Masuk Daftar
My Getplus

Kopral Roeman Melawan Teungku Leman

Pengikut Chik di Tiro ini gigih melawan Belanda hingga memaksa KNIL mengirim pasukan kecil untuk menumpasnya, yang di dalamnya terdapat Kopral Roeman dari Pasundan.

Oleh: Petrik Matanasi | 06 Apr 2024
Kopral Roeman menerima hadiah jam dari Kolonel Schilling sebagai hadiah 30 tahun gelar ksatrianya. (De Locomotief/Delpher)

Nama Cot Cicem mungkin terdengar asing di telinga. Ia tak populer, sebab Aceh punya banyak pemimpin perang gerilya yang tersebar, baik sepanjang Perang Aceh maupun setelahnya. Setelah Perang Aceh berakhir tahun 1904 pun perlawanan-perlawanan kecil terus berlanjut. Panglima-panglima perang Aceh pun terus bermunculan.

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (1836-1891) —yang diracun hingga meninggal dunia sekitar Januari 1891— ternyata juga punya pengikut yang enggan menyerah. Salah satunya Teungku Cot Cicém. Ia seorang ulama sekaligus sebagai pemimpin pasukan gerilya yang sempat memimpin 400 kombatan berbaju hitam dan cukup terlatih.

“Pasukan Cot Cicem ini adalah contoh dalam usaha meniru teknologi kemiliteran Belanda. Berbaris dengan tatacara yang rapi, memakai aba-aba terompet, dan sebagainya, pasukan ini hampir-hampir tak berbeda dengan gaya pasukan marsose Belanda. Kesemuanya adalah hasil latihan yang diberikan oleh tentara Belanda yang membelot kepada pihak Aceh,” catat Ibrahim Alfian dalam Perang Di Jalan Allah.

Advertising
Advertising

Setelah terdesak karena taktik Letnan Dersjant, Cot Cicem berstrategi lain dengan membagi-bagi pengikutnya dalam pasukan-pasukan kecil. Namun Cot Cicem akhirnya terbunuh pada 29 Maret 1906 bersama pengikut di Hulu Sungai Krueng Baro. Namun kendati tanpa Cot Cicem, para pengikutnya meneruskan perlawanannya.

“Pengganti Teungku Cot Cicem adalah Teungku Leman. Pada 20 Juni 1907 ia menyerang bivak Belanda di Keumala, dengan menjatuhkan korban Belanda dua mati dan delapan luka-luka, sedangkan di pihak Aceh gugur 19 orang,” catat Ibrahim Alfian.

Leman tentu diburu oleh tentara Belanda. Sepuluh bulan setelah serangan, sebuah brigade tentara Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) akhirnya membayangi pasukan Teungku Leman di sisi selatan Lembah Pidie. Satu brigade kala itu terdiri dari 20 personel yang terkadang dipimpin seorang sersan Eropa. Brigade itu di bawah kendali Letnan Jenae. Di dalam brigade itu terdapat Sersan Robaard. Dua Brigade Letnan Jenae yang lain tidak jauh, masih di sekitar Krueng Baro. 

Pada 15 April 1908, sebuah patroli yang dipimpin oleh Letnan Jenae membawa Brigade Sersan Robaard. Mereka kemudian melihat 40 orang Aceh bersenapan. Bagi para serdadu KNIL, orang-orang Aceh itu ibarat geng pengacau rust en orde (keamanan dan ketertiban) saja di Aceh.

Di dalam patroli itu ada Kopral Roeman yang –lama berada di Korps Marsose– tampak bersemangat. Kopral Roeman, yang baru saja dipromosikan menjadi kopral pada 14 Juli 1906, berada di Korps Marsose dari 9 Oktober 1898 hingga 6 Juli 1900 dan dari 26 Mei 1903-21 September 1908. Jadi dia dua kali korps itu. Kopral asal Jawa Barat ini adalah anggota KNIL dengan nomor stamboek 34497.

Koran De Locomotief dan Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië (10 Juni 1939) menyebut semangat sang kopral terlihat dari upayanya bergerak maju mengamati dalam patroli di Lembah Pidie itu tanpa menunggu perintah dari Sersan Robaard. Bersama beberapa prajurit bawahannya dia akhirnya turun ke jurang tempat pasukan Leman berada.

Begitu berada di jalur keluar musuh, Roeman menanti kedatangan dua brigade lain pimpinan Letnan Jenae. Roeman bersama empat anggota pasukan khusus anti-gerilya Marsose menanti sekitar 15 menit.

Namun dalam penantian itu terdengar suara tembakan. Keadaan jadi kacau. Kopral Roeman dan keempat prajurit Marsose-nya memilih bertahan dari tekanan pengikut Teungku Leman yang gigih. 

Kopral Roeman memperlihatkan ketenangan dan keberaniannya ketika terjepit itu dan harus menghadapi orang-orang Aceh. Kopral Roeman dan lainnya berusaha agar tak satu orang Aceh pun yang lolos. Ketika itu, dua brigade lain belum tiba.

Kekacauan terjadi. Pertempuran sengit antara pasukan Teungku Leman dengan pasukan Kopral Roeman, yang berakhir dengan tewasnya 36 orang Aceh. Teungku Leman di dalamnya. Sebanyak 11 senapan Beaumont, 3 senapan Mod, dan beberapa senjata lain milik pasukan Aceh disita KNIL. Tak semua orang Aceh itu bersenjata api rupanya.

Kopral Roeman tampil sebagai bintang pertempuran 15 Maret 1908 di Kabupaten Pidie itu. Berdasarkan Koninklijk Besluit 9 September 1909 nomor 9, Kopral Roeman ditahbiskan bintang Ridders Militaire Willemsorde 4 klaas alias Ksatria Militer Orde Willem kelas 4.

Bintang itu membuat Kopral Roeman dihormati di KNIL. Dia bahkan pernah mendapat kehormatan menghadiri upacara pemakaman Jenderal Van Heutz di Negeri Belanda.

Bintang Pertempuran Pidie 1908 itu pensiun pada 1914 dan mendapat uang pensiun 150 gulden setahun. Dia lalu tinggal di Bogor. Untuk menghormati jasanya, pada 1939 diadakan perayaan 30 tahun Kopral Roeman menjadi ksatria dan dia mendapat hadiah jam meja.

TAG

perang aceh

ARTIKEL TERKAIT

Ibu dan Kakek Jenifer Jill Pieter Sambo Om Ferdy Sambo Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Serdadu Ambon Gelisah di Bandung M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Saat Brigjen Djasmin Dikata Pengkhianat