PERAN besar di balik tokoh besar. Demikianlah Nan Buurman van Vreeden menafsirkan sepakterjang ayahnya, Letjen Dirk Cornelis Buurman van Vreeden, sebagai perwira tinggi Koninklijke Nederlands Indisch Leger (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda).
Nama Buurman memang kalah pamor dari koleganya, Jenderal Simon Hendrik Spoor. Panglima KNIL dan pimpinan tertinggi seluruh tentara Belanda di Indonesia semasa revolusi fisik (1946-1949) itu dikenal paling ngotot menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda pasca-Perang Dunia II lewat jalan perang.
Faktanya, Spoor hanya memulai. Buurmanlah yang menyelesaikan apa yang dilakukan Spoor.
“Ayah saya dan Jenderal Spoor sudah berteman sejak masih dalam pendidikan militer. Akan tetapi ayah saya yang harus melewati masa-masa akhir penyelesaian konflik. Itu hal yang sulit bagi dirinya. Saya mengisahkan ini agar anak-cucu saya mendapat gambaran yang lebih jelas terkait hal itu. Ayah saya memainkan peran besar dalam sejarah itu,” ungkap Nan yang berbagi kisah di laman engelfriet.net 17 Agustus 2007.
Karier militer Buurman hingga bisa menggantikan Spoor sebagai Panglima KNIL terbilang pesat. Namun dia baru bisa menjejakkan kaki lagi di Jawa enam bulan pasca-Jepang menyerah pada Sekutu. Mengutip Nieuwe Courant, 9 Juli 1949, Buurman ditugaskan kembali ke Batavia pada Februari 1946 setelah selesai dinas di kantor penghubung Sekutu di Singapura. Sebulan kemudian Spoor menjadikannya sebagai tangan kanan dengan jabatan resmi kepala staf KNIL berangkat mayor jenderal.
Baca juga: Panglima Tentara Belanda dari Surakarta (Bagian I)
Kepercayaan Spoor tak bertepuk sebelah tangan. Buurman jadi orang pertama yang mendukung ambisi Spoor dalam menertibkan bekas koloni Belanda dari para pengacau.
“Mayjen Buurman van Vreeden selalu berpikiran sama (dengan Spoor). Ia ingin memaksakan penundukan pasukan republik (TNI), meski jalan kompromi politis masih memungkinkan,” ungkap Koran Nieuwsblad van het Noorden, 17 April 1993.
Kreator Agresi Militer
Operatie Product atau dalam sejarah Indonesia disebut Agresi Militer I (21 Juli 1947) menjadi langkah nyata pertama dari ambisi Spoor dalam menertibkan bekas Hindia Belanda. Buurman memainkan peran besar dalam operasi tersebut. Dialah orang yang merancang strategi dan taktik operasi.
Saat Perdana Menteri Louis Beel berupaya menekan republik di jalur diplomasi, Buurman sudah menyiapkan tiga rancangan operasi sekaligus. Dalam Nederland Valt Aan: Op Weg Naar Oorlog met Indonesie, 1947 Ad van Liempt menyebutkan Buurman mulanya menyiapkan dua rencana manuver: Operatie Rotterdam dan Operatie Amsterdam. Rancangan yang pertama Operasi Amsterdam, untuk menguasai ladang-ladang minyak di Sumatera. Lantas, Operasi Produk untuk menguasai Jawa Barat, dan Operasi Rotterdam untuk menyerang jantung ibukota di Yogyakarta.
Namun karena pertimbangan kekuatan militer dan perkembangan politik, operasi yang dijalankan hanya Operasi Produk. Buurman mengembangkan lagi operasi ini dengan mengubah sasaran, dari hanya menguasai Jawa Barat menjadi menguasai Sumatera dan Jawa Barat. Gagasan Buurman berjalan sukses secara teknis-militer, kendati akhirnya bubar setelah ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.
Bukti bahwa Agresi I merupakan buah pikiran Buurman adalah kesaksian Panglima Divisi Siliwangi Jenderal Mayor Abdoel Haris Nasution yang dituangkan dalam bukunya, Sekitar Perang Kemerdekaan: Periode Linggarjati.
“Pada 18 September 1947, sebuah konvoi Belanda bergerak dari Garut ke Tasikmalaya, berhasil kita hadang selama satu jam di tiga tempat. Dalam salah satu konvoi ternyata terdapat Jenderal Mayor Buurman van Vreeden. Beberapa dokumennya jatuh ke tangah Batalyon Tobing yang meneruskannya ke Divisi, termasuk stempel jabatan dan stempel tanda tangan kepala staf umum (tentara Belanda, Jenderal Buurman) tersebut,” sebut Nasution.
Dari dokumen-dokumen itu terdapat salinan kebijakan pemerintah pusat terhadap militernya di Indonesia, termasuk agresi. Konvoi itu lantas dibebaskan lantaran adanya gencatan senjata sejak 5 Agustus.
“Tanda-tanda policy (kebijakan Belanda) ini saya perlihatkan di Yogya kepada perwira-perwira KTN. Tapi pada 19 Desember 1948, Tentara Belanda memasuki Yogyakarta dan menggeledah rumah saya di depan Markas Besar (Tentara RI), mereka mengambil mantel saya yang berisi stempel-stempel itu tadi. Pada saat out saya sedang di Jombang dan istri saya di Solo,” tambahnya.
Bukti-bukti yang dimiliki Nasution itu hilang saat Operatie Kraai atau Agresi Militer II. Lagi-lagi, operasi ini merupakan buah pikiran Buurman yang bertolak dari keinginan Spoor untuk menghabisi republik di ibukota.
Baca juga: Peringatan Serangan Umum 1 Maret Menuju Hari Besar Nasional
Himawan Sutanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor (Operatie Kraai) vs Jenderal Sudirman (Perintah Siasat No.1) menguraikan, rancangannya dikerjakan dan dirampungkan Buurman sudah sejak Januari 1948 meski penetapan sasarannya ditentukan Spoor. Selain menguasai Jawa, operasi itu juga hendak menghabisi TNI di Sumatera.
“Awal Januari 1948 Mayjen Buurman merampungkan pengembangan rencana operasi militernya. Serangan untuk merebut Yogya dilakukan oleh tiga kolone tempur: Pertama, merebut Yogyakarta dengan satuan pasukan gerak cepat. Kedua, gerak ofensif dari Banyumas ke Yogya. Ketiga, infanteri Brigade T digerakkan dari Semarang ke Yogya,” kata Himawan.
Untuk mengantisipasi jika para pembesar republik mencoba kabur, Buurman menyiapkan rencana cadangan penguasaan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasilnya, Belanda menguasai Yogya. Para pemimpin republik mereka tawan, sementara TNI berpencar ke luar kota.
Seiring meninggalnya Spoor pada 25 Mei 1949, Buurman dipromosikan jadi letjen dan menggantikan posisi koleganya itu. Posisi kepala staf diisi Mayjen Dirk Reinhard Adelbert van Langen. Keduanya diangkat berdasarkan Dekrit Kerajaan No.2, 8 Juli 1949.
Setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949, Buurman justru mengeluarkan kebijakan kontroversial yang membuatnya jadi sorotan. Bukan hanya menolak desakan politik untuk menangkap Kapten Raymond Westerling, pemimpin Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung pada 15 Januari 1950, Buurman malah membantu pelariannya dari Jakarta.
“Jenderal Buurman van Vreeden membantu Westerling kabur dan mengelabui, baik Komisaris Tinggi Belanda Dr. Hirschfeld dan Laksamana J.W. Kist. Fakta ini berdasarkan riset J.A. de Moor, ‘Politionele Actie, Afwikkeling en Verwerking’ (Aksi Polisionil dan proses penyelesaiannya). Pemaparannya dalam sebuah simposium menarik perhatian para mantan perwira Indonesia,” tulis De Waarheid, 7 April 1990.
Sepakterjang Buurman akhirnya harus memasuki babak akhir setelah disepakatinya Konferensi Meja Bundar (KMB) antara pihak Indonesia dan Belanda. Di hari terakhirnya di Indonesia, 25 Juli 1950, Buurman berpamitan ke Presiden Sukarno di Istana Negara. Dia lalu ke Makam Menteng Pulo untuk merziarahi makam para serdadunya dan makam Jenderal Spoor. Malamnya, ia berpidato untuk membubarkan KNIL yang berlaku efektif pukul 00.01, 26 Juli 1950. Bersamaan dengan itu, Buurman menyerahkan markas besarnya ke TNI.
Baca juga: KNIL Dari Eropa ke Bumiputera
Sekembalinya ke Belanda, Buurman kembali ke Koninklijke Landmaacht (Angkatan Darat Belanda) dan disambut sebagai pahlawan. Dia dipercaya memegang pucuk pimpinan Tentara Teritorial Grup Barat AD Belanda hingga pensiunnya pada 1 November 1957.
Atas pengabdiannya itu, Buurman dianugerahi medali Oranje Nassau, medali War Rememberance Cross, dan medali Cross for Order and Peace.
Anugerah terakhirnya dipetik kala menjabat Wakil Direktur Persenjataan Uni Eropa di Paris, Prancis sejak 1957. Di kota mode itu pula ia mengembuskan nafas terakhirnya pada 12 Juni 1964 di usia 62 tahun. Jenazahnya dibawa pulang ke Belanda untuk disemayamkan di Pemakaman Oud Eik en Duinen di Den Haag, empat hari berselang.