DI tengah isu Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang masih ramai diperdebatkan, muncul lagi isu yang bikin gaduh: biaya melahirkan bakal dikenai pajak. Warganet pun ramai memprotes isu terakhir itu.
Ditjen Pajak Kementerian Keuangan sampai harus turun tangan meresponnya. Melalui Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, Kemenkeu membantah isu tersebut.
“Perlu kami sampaikan di dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 disebutkan bahwa jasa pelayanan kesehatan medis termasuk ke dalam Jasa Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan,” ujar Dwi, dikutip cnnindonesia.com, 6 Juni 2024.
Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak
Penjelasan yang diambil Kemenkeu itu amat penting demi meredakan kegaduhan yang ditimbulkan oleh isu pajak. Pajak merupakan isu penting namun sensitif. Sejak dulu, setiap isu kenaikan pajak berhembus, selalu ada pihak yang menentangnya. Bahkan, pertumpahan darah kerap terjadi di masa lalu akibat perlawanan terhadap kenaikan atau penerapan pajak oleh pemerintah.
Salah satu perlawanan terhadap pajak dilakukan oleh orang-orang etnis Wana. Suku Wana merupakan etnis yang menetap di sebuah distrik di Bungku Utara yang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Bungku (kini termasuk Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah).
“Mereka adalah etnis terasing atau Komunitas Adat Terpencil (KAT). Wana dapat diartikan hulu, udik, atau hutan. Cara hidup mereka masih sangat sederhana dan sebagian ada yang masih hidup mengembara di hutan-hutan tetapi sebagian dari mereka sudah bergaul dengan masyarakat pantai dan sudah memeluk agama Kristen dan atau agama Islam,” catat Syakir Mahid dkk. dalam Sejarah Kerajaan Bungku.
Baca juga: Bermacam Pajak Era Kolonial
Perlawanan suku Wana bermula dari pemberlakuan pajak dan kerja rodi di wilayah Bungku oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1908. Rakyat Bungku yang diperintah Raja Abdul Wahab pun tak terima. orang-orang Bungku pun melawan. Orang-orang Wana ikut terlibat dalam perlawanan itu.
Letnan Gubernur sisi barat Sulawesi dengan dua pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) pun pergi ke sana. Pertempuran kemudian terjadi di sebuah benteng di Panilae. Seorang sersan berdarah Eropa, Van den Born, dikabarkan De Preanger-bode tanggal 2 Februari 1911 terluka parah dalam pertempuran itu sedangkan prajurit penembak rendahan (fuselier) bernama Wagiman (dengan nomor stamboek) 67369 mendapat luka ringan.
Baca juga: Menentang Pajak Hewan Kurban Hindia Belanda
Pertempuran di Penilae, menurut koran De locomotief tanggal 28 November 1910, terjadi sekitar 10 November 1910. Sepuluh orang Wana terbunuh, termasuk pemimpin perlawanan mereka. Dua musuh ditawan dan empat pucuk senapan kuno disita tentara Belanda.
Sementara, Fuselier Wagiman dianggap telah memberikan perlawanan terbaiknya sehingga mendapatkan penghargaan. Koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 30 Mei 1911 memberitakan, melalui Koninklijk besluit van 19 Mei 1911 No. 31, fuselier Wagiman diangkat menjadi Ksatria Militer Orde William (Militaire Willemsorde) kelas 4.
Setelah pertempuran itu, kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda makin kuat di Morowali dan sekitarnya. Menurut Syakir Mahid dkk., sejak tahun 1924 Mori dan Bungku masuk sebagai bagian dari Keresidenan Manado.
Baca juga: Perlawanan Kerajaan Siau terhadap Belanda
Setelah tahun 1932, daerah Mori dan Bungku menjadi bagian Onder Afdeeling yang dipimpin oleh seorang pegawai negeri sipil Hindia Belanda. Kala itu penduduk yang harus diawasi di daerah itu kurang lebih 41.000 jiwa, di mana 15.000 jiwa di antaranya orang Mori.
Guna menghindari apa yang terjadi di tahun 1910 dan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, sebuah detasemen KNIL lalu ditempatkan di sana. Terdapat 3 brigade yang –kebanyakan orang Indonesia– yang mengamankan daerah itu. Komandan detasemen itu bisa seorang letnan dengan dibantu seorang sersan mayor, perwira kesehatan, kuli dan penjaga gudang. Mereka terus bertugas hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Bungku pada 1942 ketika tentara Jepang datang.*