ENTAH perasaan apa yang bergolak dalam hati Letjen Dirk Cornelis Buurman van Vreeden pada 25 Juli 1950 malam di kediaman Komisaris Tinggi Belanda Max Hans Hirschfeld. Dalam hitungan menit, dia mesti berpidato dua bahasa di depan hadirin yang berisi perwakilan Belanda dan Republik Indonesia Serikat. Pidatonya bukan hanya penting bagi dirinya semata, tapi juga bangsanya dan ribuan orang di dalamnya.
Lembaran-lembaran kertas sudah dihadapinya. Kacamata pun sudah terpajang di wajahnya. Sejurus kemudian, naskah pidato itu dibacakan secara perlahan oleh Buurman. Isinya: Koninklijke Nederlands Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, di mana ia jadi panglimanya, dibubarkan.
“Seperti telah saya kataken dalam pidato radio saya, kepada semua militer KNIL. Saya yakin, di manapun tuan-tuan berada dalam pekerjaan selanjutnya, tuan-tuan memperlihatken di sana sifat-sifat baik yang sama itu,” demikain potongan pidatonya berbahasa Indonesia.
Baca juga: Demi Gaji Tinggi, Orang Prancis Jadi Tentara KNIL
Momen itu terekam di kamera tim dokumentasi Polygoon-Profilti dan diberi tajuk “Nieuws uit Indonesië” (Kabar dari Indonesia). Buurman mungkin tak menyangka di hari itu dia yang harus membubarkan sendiri alat negeri kolonialnya yang sudah berusia lebih dari seabad.
Cah Surakarta
Siapa Buurman van Vreeden dan apa perannya dalam sejarah kolonialisme di negeri ini? Sayangnya, tak seperti rekan sekaligus komandannya yang begitu populer, Jenderal Simon Hendrik Spoor, nama Buurman sedikit disebut dalam literatur-literatur. Namun, sedikit bukan berarti tak ada.
Buurman dilahirkan di Surakarta pada 16 Juni 1902. Anak kedua dari lima bersaudara itu merupakan keturunan Residen Surakarta periode 1897-1905 Willem de Vogel, demikian penuturan putri sulung Buurman, Nan Buurman van Vreeden, di situs engelfriet.net 17 Agustus 2007.
Buurman menjadi cucu De Vogel dari garis ibunya, Anna Margaretha Sophia de Vogel, yang juga lahir di Surakarta. Sementara, ayah Buurman yang juga bernama Dirk Cornelis Buurman van Vreeden, merupakan insinyur kepala Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Ayah Buurman terlibat dalam pembangunan jalur keretaapi pertama di Jawa, Semarang-Tanggung, yang masih dipakai sampai sekarang.
“Kakek dari ayah saya adalah Willem Buurman van Vreeden. Ia jadi salah satu penjelajah Belanda yang mengeksplorasi India. Ia kemudian ditunjuk jadi kepala kehutanan di Jawa Timur. Nenek dari ibu saya adalah Louise Johannette Helms. Pernah dalam salah satu karyanya, Douwes Dekker (Multatuli) menuliskan bahwa ia pernah bertemu seorang wanita yang teguh memakai pakaian khas Belanda di Batavia meski cuacanya panas. Itu adalah nenek buyut saya, Helms,” sambungnya.
Baca juga: Jembatan Perlawanan Mangkunegaran
Selaiknya anak-anak zaman kiwari, Buurman kecil senang bermain bersama bocah sebayanya. “Dari kecil ia (Buurman) sudah senang bermain perang-perangan. Dan saat dia dewasa ia benar-benar menjadi perwira militer. Ia sosok yang loyal. Saya turut bersedih segalanya berjalan dengan buruk di Indonesia. Tapi ia pernah berkata bahwa ia sudah menjalankan tugas sebagaimana mestinya,” kenang Nan.
Sebagai anak pejabat tinggi di Hindia Belanda, Buurman mendapat pendidikan terbaik. Ia dikirim ke sekolah Hoogere Burgerschool (HBS) di Den Haag, hingga dilanjutkan di Kampen sebelum masuk Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda. Di sini ia se-lichting dengan Spoor dan mulai menjalin pertemanan erat.
Suratkabar Algemeen Handelsblad yang mengisahkan riwayatnya dua tahun pasca-meninggal pada 14 Juni 1966, menulis bahwa Buurman masuk pendidikan kadet KMA Breda pada 1921 dan lulus tiga tahun berselang dengan pangkat Letnan Dua Artileri. Buurman langsung ditugaskan masuk KNIL.
Baca juga: Kelana Opsir KNIL Mencari Manusia Purba
Kariernya melonjak lagi setelah masuk pendidikan Hogere Krijgsschool dan lulus dengan pangkat letnan satu pada 1934. Ia juga langsung dikirim penugasan ke Aceh selama enam bulan sebagai perbantuan di Korps Marsose, sebelum akhirnya pindah tugas ke Magelang pada 1935.
Di KNIL, Buurman dipromosikan sebagai kapten di Markas Staf Umum KNIL di Bandung pada 1938. Tahun 1942 jadi ujian sesungguhnya bagi KNIL sekaligus bagi keluarga Buurman. “Saat Jepang menyerang, ibu saya, Johanna Hendrina Helms, bahkan diminta ikut membantu KNIL sebagai pemecah kode telegram,” sambung Nan.
Perwira Perantara
Sementara Nan serta saudara-saudaranya ditinggal di Bandung, Buurman diperintahkan markas KNIL untuk ikut mengungsi ke Australia bersama istrinya, juga bersama Spoor, sehari sebelum Belanda menyerah pada Jepang di Kalijati, 9 Maret 1942.
Praktis militer Belanda yang masih bernafas hanya para pelarian KNIL di Australia saat itu karena negeri Belanda telah diduduki Jerman-Nazi pada 1940. Sementara Spoor membesut biro intelijen Belanda (NEFIS) dan Hubertus Johannes van Mook mendirikan (Nederlands Indie Civil Administratie/Pemerintahan Sipil Hindia Belanda), Buurman ditugaskan jadi perwira penghubung militer Belanda dengan militer negara-negara Sekutu lain.
“Dengan dipromosikan dengan pangkat mayor, ia ditugaskan sebagai perwira penghubung di Markas Staf Umum Inggris dNew Delhi. Ia menjadi perantara langsung militer Belanda dengan Panglima Tertinggi Komando Asia Tenggara (SEAC) Laksamana Lord Louis Mountbatten. Pada 1943 ia dipindah sebagai atase militer Kedutaan Besar Belanda di Chungking berpangkat kolonel artileri,” tulis Nieuwe Courant, 9 Juli 1949.
Medio 1944-1945, Buurman dipindahtugaskan menjadi perwira penghubung di Singapura dengan pangkat brigadier jenderal. Pada Februari 1946, dia memijakkan kaki lagi ke Jawa dengan penugasan baru. Mengikuti naiknya Spoor menjadi panglima KNIL sekaligus panglima tertinggi Tentara Belanda, Buurman pada 7 Maret 1946 resmi menyandang jabatan kepala staf KNIL.
Baca juga: Panglima Tentara Belanda dari Surakarta (Bagian II–Habis)