebing Yuval Shemla dan Mikhail Yakolev tetap bisa bertanding di Piala Dunia Panjat Tebing 2022 dan pesepeda Mikhail Yakolev di UCI Track Nations Cup 2023 yang semuanya digelar di Indonesia. Ketiganya bisa mendapatkan visa lewat campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini federasi internasional di bidang olahraga masing-masing.

“Artinya walaupun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, faktanya kita memiliki hubungan secara tidak resmi, kan. Israel bisa masuk ke Indonesia melewati pihak ketiga. Di luar urusan olahraga sebelumnya juga sudah ada wakil parlemen Israel yang berkunjung ke Indonesia, cuma kita enggak tahu aja. Artinya apa? Ada standar ganda yang diperlihatkan Indonesia,” tambahnya.

Para atlet Indonesia yang gagal berlaga di Olimpiade Tokyo 1964 (Repro: The Games of the XVIII Olympiad Tokyo 1964)

Lebih jauh Kesit mengatakan, ganjalan dari Permenlu Nomor 3 Tahun 2019 bahwa “tidak diizinkan pengibaran/penggunaan bendera, lambang, dan atribut lainnya serta pengumandangan lagu kebangsaan Israel di wilayah Republik Indonesia”, pun bukan tak memungkinkan dicarikan solusinya. Masih ada langkah-langkah kompromi yang bisa diambil PSSI dan FIFA jika pada akhirnya Timnas Israel tetap datang ke Indonesia. PSSI dan Kemenpora sebagai kepanjangan tangan pemerintah Indonesia masih memungkinkan menyambut Timnas Israel tanpa melanggar Permenlu Nomor 3 Tahun 2019.

“Ada contoh kasus Rusia di Olimpiade, mereka tidak boleh mengibarkan benderanya. Indonesia di Piala Thomas waktu kena hukuman doping tidak boleh mengibarkan bendera dan mendengarkan lagu (kebangsaan) Indonesia. Jadi itu bisa dikompromikan. Itu yang jadi tugas PSSI untuk mendiskusikannya kepada FIFA, bahwa ada kebijakan pemerintah kita tentang Israel dan bisa saja minta tolong hormati aturan itu. Di ranah PSSI dan FIFA itu bisa didiskusikan,” tuturnya.

Baca juga: Rasisme Memuakkan Klub Israel dalam Forever Pure

Yang terpenting, lanjut Kesit, dengan mau berkompromi menerima kedatangan Timnas Israel takkan serta-merta mencederai prinsip politik pemerintah Indonesia yang tanpa lelah mendukung kemerdekaan Palestina.

“Bahwa olahraga itu sifatnya universal, enggak ada batasan siapapun. Karena kepentingan utamanya sportivitas dalam bertanding dan berlomba,” tandas Kesit.

Fans Israel dengan atribut negaranya (football.org.il)

TAG

israel palestina piala-dunia pssi fifa

ARTIKEL TERKAIT

Selintas Hubungan Iran dan Israel Tepung Seharga Nyawa Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Seputar Deklarasi Balfour Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina Piala Asia Tanpa Israel Mandela dan Palestina Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Pendukung Zionis yang Mengutuki Kebrutalan Israel