Masuk Daftar
My Getplus

PC2, Radio Penjaga Eksistensi Indonesia

Radio “gelap” AURI di Wonosari mengabarkan bahwa Indonesia masih eksis. Mematahkan monopoli berita miring Belanda.

Oleh: M.F. Mukthi | 07 Nov 2018
Boediardjo bersama Nyonya Pawirosetomo/Foto: repro buku "Siapa Sudi Saya Dongengi".

SAKING senangnya, Opsir Udara III Boediardjo dan beberapa kawannya melompat sambil tertawa girang. Mereka kemudian saling berpelukan. Tingkah-polah mereka pada dini hari 2 Maret 1949 itu membingungkan pemilik rumah, Pawirosetomo dan istri.

“Kami terangkan, bahwa siaran kami berhasil,” kenang Boediardjo dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi.

Siaran radio yang dimaksud Boediardjo bukan siaran dari stasiun radio untuk tujuan komersil, melainkan siaran radio dari PHB (Perhubungan Udara) Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Siaran radio itu mengabarkan sebuah peristiwa penting yang menentukan kelanjutan eksistensi Republik Indonesia.

Advertising
Advertising

Siaran tersebut merupakan buntut dari rentetan peristiwa yang diawali dari pendudukan ibukota Yogyakarta oleh pasukan Belanda dalam Agresi Militer II, 19 Desember 1948. Akibat pendudukan itu, AURI tak hanya kehilangan kepala stafnya yang ditawan Belanda ke Bangka tapi juga terpaksa memindahkan markasnya ke luar Kota Yogyakarta tak sampai sebulan kemudian.

Namun, agresi itu telah diantisipasi KSAU Suryadarma sejak jauh hari. Alhasil, komunikasi radio republik tetap bisa berjalan baik dengan kota-kota lain di Jawa, dengan Sumatra, maupun dengan Burma dan India meski ibukota telah diduduki.

“Sesuai dengan pertimbangan dan rencana cadangan yang telah dipikirkan oleh Suryadarma sebelumnya, pada pertengahan Desember 1948, ketika tersebar informasi tentang pihak Belanda yang akan melakukan serangan besar-besaran dengan tujuan sasaran Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, AURI menyembunyikan radio-radio pemancar apabila terjadi evakuasi. Sedangkan Playen di daerah Gunung Kidul dipersiapkan sebagai stasiun PHB alternatif apabila Yogyakarta diduduki Belanda,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma.

Baca juga: Misi Kina Indonesia

Upaya Suryadarma sejalan dengan pesan terakhir Wapres Moh. Hatta. Sebelum ditangkap pasukan Belanda, Hatta sempat mengirim pesan radio melalui stasiun PHB AURI yang memerintahkan agar perjuangan harus terus dilanjutkan tak peduli apapun yang akan terjadi pada dirinya dan para pemimpin lain.

Perintah wapres dan KSAU itulah yang ditindaklanjuti para personil AURI. “Setelah itu markas besar AURI di Terban Taman terpaksa harus dibumihanguskan. Saya dan adik saya, Basuki, berboncengan naik sepeda melaksanakan pembumihangusan itu. Dari sana saya menyingkir ke luar kota, menghimpun kekuatan gerilya melanjutkan perjuangan melawan Belanda,” ujar Boediardjo.

Di Dukuh Banaran, Kecamatan Playen, Gunung Kidul, Boediardjo (kepala Jawatan PHB AURI) lalu meminta izin tokoh setempat, Pawirosetomo, untuk mendirikan stasiun darurat PHB di rumahnya. Berbekal izin Pawirosetomo itulah dia dibantu beberapa personil AURI dari Lanud Gading memasang perangkat-perangkat yang telah mereka persiapkan.

“Antenanya kami rentangkan di antara dua batang pohon kelapa, yang tiap malam kami kerek naik, dan kami turunkan keesokan hari. Pemancar dan penerimanya diletakkan di daam dapur keluarga petani, dekat kandang sapi. Pembangkit listriknya disembunyikan di luweng dalam tanah ditutupi kayu bakar.”

Stasiun radio dengan call sign PC2 itu pun beroperasi. Jalinan kontaknya dengan lebih dari 20 PBH AURI lain yang masih selamat membuat komunikasi republik tetap terjaga. “Komunikasi terus terjalin antara Pemerintah Darurat RI di Sumatra dan Pulau Jawa, termasuk pula dengan pemimpin RI yang tengah berada di dalam pengasingan di Pulau Bangka. Suryadarma, yang pada saat itu termasuk dalam tahanan Belanda yang diasingkan di Pulau Bangka, tetap dapat melakukan kontak dengan para personil AURI, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri (Rangoon, Burma) melalui stasiun PHB Kutaraja, Aceh,” tulis Adityawarman.

“Jaringan radio AURI berporoskan Aceh-Yogya, meliputi stasiun radio dalam pengungsian Kotaraja, Tarutung, Bangkinang, Pasir Pangreyen, Kotatinggi. Stasiun mobil mengikuti PDRI di daerah Kerinci, Lubuk Linggau, Wonosari, dan Jamus (sekitar Gunung Lawu). Selain itu, ada juga hubungan radio ke luar negeri, dengan satuan AURI/Indonesina Airways yang berpangkalan di Burma, lewat Aceh,” tulis Irna HN Sowito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.

Baca juga: Jasa Patnaik untuk Republik

Untuk mengamankan PC2, para personil PHB Playen beroperasi hanya pada malam hari dan sebentar. Mereka mengacak frekuensi yang digunakan. “Apabila sandi diketahui pihak Belanda, pihak RI sudah siap untuk beraksi, mengubah kode, pindah jam siaran, bahkan kalau perlu pindah tempat,” sambung Irna. Para personil PHB Playen juga mengganti identitas mereka dengan nama samaran.

Pada 28 Februari, KSAP Kolonel TB Simatupang mendatangi PHB Playen. Dia memberi secarik kertas berisi teks mengenai Serangan Umum 1 Maret yang mesti diberitakan kepada Boediardjo. Sebelum pergi, Simatupang membrifing Boediardjo. “Diwanti-wanti untuk menyiarkannya besok malamnya setelah terjadi Serangan Umum yang akan dilancarkan pada waktu subuh tanggal 1 Maret 1949,” tulis Boediardjo.

Maka ketika pasukan republik telah melakukan serangan umum, PHB Playen pun melakukan tugasnya. “PHB AURI di Playen, Wonosari pada tanggal 2 Maret dini hari, memberitahukan kepada PHB AURI di Bukittinggi bahwa pada tanggal 1 Maret, Yogyakarta diduduki kembali oleh TNI. Berita itu langsung dikirim ke Takangon, Aceh. Selanjutnya diteruskan ke Rangoon, Burma. Sore harinya, Kusnadi dan kawan-kawan sudah mendengar berita tersebut disiarkan oleh Radio di New Delhi, All India Radio menyiarkan berita kemenangan ini ke seluruh penjuru dunia, hingga sampai ke PBB. Siaran tersebut telah membuka kedok Belanda yang selalu menggembar-gemborkan berita bahwa TNI adalah gerombolan pengacau dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi,” tulis Irna.

Akibat siaran PHB Playen, Belanda marah bukan kepalang. Satu batalyon langsung dikerahkan ke Wonosari untuk mencari keberadaan PC2 pada 10 Maret. Namun, upaya itu gagal karena Boediardjo dan kawan-kawan telah lebih dulu memindahkan PC2 ke Desa Brosot di Wates.

Keberhasilan siaran PC2 membuat Boediardjo dan kawan-kawannya senang bukan kepalang. “Keluarga Pawirosetomo tidak mengerti, mengapa kami sampai melonjak-lonjak kegirangan, saling berpelukan seperti orang kesurupan,” ujar Boediardjo.

TAG

Sejarah-AURI TNI-AU

ARTIKEL TERKAIT

Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Waktu Punya Tupolev, Angkatan Udara Indonesia Kuat Purnatugas Heli Puma Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Lika-liku Pesawat T-50 Hanandjoeddin Perintis di Tengah Keterbatasan Kapten Wisnu Celaka di Natuna Flypass Nekat Montir Pesawat Rayakan HUT RI Seragam Batik Tempur Sosok Sukarno dan Pak Dirman dalam Kadet 1947