Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947. Salah satu kesepakatannya Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia di Jawa, Madura, dan Sumatra. Perjanjian ini memberikan kesempatan kepada para pejuang untuk istirahat sejenak.
Di Sumatra dalam masa gencatan senjata ini disepakati garis demarkasi. Belanda hanya menguasai daerah di dalam garis demarkasi yang melingkari kota Medan. Di luar garis itu, Republik Indonesia yang berkuasa. Namun, Belanda melakukan provokasi yang mengakibatkan bentrokan senjata. Seperti terjadi di pelabuhan Teluk Sibolga, Tapanuli, Sumatra Timur, yang sering dikunjungi kapal-kapal dagang dari Singapura.
Jenderal TNI (Purn.) Maraden Panggabean dalam memoarnya, Berjuang dan Mengabdi mengatakan, sejak Proklamasi sebagian besar keperluan Tapanuli akan pakaian, kebutuhan sehari-hari, bahkan senjata banyak diperoleh dari Singapura dengan barter melalui pelabuhan Sibolga. Jalur lain memperdagangkan beras, karet, dan senjata ke daerah Riau yang lebih gampang memasukkan barang dari Singapura melalui celah-celah puluhan pulau.
“Barter dengan Singapura ini sangat menolong kehidupan rakyat dan perjuangannya,” kata Panggabean yang menjabat panglima ABRI (kini, TNI) pada masa Orde Baru.
Baca juga: Panggabean Dua Kali Kerampokan Saat Perang Kemerdekaan
Oleh karena itu, Belanda berusaha menangkap kapal-kapal dagang yang dituduh melakukan penyelundupan dari Singapura ke Tapanuli. Pada 3 Mei 1947, kapal perang Belanda, HMS Danckaerts berkode JT-I menyeret satu kapal dagang yang berlabuh di Teluk Sibolga. Rakyat Sibolga menyebut kejadian dengan kapal perang Belanda itu sebagai “peristiwa JT-I”.
Nana Nurliana S. dalam biografi Dr. Ferdinand Lumban Tobing menyebut bahwa dalam kapal dagang itu terdapat beberapa anggota ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). Beruntung mereka dapat kembali ke pantai dengan selamat.
Baca juga: Cara Panggabean Permalukan Gerombolan Pengacau Keamanan
“Mengetahui adanya perbuatan kapal perang Belanda itu, maka Residen Tapanuli dr. F.L. Tobing mengirim surat kepada komandan kapal Belanda yang berisi peringatan bahwa tindakannya itu telah melanggar Perjanjian Linggarjati, yaitu memasuki perairan Republik Indonesia yang berdaulat,” tulis Nana.
F.L. Tobing juga meminta kapal perang Belanda segera meninggalkan perairan Republik Indonesia. Pada malam hari, kapal perang Belanda itu meninggalkan pelabuhan Sibolga.
Pertahanan
Menurut Panggabean, ketika kapal perang Belanda itu kembali muncul pada 6 Mei 1947, residen Tapanuli memprotes melalui Komandan Pangkalan Besar ALRI di Sibolga, Mayor Achmad Husin Lubis. Dengan menumpang sekoci ALRI, Mayor Husin disertai Letnan Togatorop, Letnan Oswald Siahaan, dan Letnan Sari Gunung Pohan, dengan hanya bersenjatakan pistol berhasil menyampaikan protes itu. Kapal perang Belanda memenuhi permintaan residen Tapanuli dan meninggalkan pelabuhan Sibolga.
Namun, pada 10 Mei 1947, kapal perang Belanda muncul lagi. Kali ini, Kepala Staf Pangkalan Besar ALRI di Sibolga, Kapten Jetro Hutagalung, dengan beberapa orang stafnya mendatangi kapal perang Belanda itu dengan membawa perintah agar mereka datang ke darat untuk berunding.
“Sikap Belanda menjadi kasar, kapal yang ditumpangi Kapten Jetro Hutagalung tampaknya hendak diapit oleh dua kapal motor Belanda untuk memaksanya ikut ke kapal perang,” kata Panggabean.
Baca juga: Perintah Receh Jenderal Panggabean
Kapten Jetro Hutagalung segera memutar kapalnya menuju daratan. Tentara Belanda melepaskan tembakan yang dibalas oleh rombongan Kapten Jetro Hutagalung dengan tembakan pistol. Seorang prajurit ALRI, Kopral Gunung Silitonga gugur. Kapal perang Belanda kemudian meninggalkan pelabuhan.
Menanggapi kejadian itu, residen Tapanuli selaku ketua Dewan Pertahanan Daerah Tapanuli, meminta agar TRI (Tentara Republik Indonesia) bertindak tegas jika kapal perang Belanda muncul kembali. Sebenarnya sebelum permintaan itu, komandan divisi telah memerintahkan Mayor Maraden Panggabean, komandan Resimen I Brigade XI Tapanuli, untuk mengkoordinir perlawanan dan pertahanan terhadap kapal perang Belanda.
Inti pertahanan TRI antara lain Batalion I Resimen I di Sibolga di bawah Kapten Oloan Sarumpaet dibantu satuan-satuan ALRI dan Mobile Brigade (kini, Brimob), yang mengerahkan meriam kecil dan senapan antipesawat terbang. Resimen II Divisi VI di Tarutung turut menyumbangkan satu pucuk meriam yang langsung dipimpin oleh Komandan Resimen II Letnan Kolonel J. Siahaan.
Baca juga: Umpatan Serdadu Belanda di Danau Toba
Dalam keadaan pertahanan TRI siap siaga, tinggal menunggu komando tembak saja, kapal perang Belanda muncul lagi pada 11 Mei 1947.
Nana menyebut bahwa pihak Belanda melalui seorang nakhoda perahu pencalang yang ditangkapnya, mengirim surat meminta pemerintah Indonesia menyerahkan dua orang awak kapal dagang yang dituduh penyelundup. Pihak Indonesia membalas surat itu bahwa tidak tahu tentang awak kapal dagang itu dan meminta kapal perang Belanda meninggalkan perairan Sibolga sebelum jam 10.00 tanggal 12 Mei 1947. Belanda mengabaikan permintaan itu. Pertempuran pun tidak terhindarkan.
Pertempuran
Sementara itu, menurut Panggabean, kapal perang Belanda tersebut meminta kepada residen untuk membebaskan dua orang awak kapal Australia yang berada di daratan. Residen menyetujui permintaan mereka, tetapi dengan ultimatum kapal perang Belanda harus meninggalkan pelabuhan Sibolga sebelum pukul 10.00 tanggal 12 Mei 1947.
“Dengan geram saya menahan diri untuk tidak memberikan komando tembak terhadap kapal keparat itu yang sekarang untuk kesekian kalinya sedang meninggalkan pelabuhan. Akan tetapi baru esok harinya tanggal 12 Mei 1947, kegeraman saya dapat dilampiaskan,” kata Panggabean.
Baca juga: Pertempuran Berdarah di Bukit Mardinding
Pada pukul 10.00 pagi, kapal perang Belanda muncul kembali di Teluk Sibolga dan mendekati pantai. Tampaknya sengaja untuk menantang ultimatum. Tanpa menunggu komando, dari segala penjuru Teluk Sibolga dimuntahkan tembakan ke kapal perang Belanda.
“Meriam-meriam pantai Indonesia yang sudah dipersiapkan ternyata bekerjanya kurang efektif karena kekurangan amunisi,” tulis Nana.
Bahkan, meriam yang dioperasikan oleh Komandan Resimen II Letnan Kolonel J. Siahaan macet pada saat hangatnya pertempuran. “Kalau tidak kapal Belanda itu mungkin dapat ditenggelamkan atau rusak berat,” kata Panggabean.
Baca juga: Teror Van der Plank di Tanah Karo
Sebaliknya, kapal perang Belanda membalas dengan tembakan meriam secara bertubi-tubi.
“Untuk pertama kalinya saya melihat bagaimana peluru meriam dapat memotong pohon besar seperti memotong dahan kecil saja. Sebelum mengenai sasarannya, suara peluru itu menyayat udara secara sangat mengerikan. Demikian pula kalau peluru tersebut dengan suara gemuruh meledak sewaktu menyentuh tanah dan meninggalkan bekas berupa lubang,” kata Panggabean.
Baca juga: Van der Plank dan Kejahatan Perang di Sumatra
Belanda mengarahkan tembakannya ke posisi senjata otomatis dan senjata berat TRI serta kampung Bonandolok, yang terletak 11 kilometer dari Sibolga, dan sangat strategis di atas bukit yang menguasai jalan Tarutung-Sibolga.
Panggabean melihat banyak prajurit yang untuk pertama kalinya mendengar dentuman meriam, gemetar dan pucat pasi. Akan tetapi mereka tetap berada di tempat dan setelah lewat perasaan takut, malahan terus-menerus melepaskan tembakan senapan ke arah kapal, walaupun tembakan itu mungkin tidak efektif.
Korban
Tembakan meriam dari kapal perang Belanda berlangsung sampai pukul 13.15. Sambil melepaskan tembakan, kapal perang itu mengundurkan diri. Sejak hari itu tidak ada lagi gangguan kapal perang Belanda terhadap kota Sibolga.
Sehabis pertempuran, Panggabean berkeliling meninjau pos-pos pertahanan. Banyak pohon dan ranting-ranting besar berceceran di jalan. Di tempat-tempat pos pengawalan dan senjata berat terdapat lubang-lubang bekas ledakan peluru meriam. Senjata-senjata berat TRI sendiri selamat.
Baca juga: Butet, Nyanyian Pilu di Tengah Revolusi di Tapanuli
Dapur umum juga selamat dan para petugas sedang membagikan makanan kepada para pejuang. Sedangkan di pos Palang Merah masih ada prajurit yang sedang dirawat. Namun, banyak rumah yang bobol. Sebuah los pasar dan daerah perkampungan Tionghoa diratakan dengan tanah.
“27 rumah penduduk Tionghoa hancur ditembaki oleh meriam Belanda,” tulis Perdjuangan Rakjat Tapanuli S.[umatra] Timur.
Pertempuran meriam membuat rakyat Sibolga mengungsi. “Demikian juga tunangan saya. Dia mengungsi ke Sibuhuan dan ketika tembakan dari kapal perang Belanda itu semakin gencar, mengungsi lagi ke Pearaja di Tarutung,” kata Panggabean.
Baca juga: Uji Nyali Pejuang di Sumatra dengan Pistol Berludah
Buku terbitan Djabatan Penerangan RI itu menyebut kerugian di pihak Belanda diakibatkan oleh tembakan meriam dari Pesindo yang “menghancurkan cerobong kapal JT-I dan memusnahkan beberapa orang tentara Belanda di antaranya seorang opsir (perwira).” Sebuah gambar memperlihatkan opsir Belanda yang luka parah diangkut ke perahu untuk dibawa ke kapal terbang Catalina.
Sementara di pihak Indonesia yang gugur adalah Letnan S.G. Lase, Letnan Laut Alimun Hutagalung, dan Kopral Buyung. Beberapa orang luka parah. Bahkan, “Seorang anggota polisi terlempar ke atas pohon dan meninggal dunia pada hari itu juga,” kata Panggabean.
Walapun jatuh korban dan banyak kerugian, namun Panggabean merasa puas karena pasukan dan rakyat sudah mendapat “baptisan tembakan” (vuurdoop) yang membuat mereka bakal tidak begitu takut atau panik lagi jika tiba saatnya berhadapan dengan Belanda.