KOMPLEKS Stadion Teddy di Yerusalem pada 29 Oktober 2012 malam didominasi warna kuning-hitam. Ribuan fans klub tuan rumah Beitar Yerushalayim FC menanti kedatangan tim pujaan mereka dekat gerbang stadion. Sorak-sorai seketika membahana saat bus rombongan tim tiba.
Kedatangan rombongan tim amat dielu-elukan karena Beitar menang 3-2 saat menjamu Hapoel Tel Aviv. Tak ayal, para pemain yang menyapa suporter, terutama fans fanatik La Familia di tribun timur, turut dalam euforia yang dimeriahkan nyanyian “Ohev otach! Ah-Nee Neesh-Bah!” (artinya “aku mencintaimu dan aku bersumpah”).
Ariel Harush (24), kiper utama sekaligus kapten tim, jadi salah satu yang paling dielu-elukan. Di pundaknya digantungkan harapan besar fans agar Beitar bisa jadi juara dengan tren positif selama dua bulan terakhir.
Baca juga: Senjakala "Raja Roma" dalam One Captain
Namun, semua itu berubah 180 derajat saat pemilik klub, Arcadi Gaydamak, mendatangkan dua pemain muslim asal Chechnya, Dzhabrail Kadiyev (19) dan Zaur Sadayev (23), pada bursa transfer Januari 2013. Kedatangan mereka jadi pemicu konflik utama dalam film dokumenter Forever Pure garapan sineas cantik Maya Zinshtein.
Konflik itu kemudian merembet ke sejumlah peristiwa yang kacau dalam klub paling kontroversial dan rasis di Israel itu. Klub yang didirikan pada 1936 itu sejak lahirnya sudah rasis dan punya tradisi tidak tertulis larangan merekrut pemain berdarah Arab, apalagi muslim. Klub yang punya fans terbesar di Israel itu pada gilirannya membuat banyak politikus Israel menunggangi fansnya demi tujuan politik.
Baca juga: Race, Kisah Atlet Kulit Hitam di Pentas Olahraga Nazi
Itu turut diperlihatkan Zinshtein lewat sejumlah footage tentang para politikus yang naik daun setelah turut dalam manajemen klub kala berjaya atau sekadar mengidolakan Beitar. Selain Presiden Reuvlin Rivlin, politikus oportunis itu antara lain Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Wakil Perdana Menteri Avigdor Lieberman.
“Beitar selalu jadi bentengnya Partai Likud. Siapapun yang ingin meraih kekuasaan pasti akan melalui Beitar. Presiden Rivlin dulu jadi ketua klub,” tutur pelatih Eli Cohen dalam film itu.
Maka suporter Beitar, terutama La Familia, yang punya pengaruh besar dalam kebijakan klub, mengamuk ketika manajemen klub membeli dua pemain muslim asal Chechen. Teror psikologis pun mereka dilancarkan kepada Kadiyev dan Sadayev, juga kepada Harush sang kapten klub, dan ketua klub Itzik Kornfein.
Atmosfer stadion berganti jadi horor. Para pemain Beitar mesti tahan disoraki dan dicaci pendukung tim lawan sekaligus suporter sendiri. Mereka hanya mau mendukung Ofir Kriaf, gelandang tim yang berdiri di belakang prinsip La Familia. Sementara, Harush yang mencoba melindungi dua rekan barunya justru dihina habis-habisan.
“Saya tak pernah dimaki oleh fans sendiri. Itu fans kami yang pekan lalu memuja nama saya. Saya hanya menuruti klub untuk ikut konferensi pers dan mengatakan kami akan menerima keduanya dan kemudian fans menentang saya. Saya mencintai fans seperti halnya Ofir. Saya juga tumbuh bersama fans,” kata Harush.
Baca juga: Roma Harga Mati bagi Francesco Totti
Cercaan fans juga memilukan hati kedua rekrutan baru itu. Saking terpengaruhnya, Kadiyev ingin pulang. Sementara, Sadayev yang lebih dewasa berusaha menahan emosinya dalam setiap latihan dan pertandingan.
“(Sorakan rasis) bisa terjadi di mana saja. Mereka berpikir kami orang Arab. Seseorang harus bisa menjelaskan bahwa kami bukan Arab. Kami orang Chechen,” ungkap Sadayev.
Baca juga: Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Kemarahan La Familia perlahan turut memengaruhi basis fans lain. Spanduk “Murni (Yahudi) Selamanya” dibentangkan di mana-mana. Boikot pun terjadi. Lebih gawat ketika markas klub dan fasilitas latihan di Bait Vagan jadi sasaran pembakaran. Ancaman terhadap para pemain dan manajemen kian nyata.
“Saya sampai harus masuk daftar prioritas perlindungan. Itu kategori yang biasanya khusus para menteri. Saya harus mengecek apakah ada bom di kolong mobil saya setiap pagi. Suatu ketika orang-orang yang berkerumun meneriakkan: ‘Kami akan datang dan memerkosa putri Anda.’ Mereka mencerminkan kekerasan yang ada dalam masyarakat,” ungkap Kornfein.
Atmosfer tak sehat itu bahkan, kata legiun asing asal Argentina Darío Fernández, terasa sampai di ruang ganti. Menurutnya, atmosfer sangat dingin. Para pemain, terutama pemain Israel, seperti tutup mata pada aksi rasisme terhadap rekan muslim mereka.
“Saya tak mengerti kenapa orang-orang ini begitu rasis. Dua pemain malang itu datang untuk bermain, membantu kami, dan mereka harus menelan omong kosong ini. Para pemain Israel tidak peduli pada mereka. Hanya saya dan Harush yang berusaha menentang (rasisme) fans itu sementara yang lain diam saja,” ujar Fernández menyesali.
Bagaimana detail rasisme nan mengiris hati itu harus dilewati kedua pemain muslim itu? Biar lebih seru, Anda saksikan sendiri sajalah di aplikasi daring Mola TV.
Mendelegitimasi Rasisme
Forever Pure hanya menampilkan sedikit music scoring melankolis dan beat-beat yang menaikkan emosi. Pasalnya, suara nyanyian, gemuruh drum fans, dan peluit wasit sudah cukup membawa emosi penonton ke dalam rasa muak akan gambaran-gambaran rasisme fans Beitar.
Atas izin ketua klub, Zinshtein mengambil banyak stok video dengan berbagai angle kendati fokusnya pada emosi Harush dan kedua rekrutan asal Chechnya yang jadi korban rasisme itu. Ia juga mewawancarai banyak pihak, seperti Ofir Kriaf, pelatih Eli Cohen, jurnalis Erel Segal, dan Presiden Rivlin. Sisanya seperti scene pernyataan PM Netanyahu soal pembakaran markas klub, ia pinjam dari video wawancara media lain.
Saat dirilis pada 2016, Forever Pure memancing kehebohan tentang isu rasisme lagi. Alhasil Forever Pure tak dihargai di Israel. Ia justru lebih diapresiasi di luar. Raihan Emmy Awards 2018 kategori News & Documentary terbaik cukup bicara banyak. Dampaknya, sang sineas ikut jadi sasaran ancaman La Familia.
Baca juga: Konflik Kehidupan Roberto Durán dalam Hands of Stone
Kendati tindakan-tindakan seperti itu sedari awal sudah diduga Zinshtein, ia punya alasan tersendiri mengapa Forever Pure cenderung berat sebelah sehingga dianggap film anti-Israel karena tak menampilkan pihak La Familia dalam debut filmnya.
“Karena filmnya bukan tentang fans, maka saya harus berpihak pada satu sisi dan saya memihak klub. Ada suatu level luar biasa tentang kebencian, tentang emosi yang ditampilkan massa. Saya tak habis pikir anak-anak kecil bisa ikut meneriakkan cacian rasis. Itu alasannya saya membawa film ini untuk bisa didiskusikan di sekolah-sekolah, betapa rasisme bisa muncul dari dalam komunitas kita,” terang Zinshtein kepada Haaretz, 1 November 2018.
Rasis Sejak Lahir
Alasan kenapa Beitar begitu rasis dan sangat terafiliasi dengan sayap kanan tak lain karena ia lahir pada 1936 dari dua petinggi pergerakan yang jadi cikal-bakal Partai Likud, yakni organisasi pemuda zionis Betar oleh Shmuel Kirschtein dan David Horn. Berdirinya klub dijadikan wadah olahraga bagi para milisi Irgun dan Lehi yang sebelumnya selalu merongrong pemerintahan Inggris di Palestina.
“Keduanya adalah nasionalis ekstrem, paramiliter bawah tanah Yahudi. Para pemain dan suporternya aktif terlibat dalam kelompok-kelompok sayap kanan bawah tanah Yahudi yang berkampanye dengan tindakan kekerasan kepada otoritas Inggris. Hasilnya banyak dari mereka yang ditangkap dan dibuang ke Eritrea pada 1940-an,” tulis James Michael Dorsey dalam Shifting Sands: Essays on Sports and Politics in the Middle East and North Africa.
Baca juga: Sejarah Panjang Nerazzurri dalam Inter 110
Maka, dari masa ke masa manajemen klub dan suporter begitu bangga menjadi “rasis” dengan kebijakan tidak akan pernah merekrut pemain Arab. Berkepanjangan dengan Palestina sejak berdirinya negara Israel pada 1948 menjadi pangkal masalahnya. Kendati punya segudang prestasi sejak ditunggangi banyak politikus sayap kanan pada 1970-an, klub berjuluk “The Menorah” itu lebih kondang karena rasismenya.
“Beitar adalah salah satu klub tertua dan begitu bangga tidak pernah mendatangkan pemain Arab. Spanduk-spanduk rasisnya mengingatkan akan masa lalu di mana Jerman Nazi menyisihkan orang Yahudi dari olahraga,” tulis Witt Raczka dalam Unholy Land: In Search of Hope in Israel/Palestine.
Kadiyev dan Sadayev sejatinya bukan pemain muslim pertama yang pernah mengenakan jersey berlogo menorah atau kandil bercabang tujuh khas Yahudi itu. Adalah Goram Ajoyev yang berdarah Tajikistan yang jadi pemain muslim pertama Beitar, yakni pada musim 1989-1990. Namun karena latarbelakang agama Ajoyev tak diketahui fans Beitar, ia pun lebih beruntung. Ajoyev bahkan dielu-elukan karena di laga terakhir pada musim itu ia bermain apik dan menyelamatkan Beitar dari jurang degradasi.
Baca juga: Gema Kemerdekaan Palestina dari Seberang Lapangan
Setelah Ajoyev, ada Victor Paço, striker asal Albania yang didatangkan dari Maccabi Haifa pada 1999. Ia jadi pujaan fans karena jadi topskor klub selama dua musim. Sebagaimana Ajoyev, Paço juga mesti menyembunyikan agama Islamnya sebelum hengkang dari Beitar pada 2002.
Ndala Ibrahim menjadi pemain muslim ketiga di Beitar. Bek muslim asal Nigeria yang dipinjam dari Maccabi Tel Aviv untuk musim 2004-2005 itu hanya bertahan empat pertandingan dan memilih pergi lantaran tak tahan jadi korban kekerasan verbal dan fisik dari fans.
Baca juga: Sisi Terang dan Gelap Diego Maradona
Kepergian Ibrahim pada 2005 hampir berbarengan dengan kedatangan Gaydamak yang membeli 55 persen saham Beitar. Selain untuk memperkuat jaringan bisnis, Gaydamak ingin meniru para politikus sayap kanan memanfaatkan massa Beitar untuk alat politiknya.
“Pada level di bawah alam sadar, sepakbola adalah benturan di antara kelompok-kelompok berbeda. Sepakbola jadi semacam perang. Saya sendiri bukan penggemar sepakbola tapi Beitar punya fans terbanyak, bahkan jika semua fans klub se-Israel dikombinasikan. Ini alasannya mengapa sepakbola jadi alat propaganda yang menarik,” terang Gaydamak.
Gaydamak belajar memanfaatkan massa untuk kendaraan politiknya dari Rivlin dan Netanyahu.
Faktor politis itu di sisi lain dianggap sebagai perusak sepakbola di era modern. Dampaknya begitu negatif. Para politikus yang kemudian punya kekuasaan tidak berani bicara apalagi menindak aksi-aksi rasis bahkan kriminal fans La Familia. Alhasil rasisme itu awet dari waktu ke waktu karena fans merasa “diperbolehkan” bertindak demikian.
“Saya ingat saat duduk di tribun barat dengan para politikus yang kemudian menjadi walikota-walikota Yerusalem. Mereka semua fans Beitar. Saya terus-menerus mengatakan: ‘Rekan-rekan, apa yang terjadi di tribun timur (La Familia) tidaklah baik dan diamnya kita melegitimasi mereka. Sudah cukup, kawan! Anda semua adalah pemimpin masyarakat, perwakilan pemerintah!’ Tetapi seringkali mereka mengabaikannya agar tidak membuat marah fans,” aku Presiden Rivlin.
Baca juga: Rasis Sepakbola Tak Kunjung Habis
Sebagaimana Rivlin, Gaydamak juga jengah dengan aksi-aksi rasisme fans. Terlebih, pada pemilihan walikota Yerusalem 2008 ia kalah telak. Dugaan “membalas” fans, terutama La Familia, pun muncul saat Gaydamak mendatangkan Kadayev dan Sadayev. Kendati mulanya alasan sikapnya itu klise, yakni untuk memperluas jaringan bisnisnya dengan pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov, Gaydamak akhirnya mengakui bahwa mendatangkan dua pemain muslim itu juga bertujuan agar mata dunia lebih terbuka terhadap Beitar yang merupakan klub sekaligus bangga terhadap rasisme itu sendiri.
“Transfer keduanya memang diatur dengan alasan menimbulkan reaksi dan gejolak. Bukan karena keduanya pesepakbola bagus. Saya tidak tahu persis apa mereka pemain bagus. Saya hanya berasumsi akan menimbulkan reaksi besar. Kenapa? Agar saya bisa menunjukkan bahwa inilah cerminan masyarakatnya, agar wajah aslinya (rasisme) terekspos,” Gaydamak mengakui.
Baca juga: Sepakbola Palestina Merentang Masa
Untuk sesaat, La Familia menang karena setelah akhir musim Sadayev dan Kadiyev memilih pergi. Mereka tepuk dada karena kemurnian Beitar kembali dipulihkan. Namun, toh Beitar kemudian menempuh arah baru sesudah klubnya dibeli pengusaha Moshe Hogeg. Dua tahun berselang, Hogeg menjual 50 persen saham klub kepada pebisnis Arab asal Abu Dhabi, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Nahyan. Hogeg beralasan ia ingin mengubah citra klub yang rasis menjadi lebih egaliter.
“Pesan kami adalah, kita semua adalah sama. Kami ingin menunjukkan pada generasi muda bahwa kita semua setara dan bisa bekerjasama dan melakukan hal-hal yang indah bersama-sama,” tandas Hogeg, dikutip The New York Times, 7 Desember 2020.
Deskripsi Film:
Judul: Forever Pure | Sutradara: Maya Zinshtein | Produser: Geoff Arbourne | Produksi: Inside Out Films, Maya Films | Distributor: Yes Docu | Genre: Dokumenter | Durasi: 85 menit | Rilis: 12 Juli 2016, Mola TV.