Masuk Daftar
My Getplus

Taruna Cilik Zaman Belanda

Pemerintah kolonial tidak ingin anak-anak serdadu Belanda dengan perempuan pribumi dididik dan dibesarkan dalam lingkungan pribumi. Didirikanlah sekolah militer untuk anak-anak Indo itu.

Oleh: Amanda Rachmadita | 05 Jul 2024
Potret murid-murid sekolah militer di Gombong sekitar abad ke-19 dan abad 20. (KITLV).

“SUNGGUH menyenangkan melihat sekelompok anak kecil, yang memegang alat musik berukuran besar, secara langsung dan lancar menampilkan permainan musik yang begitu hidup dan melakukan berbagai variasi yang sangat indah. Namun, ketika para prajurit cilik ini memegang senjata, kita harus mengakui bahwa resimen pengawal kerajaan sekalipun tak bisa menganggap remeh kemampuan mereka,” tulis Michael Theophile Hubert Perelaer, opsir Belanda yang juga seorang penulis, dalam Twaalf honderd palen door Midden-Java.

Perelaer melihat pemandangan itu ketika mengunjungi Benteng Cochius di sekitar Gombong bagian dari Keresidenan Bagelen pada abad ke-19. Anak-anak tersebut merupakan murid sekolah militer di kawasan benteng. Sebelumnya, sekolah itu berada di Kedung Kebo di Keresidenan Bagelen, Jawa Tengah. Namun, ketika hujan badai menghancurkan bangunan sekolah, mereka pindah ke Benteng Cochius pada 1854.

Menurut Ulbe Bosma dan Remco Raben dalam Being Dutch in the Indies: A History of Creolisation and Empire, 15001920, sekolah militer tersebut didirikan pada 1840-an. Inisiatornya seorang komandan Batalion Keempat yang ditempatkan di Purworejo sejak tahun 1836. Pembangunan sekolah ini menjadi salah satu upaya untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak Indo (keturunan campuran, ayah Eropa dan ibu penduduk lokal) yang hidup di tangsi.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Nasib Buruk Anak Nyai

Pada masa itu, pergundikan di barak-barak militer merupakan hal yang lazim. Kebiasaan ini karena para tentara tidak diizinkan membawa istri dari negara asalnya. Akibatnya, mereka berhubungan dengan pelacur yang rentan menyebarkan penyakit menular seksual. Fenomena ini mendorong sebuah alternatif untuk para tentara, yakni sejak tahun 1836 mereka diizinkan hidup bersama wanita pribumi.

Kendati memicu kontroversi dari sudut pandang moralitas Belanda, kehadiran perempuan di barak berpengaruh terhadap kebiasaan para prajurit dan mencegah prostitusi yang menyebarkan penyakit kelamin. Meski begitu, masalah lain muncul, yaitu anak-anak.

“Banyak prajurit yang tidak mau, atau terlalu miskin, untuk menafkahi anak-anak mereka. Para serdadu sering kali ingin kembali ke Belanda setelah masa tugasnya selesai. Dalam beberapa kasus, anak-anak itu diasuh oleh prajurit lain di garnisun, atau mereka akan diasuh oleh keluarga ibunya. Praktik yang terakhir ini menjadi duri dalam daging bagi pemerintah kolonial,” tulis Bosma dan Raben. Seperti halnya para pejabat di zaman VOC, pemerintah kolonial juga tak ingin anak-anak dari perkawinan campur dididik dan dibesarkan dalam lingkungan pribumi.

Ilustrasi murid-murid di sekolah militer di Gombong sekitar tahun 1898. (KITLV).

Gagasan memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak serdadu itu datang dari tokoh militer Belanda, Hubert Joseph Jean Lambert Ridder de Stuers. Menurut Pieter Johannes Veth dalam “Iets over de Opvoeding der Kinderen van Europesche Militairen in Nederlansch Indië”, termuat di Tijdschrift voor Nederlandsch Indië Volume 31, de Stuers mengirimkan sebuah memorandum kepada pemerintah Hindia pada 13 Maret 1835 mengenai rencana pertahanan Jawa.

Menurut de Stuers, dibanding membiarkan anak-anak Indo yang disebut Liplap itu dibesarkan dalam lingkungan pribumi, akan lebih baik bila mereka ditempatkan di bawah disiplin yang ketat dan diajarkan semangat militer sejak dini untuk menjadi prajurit tambahan bagi kepentingan pemerintah kolonial. Mantan Panglima Tertinggi Angkatan Darat Hindia itu menyarankan anak-anak serdadu tersebut dikumpulkan dan ditempatkan di sebuah sekolah yang didirikan di lingkungan yang murah dan sehat di Jawa. Di sana, mereka tak hanya diajarkan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga diberikan pengajaran dan latihan militer di bawah pengawasan ketat beberapa perwira yang baik.

Pada Agustus 1843, de Stuers menawarkan kepada menteri koloni sebuah memorandum yang panjang mengenai perekrutan tentara Hindia, yang di dalamnya ia menyingung tentang sekolah militer untuk anak-anak serdadu. Pada 23 September 1843, de Steurs kembali mengirimkan surat kepada pemerintah yang berisi usulan mengenai pembangunan sekolah militer di Jawa.

Baca juga: 

Kisah Taruna Sim, Nas, dan Alex

De Stuers menulis, mula-mula sekolah akan menerima anak-anak Eropa dan anak-anak dari perkawinan campur. Selama dua tahun pertama, jumlah murid tidak akan melebihi 200 orang. Selain anak-anak serdadu, murid di sekolah itu juga akan berasal dari panti asuhan dan anak-anak terlantar yang orang tuanya tidak diketahui. “Tidak ada anak di bawah usia 8 tahun dan di atas 14 tahun yang akan diterima terlebih dahulu; lebih diutamakan mereka yang telah direkomendasikan terlebih dahulu,” tulis de Steurs dikutip Pieter Johannes Veth.

Selain diajarkan membaca, menulis, berhitung, sejarah, dan latihan militer, para taruna cilik itu juga akan mendapat pelajaran keterampilan dan pendidikan agama. Diharapkan pada usia 16 hingga 18 tahun, mereka dapat bergabung dengan pasukan militer atau pegawai negeri jika mereka cakap. Nantinya mereka juga diwajibkan melayani negara melalui pekerjaan mereka sampai usia 28 tahun. Tak hanya itu, mereka juga akan dijamin untuk mendapatkan kenaikan pangkat yang sama dengan prajurit lainnya sesuai dengan kemampuan, keberanian, ketekunan, dan kesetiaan.

Soal keuangan, de Steurs menilai akan lebih baik bila sekolah itu dibiarkan beroperasi terlebih dahulu selama dua tahun. “Setelahnya kita akan melihat apakah lembaga tersebut menjanjikan sesuatu yang baik atau tidak,” tulisnya.

Setelah beberapa tahun berlalu, pemerintah kolonial akhirnya setuju dengan sekolah militer untuk anak-anak Indo dan Eropa. Militaire Pupillenschool atau Pupillenkorps didirikan pada 1847. Saat itu, ada 23 anak yang bersekolah di Kedung Kebo, dan jumlah mereka ditambah dengan semua anak laki-laki berusia antara tujuh hingga 14 tahun yang tinggal di panti asuhan di Semarang.

Sejumlah murid berfoto di ruang kelas sekolah militer di Gombong pada tahun 1906 (KITLV).

Para murid tidak langsung mendapatkan pendidikan militer. Menurut Bosma dan Raben, latihan militer baru diberikan ketika anak laki-laki mencapai usia 13 tahun. Seperti yang diusulkan de Steurs, anak-anak di sekolah itu tak hanya diajarkan membaca, menulis, berhitung, tetapi juga pelajaran senam, anggar hingga menggambar. “Anak-anak kelahiran Hindia Belanda memiliki bakat menggambar dan menyalin, sehingga sering ada pelajaran yang dikhususkan untuk mata pelajaran ini. Sekolah ini menghasilkan banyak juru gambar topografi,” tulis Bosma dan Raben.

Sekolah ini bagaikan sebuah dunia tersendiri. Dalam kesehariannya, anak-anak Pupillenkorps kerap menggunakan “pupil-speak” atau “bahasa murid”, yang merupakan variasi dari bahasa gaul tentara, atau bahasa Melayu Tangsi yang digunakan di barak militer. Di sisi lain, disiplin ketat yang tak jarang menggunakan kekerasan sulit ditanggung para murid, khususnya anak-anak yang usianya masih begitu muda. Akibatnya, banyak murid yang mencoba melarikan diri.

Baca juga: 

Kisah Taruna Indonesia dalam Angkatan Laut Belanda

Pada awal tahun 1879, 85 murid melarikan diri dari barak di Gombong. Ketika ditemukan, mereka mengatakan bahwa selama beberapa waktu mereka telah menyimpan uang saku untuk merencanakan pelarian ke kota pelabuhan, di mana mereka akan mendaftar sebagai anak buah kapal atau bergabung dengan tentara. Para “pembelot” ini dihukum dengan pekerjaan dan latihan serta dimasukkan ke dalam kurungan.

Sekolah militer untuk anak-anak serdadu ini menjadi sumber rekrutmen tentara kolonial Belanda. Kala itu menjadi hal umum serdadu yang akan meninggalkan Hindia Belanda mengirim putranya ke Gombong untuk sekolah di Pupillenkorps. Sejak tahun 1848 hingga akhir 1870, Pupillenkorps menerima 1.074 anak dan sebagian besar di antaranya langsung direkrut menjadi tentara, sementara 35 orang lainnya menjadi perajin; 96 masuk jurusan topografi; dan 34 orang menjadi musisi tentara.

Dalam buku Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI disebutkan bahwa sekolah ini berlangsung hingga tahun 1912. Puluhan tahun beroperasi, Pupillenkorps telah mendidik anak-anak ke arah fungsi teknis militer praktis dan dilatih di bengkel-bengkel senjata agar mereka menguasai masalah persenjataan.*

TAG

akademi militer militer

ARTIKEL TERKAIT

Sihir Api Petir dari Meriam Majapahit Sejarah Prajurit Ada Rolls-Royce di Medan Laga Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Para Pejuang Bugis-Makassar dalam Serangan Umum Jenderal dari Keraton Murid Westerling Tumbang di Jogja Jenderal Orba Rasa Korea Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz Soeyono Apes Setelah Kudatuli