Nias dikenal sebagai salah satu surfing spot terbaik di dunia. Para surferi dari dalam dan luar negeri memimpikan bisa berselancar di pulau di barat Sumatra Utara itu atau bila yang sudah pernah, ingin mengulanginya lagi.
Namun, itu baru beberapa dekade belakangan. Di masa-masa sebelumnya, Nias identik dengan lompat batu (hombo batu). Atraksi lompat batu Nias yang terkenal berada di sebuah desa di atas bukit bernama Bowomataluo di Nias Selatan.
Melompati tugu batu yang sekitar 1,7 meter itu tentu bukan hal mudah, apalagi postur orang Nias umumnya tidak tinggi. Zaman dulu, hanya laki-laki yang sudah jadi prajurit saja yang boleh menikah. Satu kepala musuh untuk satu kali perkawinan. Namun kini tradisi tersebut menghilang.
“Ujian lain —kali ini lebih berdarah— yang harus dihadapi prajurit adalah lompat batu, tradisi yang masih dilaksanakan sampai saat ini di Nias Selatan. Sepertinya, tujuan lompat batu adalah melatih prajurit untuk melompati pagar desa musuh,” catat Vanni Puccioni dalam Tanah Para Pendekar: Petualangan Elio Modigliani di Nias Selatan Tahun 1886.
Perang antardesa biasa terjadi di Nias. Namun perang dengan otoritas Belanda, yang jelas tidak biasa, juga pernah terjadi di Nias kendati tentara kolonial Hindia Belanda Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) sudah mendarat dan membuat pos di Nias sejak 1840.
Perlawanan terhadap otoritas Belanda terjadi di Nias pada awal abad XX. Penyebabnya terkait dengan urusan administrasi pemerintahan. Rencananya, seperti diberitakan De Locomotief tanggal 18 Juli 1908, berdasarkan Keputusan Pemerintah Nomor 14 tahun 1908 wilayah Nias akan dipimpin oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Gunungsitoli. Wilayah timur juga langsung di bawah Asisten Residen. Untuk Nias Barat dan Nias Selatan, diawasi kontrolir. Sedangkan wilayah utara dipimpin seorang penguasa sipil sementara.
Rencana tersebut rupanya tidak mendapat dukungan bulat dari seluruh pemimpin etnis di pulau itu. Sebuah gangguan keamanan, tulis De Courant tanggal 11 Agustus 1908, terjadi di Nias pada Jumat, 7 Agustus 1908.
Kendati gangguan tersebut bukan gangguan besar menurut Kontrolir EEWG Schröder selaku pejabat sipil kolonial tertinggi di Nias, pemerintah kolonial bertindak cepat untuk mengatasinya. Pada 23 Juni 1908, seperti diberitakan De Locomotief tanggal 29 Juni 1908, satu brigade Marsose di bawah pimpinan Letnan Infanteri Baptist diberangkatkan dengan kapal uap MV Condor milik pemerintah dari Padang menuju Gunungsitoli.
Di Nias sendiri telah ada 8 brigade –tiap brigade berisikan 20 personel– Marsose di bawah Kapten Kruisheer selaku komandan militer tertinggi di pulau itu. Marsose yang merupakan pasukan anti-gerilya KNIL, terbentuk dan terasah kehandalannya di akhir Perang Aceh. Setidaknya terdapat 160 orang marsose di Nias. Dengan mengerahkan mereka, masalah gangguan dari orang-orang Nias dari pegunungan yang dianggap pemerintah kolonial masih liar, bisa diatasi. Pada Agustus 1908, gangguan keamanan itu “sirna”.
Namun masalah yang terjadi di Nias itu membuat residen Tapanuli, yang membawahi Pulau Nias, harus mengunjungi Nias yang dianggap gawat oleh pemerintah. Koran De Locomotief tanggal 22 September 1908 memberitakan bahwa ketika residen Tapanuli di sana, semua kepala masyarakat dikumpulkan di Teluk Dalam. Di sana, pemerintah kolonial mengeluarkan perintah tentang pembangunan jalan, pendaftaran dan penyerahan senjata api, larangan pengayauan (pemenggalan kepala), berperang antar-kampung, dan membawa senjata perang. Kala itu Bawefarono didenda 500 gulden karena sikap tidak pantas selama perjalanan Schröder.
Sekitar November 1908, seorang perwira Belanda diserang dan terluka parah dalam sebuah perampokan di Hiligeho, Nias Selatan. Perwira yang terluka parah itu, menurut De Locomotief edisi 13 November 1908, adalah Letnan Van Holst Pellekaan.
Perampokan itu tentu menyulut pemerintah kolonial untuk mengerahkan aparat keamanannya. Menurut koran De Avondpost tanggal 12 November 1908, para penyerang berhasil dipukul mundur oleh pihak berwenang dan puluhan orang terluka dalam serangan itu. Selain perwira tadi, tiga pekerja paksa juga mendapat luka ringan.
Perlawanan tak padam begitu saja di Nias tahun 1908. Masalah itu tak seringan yang dipikir Schröder. Hingga Schröder dimutasi dari Nias pada 1909, perlawanan masih ada di Nias. Pada 27 Februari 1909, perlawanan terjadi lagi di Kampung Hililowalangangangi, Nias Selatan. Koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 8 Maret 1909 memberitakan, Prajurit KNIL Kasiman dan Prajurit KNIL Satam tertembak orang kampung dan terbunuh dalam peristiwa tersebut. Sementara, Prajurit Sanidin terluka.
Pada 1910 perlawanan juga masih terjadi. Koran De Locomotief edisi 15 Juli 1910 memberitakan bahwa kepala Sitoebahili di daerah Moro Bawah di Nias Barat ditangkap. Ini adalah buntut dari serangan lebih dari 100 orang terhadap sebuah patroli 10 prajurit KNIL. Dalam serangan itu, Kopral Dittrich bersama seorang kopral pribumi dan tujuh prajurit infanteri KNIL terbunuh.
“Perlawanan terjadi di sekitar Sungai Gamo dan Sungai Idano Tae di Nias Selatan. Orang-orang Nias di tahun ini tak bisa didekati pemerintah kolonal. Jika ada patroli militer KNIL Belanda mendekati kampung mereka, maka mereka melarikan diri. Beberapa kepala suku ditangkap,” tulis Algemeen Handelsblad, 20 Februari 1911.
Pada 15 November 1910, Gotsjoe selaku kepala suku Hili Ana tiba di Gamo Atas atas permintaan komandan patroli. Dia diminta secara sukarela pergi ke Lahusa. Namun, ternyata dia kabur bersama orang-orang Nias lain. Ratusan orang Nias itu kemudian mempersenjatai diri dengan tombak dan tameng. Sebuah brigade KNIL bersenjata api pun dikirim untuk menghadapi mereka.
Getsjoe rupanya didukung Don Salawa (kepala kampung) dari Kaïnpong Ëwo di Idano Tae. Pasukan Belanda kemudian diperintahkan menangkap sang kepala desa. Namun, sang kepala kampung bersama 30 pengikutnya dalam posisi siap tempur. Mereka melempari pasukan KNIL Belanda dengan tombak. Akibatnya, Kopral Salamoen dan Kopral Jensen mendapat luka ringan. Kala itu Getsjoe mungkin bersembunyi di rumah kepala kampung itu.
Perlawanan orang Nias terjadi lagi pada 25 November. Kala itu, patroli KNIL berjalan ke Wazoe-Wazoe, sebuah kampung yang dibentengi tembok batu dan pegar bambu. Saat anggota brigade masuk, seorang perempuan tua berteriak bahwa hanya perempuan yang ada di sana. Rupanya patroli KNIL itu sedang dijebak. Tak lama kemudian, patroli itu dilempari tombak dan batu.
Perang antara Belanda dengan orang-orang Nias antara 1908-1913 itu dikenal sebagai Perang Moro’0. Buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara menyebut, banyak tentara KNIL terbunuh. Sementara, sebanyak 14 kepala adat tewas selama perlawanan.
Akibat perang itu, 20 pemimpin Nias dibuang ke Sumatra dan Jawa. Para panglima perang Nias mendapat hukuman 5 hingga 20 tahun penjara serta dibuang dari Nias.