Masuk Daftar
My Getplus

Luka Lama Kembali Menganga

Belum terima hasil kekalahan di Malvinas tiga dasawarsa silam, Argentina kembali tantang Inggris.

Oleh: M.F. Mukthi | 23 Jun 2012
Tentara Argentina di Port Stanley, 2 April 1982. (Wikimedia Commons).

Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner segera menyusul ketika Perdana Menteri Inggris David Cameron hendak ke luar ruangan. Dia menyodorkan sepaket dokumen kepada Cameron. Isinya: klaim Argentina atas Kepulauan Falkland/Malvinas. Karuan Cameron emosi. Peristiwa itu terjadi Rabu lalu, 20 Juni 2012, saat keduanya menghadiri Forum G-20 di Mexico City.

Pada 8 Juni 1982, dengan klaim yang sama, Argentina menyerang Inggris. Tapi bukan pemimpin lawan pemimpin, tapi pesawat-pesawat tempur Argentina melawan kapal suplai Inggris di kepulauan itu. Serangan itu merupakan rentetan konflik militer kedua negara sejak April. Setelah mendaratkan pasukan pada 2 April 1982, militer Argentina merebut kepulauan itu dua hari kemudian. Perlawanan sejumlah kecil garnisun Royal Marine Inggris yang menjaga kepulauan tersebut berhasil dipatahkan.

Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher memutuskan untuk melawan. Gugus tugas langsung dibentuk setelah sebelumnya tekananan diplomatik terhadap Argentina dia organisir. Laksamana Sir John Fieldhouse memimpin operasi perebutan kembali kepulauan yang berjarak 8.000 mil dari Pulau Britania itu. Beberapa grup yang terdapat dalam gugus tugas itu berpusat di dua kapal induk, HMS Hermes dan HMS Invicible, yang mengangkut jet-jet tempur –yang akan memberi dukungan udara bagi iring-iringan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Perang Tiongkok dan Vietnam di Paracel

Meski singkat, pertempuran begitu sengit. Baik Inggris maupun Argentina kehilangan banyak personel. Kapal penjelajah General Belgramo (Argentina) dan destroyer HMS Sheffield (Inggris) sama-sama menambah deret kerugian kedua belah pihak.

Setelah berhasil menguasai satu per satu titik, pasukan Inggris melancarkan serangan simultan ke Port Stanley pada 11 Juni 1982. Kota itu pun jatuh melalui pertempuran sengit. Benteng pertahanan alami pasukan Argentina yang berbukit-bukit ditembus Inggris. Argentina terkepung di darat, sementara di laut mereka sudah diblokade AL Inggris. Jenderal Mario Menendez bersama 9000-an pasukannya akhirnya menyerah pada 14 Juni 1982.

Baca juga: Alarm Perang Dunia Ketiga

RAF (AU Inggris) dengan jet tempur Harrier-nya memainkan peran penting dalam kemenangan itu. Landasan-landasan di kepulauan itu cukup pendek. Harrier mampu terbang dan mendarat secara vertikal (Vertical Take Off and Landing/VTOL). Sementara jet-jet tempur Argentina harus diterbangkan dari pangkalan-pangkalan di daratan utama negerinya, Harrier bebas memilih tempat terbang dan mendaratnya.

Perang Malvinas merupakan buntut keputusan Presiden Argentina Jenderal Leopoldo Galtieri untuk menganeksasi Kepulauan Malvinas/Falklands. Gagasan awalnya datang dari Laksamana Jorge Anaya, pendukung utama pemerintahan junta militer yang berkuasa. Aneksasi atas kepulauan yang telah diperintah Inggris lebih dari seabad itu adalah untuk mengalihkan perhatian orang dari bobroknya perekonomian dan kasus-kasus pelanggaran HAM di bawah pemerintahan junta –meski menurut Daniel K Gibran dalam The Falklands War: Britain Versus the Past in the South Atlantic pandangan seperti itu terlalu simplistik. “Jalan yang mengarah ke konflik diambil hampir 15 tahun silam.” Dengan memainkan isu nasionalisme (mencaplok Malvinas), junta militer berharap pamornya kembali naik. Mereka yakin, Inggris tak akan merespon atas pengerahan kekuatan militer itu.

Baca juga: Ikan Pemicu Perang Islandia dan Inggris

Namun, keputusan Argentina ternyata salah. Inggris tak mau menyerah, Argentina kalah. Malvinas kembali ke dalam penguasaan Inggris. Junta militer Argentina pun jatuh. Demokrasi kembali berjalan di Argentina. “Keputusan menggunakan kekuatan militer guna ‘merebut kembali’ wilayah yang hilang bukan cuma menjerumuskan Argentina ke dalam perang kecil menghancurkan melawan Inggris, tapi juga mendatangkan bencana bagi junta yang memerintah,” tulis Gibran.

Setelah perang, Inggris memasukkan Malvinas sebagai wilayahnya di seberang, dan secara berangsur memberi keleluasaan pemerintahan kepada penduduk setempat. Kepala pemerintahan Malvinas adalah gubernur. Pada 2013, penduduk kepulauan itu mengadakan referendum.

Argentina, yang tak pernah rela kehilangan Malvinas, tak tinggal diam. Diplomat-diplomatnya di London mencoba mencari dukungan dari Wales melalui pemimpin Partai Plaid Cymru, Elfyn Llwyd. Namun, “Saya nyatakan, sama sekali tak tertarik terlibat dalam urusan itu,” ujar Llwyd sebagaimana dilansir telegraph.co.uk, 20 Juni 2012.

Referendum menghasilkan keputusan dengan suara yang nyaris bulat bahwa penduduk Kepulauan Malvinas tetap berada di bawah pemerintahan Inggris.

Tulisan ini diperbarui pada 8 Juni 2020.

TAG

perang inggris argentina

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Ibu dan Kakek Jenifer Jill Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ada Rolls-Royce di Medan Laga Kopral Roeman Melawan Teungku Leman Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika Rolls-Royce Punya Cerita Sersan Murtala Tak Kebal Peluru