Hari ini, 21 September, 79 tahun silam, Albert Kwok (Guo Heng Nan) mendirikan Kinabalu Guerillas Force. Organisasi perlawanan terhadap penguasa militer Jepang itu didirikannya sebagai respon terhadap kekerasan yang dilancarkan para serdadu Nippon sejak menduduki Kalimantan Utara (kini Sabah).
Jepang menduduki Sabah pada pembukaan tahun 1942. Pendudukan Sabah, sebagaimana pendudukan kota-kota di Kalimantan yang diduduki Jepang sebelumnya, terbilang tanpa perlawanan berarti.
“Pasukan terjun payung Jepang pertama kali terlibat dalam pertempuran selama invasi Kalimantan pada Desember 1941. Tujuan utama kampanye ini adalah ladang minyak di Miri di wilayah Sarawak dan Seria di Brunei dan lapangan terbang yang dekat dengan perbatasan dengan British Malaysia (Sarawak). Invasi dimulai pada 16 Desember. Ketika mereka mendarat, pasukan Jepang, termasuk SNLF ke-2, mendapat sedikit perlawanan dari pasukan Inggris. Pada 31 Desember, pasukan terjun payung laut, yang dikomandani Letnan Kolonel Genzo Watanabe, bergerak ke utara untuk menduduki Brunei, Pulau Labuan dan Jesselton (sekarang disebut Kota Kinabalu),” tulis jurnalis Nikolaos Theotokis dalam Airborne Landing to Air Assault: A History of Military Parachuting.
Begitu berkuasa, bala tentara Nippon langsung menerapkan kebijakan-kebijakan untuk mendukung Perang Asia Timur Raya-nya. Di bilang ekonomi, monopoli dijalankan dengan kekuatan penuh. Beras, gula, garam, ikan kering, candu, korek api, dan minyak bumi semua dimonopoli Jepang. Uang kertas Jepang juga diedarkan secara tak terkendali.
Akibatnya, inflasi tinggi, harga komoditas-komoditas penting meroket di samping langka barang-barangnya. Kehidupan masyarakat pun jauh lebih sulit.
“Secara keseluruhan, kelangkaan komoditas penting, terutama beras, ditambah dengan pengangguran skala besar menciptakan ketidakpuasan dan kepahitan yang meluas di antara penduduk setempat,” tulis Ooi Keat Gin, sejarawan Universiti Sains Malaysia, dalam Japanese Occupation of Borneo, 1941-1949.
Baca juga: Sabah Milik Siapa?
Alih-alih merespons keadaan dengan memberi solusi, pemerintah-militer Nippon malah mengeluarkan kebijakan yang menyakitkan masyarakat.
“Pada Juli 1942, penguasa militer dengan tidak bijaksana mengumumkan pemungutan pajak kepala tahunan sebesar $6 per kepala dari penduduk asli dan Cina. Itu adalah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya yang memicu kemarahan dan keterasingan yang meluas. Secara tradisional pajak kepala sebesar $1 per individu penduduk asli ‘diterima dengan tenang, karena menunjukkan desa-desa yang berada di bawah perlindungan administrasi [kolonial]’,” sambung Keat Gin.
Kondisi lebih parah dirasakan penduduk etnis Tionghoa. Perang Sino-Japan II yang pecah pada 1937 menjadi salah satu faktor yang membuat perlakuan Jepang terhadap etnis Tionghoa di Sabah lebih kejam dibanding etnis-etnis lain. Terlebih, Jepang mengetahui, sejak ekspansinya ke Tiongkok, orang-orang Tionghoa di Sabah aktif memberi dukungan terhadap negeri leluhur mereka.
“Ketidakpercayaan Jepang terhadap komunitas Tionghoa sedemikian rupa sehingga mereka menampilkan gaya kepolisian mirip dengan gaya Kempeitai, yang menggunakan strategi ‘penghapusan’ (Sook Ching) terhadap orang Tionghoa yang mencurigakan yang diyakini menyembunyikan Sentimen anti-Jepang, khususnya mereka yang pernah terlibat aktif dalam Asosiasi Bantuan Bencana. Untuk menebus sentimen anti-Jepang mereka, orang Tionghoa di Kalimantan Utara diminta untuk mengumpulkan sumbangan untuk Pemerintah Kekaisaran Jepang. 50 juta dolar dikumpulkan di Malaya, sementara di Kalimantan Utara, Pemerintah Militer Jepang meminta 3 juta dolar. Tidak dapat disangkal bahwa orang Cina adalah kelompok yang paling dianiaya PMJ tetapi prioritas masa perang untuk pasukan Jepang di Kalimantan Utara juga mengakibatkan kesulitan yang meluas di antara penduduk asli, karena kekurangan makanan, inflasi tinggi, dan penggunaan kerja paksa dalam pembangunan pabrik, jalan raya dan lapangan terbang,” tulis Regina Lim dalam Federal-State Relations in Sabah, Malaysia: The Berjaya Administration, 1976-85.
Kondisi itu membuat Kwok, pemuda Tionghoa asal Kuching yang amat menghormati Dr. Sun Yat Sen, tidak tinggal diam. Ketika bersekolah dan belajar medis di Kanton pada akhir 1930-an, dia juga aktif sebagai anggota Palang Merah China dan bergabung dengan Kuomintang Chiang Kai-shek melawan Jepang dalam Perang Sino-Jepang. Pada 1941 dia memutuskan kembali ke Kalimantan dan tiba di Jesselton (kini Kota Kinabalu) pada 15 Mei 1941. Dia memulai praktik medis untuk mengobati ambeien di sana.
Kwok kemudian mulai membuka komunikasi dengan para pemimpin Tionghoa anti-Jepang. Pada awal 1942, dia mengorganisir Kandi Chujian Lizhi Tuan (Pasukan Anti-Musuh untuk Mendorong Pemberantasan Pengkhianat) guna mempersiapkan pemberontakan. Bersama Chia Yik Teck dan lima pemuda lain, Kwok mendirikan Jiu Hua Hui pada 6 Juni 1942 yang diubah namanya menjadi Pasukan Gerilya Kinabalu (Kinabalu Guerrillas Force) enam bulan kemudian.
Kwok menyadari bahwa kerjasama dengan pasukan Amerika Serikat di Filipina merupakan kebutuhan mendesak. Kontak pun dibangun melalui perantaraan Lim Keng Fatt, pengusaha terkemuka di Jesselton sekaligus pemimpin di Overseas China Defense Association, yang menghubungkan Kwok dengan Imam Marajukin, agen militer AS di Filipina. Pada April 1943, Kwok diajak Marajukin ke Tawi Tawi, tempat US Force in Filipine (USFIP) bermarkas, dan diperkenalkan dengan Komandan USFIP Sektor Sulu Letkol Alejandro Suarez. Kwok kembali mengunjungi Suarez pada akhir Juni dan tinggal di Tawi Tawi hingga Agustus untuk menerima pelatihan militer. Pada akhir Agustus, Kwok diangkat menjadi Third Lieutenant dan diberi posisi sebagai petugas intelijen untuk pantai barat Sabah.
Saat kembali ke Sabah, Kwok tiba dengan tiga pistol dan sekotak granat tangan. Dia hanya mendapat sedikit persenjataan karena USFIP juga kekurangan. Namun Kwok dijanjikan Suarez akan dipasok lebih banyak senjata bila kondisinya sudah memungkinkan. Kwok juga dipesankan untuk hati-hati.
Baca juga: Perang Antara Negeri Kiri
Alih-alih fokus bertugas mengumpulkan informasi sebagai intel, Kwok malah intens mempersiapkan perlawanannya terhadap pemerintah-militer Jepang. Pesan agar bertindak hati-hati dari Suarez dan “belum tiba waktunya untuk bergerak” dari seorang intel Inggris tidak digubris Kwok dan rekan-rekan gerakannya. Pada 21 September, Kwok mendirikan Pasukan Gerilyawan Kinabalu (PGK). Selain para Tionghoa, Kwok juga menggandeng para pemimpin suku lokal, juga polisi India, untuk gerakan perlawanan itu.
“Menurut sumber-sumber Barat, selain Juless P. Stephens dan para pemimpin dari pulau-pulau lepas pantai yang disebutkan di atas, beberapa tokoh masyarakat lain seperti Musah (seorang Dusun), Duallis (seorang Murut), Subedar Dewa Singh (seorang polisi India), dan Charles Peter (seorang Eurasia) berpartisipasi dalam pemberontakan sejak awal,” kata buku yang dieditori Paul H. Kratoska, pengajar sejarah di Universiti Sains Malaysia dan National University of Singapore, Southeast Asian Minorities in the Wartime Japanese Empire.
Kendati mayoritas anggota PGK hanya bersenjatakan senjata jarak dekat seperti tombak, keris, dan parang yang sama sekali tidak sebanding dengan persenjataan militer Jepang, Kwok tak ingin rencananya gagal. Sekira 300-an anggota PGK akhirnya melancarkan serangan ke Jesselton, Tuaran, dan Kota Belud pada 9 Oktober 1943 malam.
“Rupanya didorong laporan intelijen bahwa sejumlah besar pemuda dan pemudi China akan ditangkap Jepang –pemuda menjadi milisi dan pemudi sebagai ‘wanita penghibur’– Guo [Kwok, red.] mengajukan tanggal rencana pemberontakannya. Informasi itu diterima pada 1 Oktober 1943. Tidak diragukan lagi selama masa perang ada banyak sekali rumor serta informasi salah dan tidak mengherankan bahwa beberapa kalangan dan individu termasuk Guo secara tidak sengaja tertarik pada mereka,” tulis Keat Gin.
PGK menyerang posisi Jepang dari darat maupun laut. Kapal-kapal untuk penyerangan dari laut diperoleh dari penduduk pulau-pulau di sekitar wilayah pesisir yang diorganisir para kepala suku seperti Panglima OT Ali (Pulau Suluk), Jemalul (Kepulauan Mantanani), Orang Tua Arshad (Pulau Udar), dan Saruddin (Pulau Dinawan). Dari darat, penyerbuan didukung para pemimpin dusun seperti Musah dan sekelompok polisi India yang dipimpin Subedar Dewa Singh serta North Borneo Volunteer Force (NBVF) pimpinan Jules Stephens dan Charles Peter. Serangan itu berhasil menewaskan 50-90 serdadu Jepang. Para penyerang berhasil menguasai Jesselton mulai esoknya, bendera Republik Tiongkok dan “Union Jack” (bendera Inggris Raya) pun dikibarkan berdampingan.
Baca juga: Maois Tetap Eksis
Namun, itu hanya berlangsung sebentar. Datangnya bala bantuan militer Jepang dari Kuching memaksa Kwok bersama para penyerang lainnya mundur ke padalaman. Jepang yang marah membalas serangan gerilyawan dengan bombardir dan berondongan senapan mesin terhadap permukiman pesisir, mulai Kota Belud hingga Membakut. Hampir tiap desa dibakar. Penduduk tak berdosa jadi sasaran, 2000-4000 jiwa dieksekusi. Militer Jepang mengultimatum agar para pemimpin perlawanan menyerahkan diri jika tidak ingin lebih banyak warga kehilangan nyawa.
Ultimatum itu membuat Kwok dan para pemimpin penyerangan yang dikenal sebagai Jesselton Revolt atau Double Tenth itu akhirnya menyerahkan diri. Kwok dan 175 orang lainnya, termasuk Panglima OT Ali, pun dieksekusi di Petagas –tempat eksekusi yang terletak di timur Bandara Internasional Kota Kinabalu kini didirikan Petagas War Memorial– pada 21 Januari 1944.
“Musah, seorang pemberontak terkenal melawan Inggris sebelum pemerintahan Jepang, kemudian ditangkap PMJ dan meninggal di penjara. Duallis tetap aktif dalam gerakan gerilya anti-Jepang selama pendudukan. Charles Peter, seorang anggota NBVF, dieksekusi pada hari yang sama dengan Kwok. Dewa Singh, bersama lebih dari 30 polisi India lain yang gagal mendukung Jepang ketika pemberontakan terjadi, dibawa ke Kuching dan didaftarkan di Tentara Nasional India. Sejumlah polisi Dusun yang mengkhianati PMJ dieksekusi. ‘Lebih dari seratus anggota KGF dan beberapa ratus Dusun dikurung di penjara Api-Api (Jesselton, red.). Hanya 13 dari mereka yang selamat dari pendudukan.’ Mustahil untuk mengetahui apakah orang-orang ini adalah anggota aktif KGF atau hanya mendukung pemberontakan,” tulis Paul Kratoska.