PERJUANGAN tim nasional Italia menemui jalan terjal. Juara dunia empat kali itu mesti melakoni laga home-away kontra tim kuat asal kawasan Skandinavia, Swedia di babak playoff (11 dan 14 November 2017), untuk berebut tiket Piala Dunia 2018.
Dua laga hidup mati yang rasa-rasanya, keunggulan materi skuad Gli Azzurri (julukan timnas Italia), takkan begitu berpengaruh melawan para pilar Swedia yang dikenal punya spirit pantang menyerah. Bukan mustahil Italia gagal dan hanya akan jadi penonton layaknya Piala Dunia 1958 di Swedia.
Pada fase kualifikasi, Italia tergabung di Grup 8 Zona Eropa bersama Portugal dan Irlandia Utara. Langkah Italia terbilang labil dan penentuan juara grup harus dipastikan pada partai terakhir kontra Irlandia Utara di Belfast yang awalnya dijadwalkan 4 Desember 1957.
“Tim Italia hanya selangkah lagi lolos kualifkkasi. Irlandia Utara harus mengalahkan Italia di Belfast jika ingin lolos, sementara Italia hanya butuh hasil imbang,” tulis Clement A. Lisi dalam A History of the World Cup: 1930-2014.
Sebenarnya Pepe Schiaffino Cs. masih bercokol di urutan teratas Grup 8 dengan empat poin hasil dua kali menang (1-0 atas Irlandia Utara di Roma, 3-0 atas Portugal di Milan) dan sekali kalah (0-3 dari Portugal di Lisbon). Adapun Irlandia Utara, baru mengoleksi tiga poin dari masing-masing sekali kalah (0-1 dari Italia), imbang dan menang (1-1 dan 3-0 dari Portugal).
Sialnya, laga penentu itu batal digelar sesuai jadwal, 4 Desember. Pasalnya, wasit yang sudah ditunjuk sebagai pengadil, Istvan Zsolt, tak bisa mencapai Belfast tepat waktu. Penerbangannya terhambat dan “terdampar” di London gara-gara kabut tebal. Sempat ada opsi untuk memakai wasit lain yang sudah disiapkan IFA atau Federasi Sepakbola Irlandia Utara.
“Sekjen IFA Billy Drennan sudah mengatur keberangkatan wasit asal Inggris Arthur Ellis untuk berperjalanan dengan kapal laut sebagai wasit berstatus stand by, untuk berjaga-jaga terhadap situasi seperti itu. Namun Presiden FIGC (Federasi Sepakbola Italia) menolak dan memilih tetap menanti kedatangan Zolt,” tulis Malcolm Brodie dalam “Down Memory Lane: Battle of Belfast Was Far From A Golden Moment,” Belfast Telegraph, 5 Desember 2007.
Sayangnya, kabut tebal tak jua reda, bahkan sampai keesokan harinya. Ketimbang membatalkan pertandingan, kedua federasi sepakat hanya menggelar pertandingan persahabatan dengan memakai wasit asal Irlandia Utara. Ironisnya, pertandingan itu sama sekali tak ada tanda-tanda persahabatan sepanjang laga.
Laga berubah chaos akibat beragam insiden hingga publik dan para jurnalis menyebutnya Battle of Belfast. Mulai dari sejumlah aksi kasar pemain hingga pelemparan benda-benda ke dalam lapangan oleh suporter yang belakangan juga menyerbu lapangan setelah laga berakhir dengan skor 2-2.
“Lima ribu penonton marah ketika laga itu dinyatakan bukan laga resmi. Para penonton menyerang para pemain Italia setelah menyoraki lagu kebangsaan mereka. Jalannya laga sangat kotor, hingga banyak benda-benda dilemparkan ke lapangan. Pemain Italia, Giuseppe Chiapella, menolak keluar setelah dikartumerahkan,” tulis John Foot dalam Winning at All Costs: A Scandalous History of Italian Soccer.
Setelah peluit panjang berbunyi, ribuan penonton menyerbu lapangan mengincar para pemain Italia. Salah satu yang jadi korban serangan, Rino Ferrario, sempat pingsan setelah terkena beberapa pukulan. Setelah aparat kepolisian bergerak, kapten tim Irlandia Utara, Danny Blanchflower, mengarahkan rekan-rekannya untuk ikut mengawal para pemain Italia ke ruang ganti.
Parlemen Italia lantas bereaksi keras atas insiden tersebut. Media Italia, Il Messaggero, menggambarkan insiden itu sebagai tindakan barbar bangsa Irlandia dari zaman primitif. Terlepas dari protes keras publik Italia, laga resmi kualifikasi baru dijadwal ulang sebulan kemudian pada 15 Januari 1958 dengan wasit tetap, Istvan Zsolt.
“Untuk mencegah insiden berulang, wasit Hungaria itu dengan mudah mengeluarkan kartu merah untuk (Alcides) Ghiggia yang melanggar Alf McMichael. Irlandia Utara segera memanfaatkan keunggulan jumlah pemain. (Jimmy) McIlroy dan (Wilbur) Cush sukses menyarangkan dua gol di babak pertama,” tulis Dave Bowler dalam Danny Blanchflower: A Biography.
Italia gagal bangkit. Di babak kedua mereka hanya mampu memperkecil skor lewat gol Dino Da Costa. Keunggulan 2-1 Irlandia Utara bertahan hingga laga usai. Italia gagal, sementara Irlandia Utara melakoni debutnya di Piala Dunia.
“Irlandia Utara sangat baik dalam kerja sama tim. Padahal di laga itu bisa saja dengan mudah dimenangkan Italia. Hanya saja Italia yang bertabur bintang tak mampu bangkit. Permainan mereka seperti kurang semangat juang,” tulis wartawan senior John Calkin dalam World Cup 1958.