PERANG Aceh jelas perang tersulit bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda dan tentara kolonialnya, Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Banyak uang terhambur dan serdadu-serdadu gugur sia-sia dalam perang panjang itu. Tapaktuan di Aceh bagian selatan juga menjadi arena peperangan itu.
Majalah Trompet No. 66, Juni 1939 menyebut daerah Tapaktuan sempat sepi dari perlawanan sebelum 1902. John Fitzgerald McCarthy dalam The Fourth Circle A Political Ecology of Sumatra's Rainforest Frontier menyebut pada 1901 di Tapaktuan telah ditempatkan seorang pejabat kolonial, yakni Colijn.
Daerah Tapaktuan punya nilai ekonomis. Hutannya kaya akan karet. Sekitar tahun 1901, ratusan orang didatangkan dari luar untuk mengumpulkan getah karet hutan. Namun, meski ada kekuasaan Belanda di daerah itu, keadaan tak sepenuhnya aman.
Baca juga: Matsalim Memburu Pang Amat
Orang-orang Aceh di Tapaktuan ikut memusingkan Jenderal Van Heutz dengan perlawanan mereka. Mereka berani mendekati perkemahan serdadu KNIL yang bersenjata lebih canggih. Suatu hari, pada 26 Desember 1902, 12 orang Aceh mendekati bivak (perkemahan) tentara Belanda di Lho’ Bukam, Tapaktuan.
Sekitar pukul 11 siang, seorang hoornblazer (peniup terompet) yang berdiri di luar bivak melihat 12 orang Aceh itu. Mereka bersenjata tombak dan kelewang keluar dari belakang pohon-pohon dan begitu cepat lari ke gerbang masuk bivak. Kaget dan bingung membuat hoornblezer lari.
Kala itu yang berjaga fuselier (serdadu rendahan) Thobias Billeh. Dengan sigap, ia menutup pintu dan berdiri di depan pintu. Mula-mula, begitu sampai depan pintu gerbang, enam orang Aceh maju mendekati Thobias Billeh yang sedang menjaga tempat itu.
Baca juga: Narkim Menerkam Pejuang Aceh
Mereka mengarahkan kelewang ke arah Thobias Billeh. Baik dengan menusuk maupun menebas. Meski sendirian dan dikeroyok, Thobias Billeh yang sudah dilatih melawan pemberontak itu memilih tidak mundur dari posisinya. Meski terluka ia terus melawan.
Letnan Slicher keluar dari pondoknya ketika Thobias Billeh mempertahankan pintu gerbang dari serangan orang-orang Aceh. Letnan Slicher dengan pistol revolver menembak salah satu orang Aceh yang menyerang.
Tak hanya Letnan Slicher, serdadu-serdadu lain kemudian menuju ke arah gerbang. Thobias Billeh tertolong dan para penyerang itu dipukul mundur dari bivak. Namun, dalam pertempuran jarak dekat itu seorang kopral Belanda dan Letnan Slicher terluka. Sementara seorang prajurit zeni Belanda terbunuh.
Bivak militer Belanda yang dipimpin seorang letnan Belanda biasanya lebih dari 20 orang serdadu bersenjata api. Tindakan yang dilakukan 12 orang Aceh itu jelas terlampau berani.
Baca juga: Bintang untuk Sanin
Thobias Billeh selamat dari kejadian itu. Pada 22 Februari 1903, ia dianugerahi medali militer Voor Moed en Trouw (keberanian dan kesetiaan) atas jasanya dalam pertempuran itu. Serdadu dengan nomor stamboek 42743 itu bertugas di Aceh sampai 1905.
Majalah Trompet menyebut Thobias Billeh kelahiran Rote, Timor, pada 1875. Ia mulai jadi serdadu KNIL sejak 29 Juni 1893 di Kupang. Ia bertugas di Aceh sejak 1899. Ia lalu ikut serta dalam ekspedisi militer KNIL di Sulawesi pada 1907 dan pada 1910 ditempatkan di Madura.
Pada 14 September 1911, Prajurit Infanteri Kelas Satu Thobias Billeh dipensiunkan di Palopo, Sulawesi Selatan, dan kemudian tinggal di Makassar.*