Sebagai anak raja Barru, yang terletak di Kabupaten Barru dekat Parepare, Sulawesi Selatan, dia bisa mendapat pendidikan yang baik di zaman Hindia Belanda. Dia belajar di MULO dan Mosvia Makassar.
Dari tempat pendidikan itu pula sejak muda dirinya dekat dengan pergerakan nasional. Dia kenal Paiso, tokoh pergerakan yang sampai dibuang ke Digul, dan mantunya yang bernama Manai Sophiaan.
Sejak 1945 dia sudah mendukung kemerdekaan Indonesia. Hal itulah yang mendorong dirinya berangkat ke Jawa pada akhir 1945.
Di Jawa, dirinya bertemu Kahar Muzakkar, yang pernah belajar di sekolah Muhamadiyah di Solo, dan menjadi dekat. Mereka bersiap membangun Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di Sulawesi, kendati sebelumnya sudah ada orang-orang Sulawesi di beberapa kelaskaran seperti Kesatuan Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang lambangnya keris senjata khas bangsawan Bugis.
Upaya mereka dimulai dengan membangun pasukan yang berasal dari pemuda-pemuda asal Sulawesi Selatan. Mereka melatih sendiri pasukan itu. Berhubung dia cakap dalam berolahraga, dia ikut melatih olaharaga pasukannya. Pasukan yang dibangun itu kemudian dikirim secara bergelombang ke Sulawesi dengan perahu-perahu layar rakyat. Mereka sering dianggap Tentara Rakyat Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS).
Ketika mereka berada di Yogyakarta, Andi Mattalata, si anak raja Barru tadi, terpikir untuk mendirikan Resimen Hasanuddin guna mendukung pengiriman pasukan ke Sulawesi. Pikiran itu lalu diupayakan dan berhasil terwujud sebagai Resimen Hasanuddin. Setelah terbentuk, komandan resimen adalah Kahar Muzakkar, kepala stafnya Muhammad Salah Lahade dan Mattalata menjadi wakil komandan resimen. Ketika Kahar mundur, Mattalata pun ditunjuk memimpin Resimen Hasanuddin.
Kahar merupakan anak pedagang Palopo, Luwu, Sulawesi Selatan, yang pernah belajar di sekolah Muhamadiyah di Jawa Tengah. Kahar tidak cocok dengan para bangsawan Luwu di zaman Jepang. Perantauannya di Jawa membuatnya termasuk tokoh penting Sulawesi di Yogyakarta dan sekitarnya. Kedudukan itu membuatnya lebih mudah bergerak ketika terjun ke dalam gerakan nasionalisme Indonesia.
Begitu Perang Kemerdekaan pecah, Kahar terjun langsung membela proklamasi yang dibacakan Sukarno-Hatta. Menurut Barbara Sillar Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi Ke DI/TII, Kahar pernah menjadi bagian dari Penyelidik Militer Chusus (PMC) yang dipimpin Kolonel Zulkifli Lubis sebelum memimpin TRIPS.
Kahar pernah merekrut bekas narapidana dari Nusakambangan asal Sulawesi. Para rekrutan itu kemudian dilatih dasar-dasar kemiliteran.
“Saya diminta Kahar ikut melatih para bekas tahanan itu di Jawa Timur. Mereka kan semangatnya sudah hebat, tinggal kita latih tekniknya,” kenang Maulwi Saelan kepada Historia.
Setelah dianggap cukup, para rekrutan itu lalu dipersenjatai. Mereka disatukan dalam satu wadah: Batalyon Kemajuan Indonesia (BKI).
Pada awal 1948, Rekonstruksi & Rasionalisasi (RERA) dilakukan di dinas ketentaraan. Badan perjuangan/laskar-laskar seberang seperti Resimen Pattimura, Resimen Ngurah Rai, Resimen Tjilik Riwut dan juga Resimen Hasanuddin akhirnya formatnya diubah menjadi batalyon. Kesemuanya disatukan dalam Brigade Seberang dengan Mattalata sebagai komandannya. April 1948 diadakan lagi RERA.
“Bekas Brigade Seberang menjadi Brigade II-X, dengan saya tetap menjadi komandannya,” aku Mattalata dalam memoarnya, Meniti Siri dan Harga Diri.
Lagi-lagi RERA diadakan pada September 1948. Brigade yang dipimpin Mattalata direorganisasi menjadi Batalyon B di dalam Brigade 16. Mula-mula brigade ini dipimpin Adolf Lembong. Setelah Lembong didongkel Kahar, maka Joop Warouw naik menjadi komandan Brigade 16. Brigade itu lalu tercerai-berai pada 19 Desember 1948 karena tentara Belanda menyeburu dan menduduki Yogyakarta.
Pada Februari 1949, pasukan Mattalata berada di sekitar Godean setelah sebelumnya berada di Sayegan. Mattalata memimpin bekas Resimen Hasanuddin.
“20 Februari 1949 pukul 13.00, saya menerima pemberitahuan dari Mayor HNV Sumual,” kata Mattalata. “Supaya siap-siap untuk masuk menduduki kota Yogya bersama dengan seluruh pasukan yang berada dalam Wehrkreise Yogyakarta.”
Pasukan yang dipimpin Mattalata kemudian diorganisir menjadi regu-regu tempur yang dipimpin Kapten Eddy Sabhara, Letnan Kaso Mas’ud, Kapten Hasan Daeng Marala, Kapten Maulana, Letnan Samsudin dan lain-lain. Pasukan Mattalata kemudian ikut menyerbu kota dari sektor barat yang dipimpin Mayor Sumual.
“Di sebelah utara mulai dari Stasiun Tugu sampai Pingit akan diserang oleh Pasukan Sumual/Kahar Muzakkar/Batalyon Andi Mattalata,” aku Abdul Latif, yang kelak menjadi komandan Brigif I/Jaya Sakti dan terlibat dalam G30S, dalam catatan yang tak diterbitkan “Riwayat Hidup Singkat dalam Usaha Merebut Kemerdekaan dari Tangan Penjajah serta Pengabdian terhadap Negara, Bangsa dan Tanah Air Indonesia” (1993).
Mattalata bersama Kahar bisa keluar-masuk kota di hari-hari serangan. Benny Matindas dan Bert Supit dalam Ventje Sumual Menatap Hanya Ke Depan menyebut Mattalata dan Kahar bahkan sempat bermalam di dalam kota.
Kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949 berhasil diserang dan dikuasai selama 6 jam oleh pasukan TNI, dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949. Para pejuang dari Sulawesi Selatan terlibat pula di dalamnya.
Setelah serangan umum itu, Kahar dan Mattalata kembali ke Sulawesi Selatan. Keduanya menjadi perwira militer yang berpengaruh di sana pada era 1950-an. Namun Kahar kemudian berbeda paham dengan pemerintah pusat dan memberontak. Kahar dikenal sebagai pemimpin DI/TII Sulawesi Selatan. Sedangkan Mattalata konsisten di Angkatan Darat hingga menjadi panglima KODAM Hasanuddin pertama. Mattalata pensiun dengan pangkat mayor jenderal.