Kedatangan pasukan Depot Speciale Troepen (DST) di bawah Kapten Raymond Paul Pierre Westerling menjadikan Sulawesi Selatan sebagai ladang pembantaian setelah Desember 1946. Ribuan penduduk terbunuh dan ketakutan.
Setelah kepergian Pembantu Letnan Jan Baptist Vermeulen dan Westerling ke Jawa di awal 1947, aksi pembersihan cum teror di Sulawesi Selatan tetap berlanjut. Masih ada Kapten Berthold Eduard Rijborz di sana.
Berthold yang berasal dari keluarga tentara yang dekat dengan raja Susuhunan Surakarta itu adalah anak dari Albert Rijborz. Sejak muda, ayah Kapten Berthold Rijborz adalah tentara. Koran Bataviaasch Nieuwsblad edisi 11 Februari 1938 menyebut Albert keturunan Prusia Jerman yang lahir pada 22 Maret 1863 di Eilesia Atas.
Albert mulanya bekerja sebagai penjaga hutan. Pada 2 Desember 1887, dia menandatangani kontrak masuk tentara kolonial Belanda Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Dia tiba di Hindia-Belanda pada 11 Februari 1888. Dua bulan kemudian sebagai prajurit kavaleri berkuda dengan pangkat Dragoonder Tweede Klaas dia tiba di Surakarta.
Baca juga: Panglima Tentara Belanda dari Surakarta (Bagian I)
Karier Albert cukup baik di Surakarta. Setelah naik pangkat menjadi kopral pada 1891, dia diangkat menjadi Magazijn Meester yang mengurusi gudang senjata di Surakarta tahun 1894. Dia bekerja di bawah Susuhunan Surakarta, penguasa feodal Surakarta. Pada 1934, pangkat Albert naik jadi kapten.
Ketika di Surakarta itu, Albert memperoleh anak laki-laki pada November 1904 dari perkawinannya dengan Dorothea Georgina Wilhelmina Wardenaar. Ia namakan putranya Berthold Eduard Rijborz. Anak ini, menurut MR van der Bent dalam Van Rij en Stam, masuk dinas militer sejak Juli 1921.
Baca juga: Panglima Tentara Belanda dari Surakarta (Bagian II–Habis)
Bertold kemudian masuk Akademi Militer Breda. Koran De Locomotief, 09 Juli 1930, menyebut dia lulus sebagai letnan dua pada 1930. Bertugas di KNIL, dia pernah menjadi komandan satuan antigerilya Korps Marsose di Padang sekitar 1937.
Ketika Tentara Jepang mendarat di Jawa, Berthold yang sudah berpangkat kapten KNIL ditangkap. Kartu tawanan perang Jepang atas nama dirinya yang terhimpun di Arsip Nasional Belanda menyebut, dia tertangkap sebagai komandan kompi ke-4 batalyon infanteri ke-4 di Cimahi. Selain di Sukarata dia pernah ditahan di Siam (Thailand).
Baca juga: Romusha di Seberang Lautan
Setelah bebas dari kamp tawanan perang Jepang, Berthold diaktifkan kembali sebagai kapten KNIL. Pada 20 Maret 1946, dia tiba di Jakarta dan bulan berikutnya ditugaskan ke Paré-Paré, Sulawesi Selatan. Dia memegang komando sebuah kompi bekas tawanan perang yang sangat tidak disiplin. Dalam sebulan, pasukan itu menjadi pasukan yang disiplin. Pasukan itu berada dalam sebuah batalyon infanteri KNIL di Makassar.
Seperti serdadu Belanda lain di Sulawesi Selatan, Berthold diperbantukan dalam kampanye pasifikasi ala Westerling. Pasukan Berthold tentu menjadi pendukung operasi pembersihan yang berujung pada pembantaian orang-orang sipil di Sulawesi Selatan.
Baca juga: Keluarga Korban Westerling Menangkan Gugatan
Kapten Berthold, seperti dicatat Maarten Hidskes dalam Di Belanda tak Seorang pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947, tak hanya memberi perintah kepada bawahan. Dia turun langsung menembaki orang-orang yang dicurigai sebagai pendukung Republik Indonesia. Dia menembak tanpa terlebih dahulu menyiksa orang yang dieksekusinya. Reputasi itu membuat Kapten Berthold dianggap atasannya sebagai perwira yang sangat baik, bertanggung jawab, rajin, dan tegas.
Setelah 1950, ketika perang antara Belanda dan Indonesia sudah berakhir, Berthold tidak pulang ke tanah kelahirannya, Solo. Dia memilih tinggal di negeri Belanda dan menjadi guru matematika di sekolah menengah untuk perempuan. Depresi pasca-perangnya dia atasi dengan berpesta.
Baca juga: Kisah Perburuan Kapten Westerling
“Di awal tahun lima puluhan Berthold Rijborz mengendarai mobil sport di kota Den Haag. Di kalangan orang Indo Belanda kedatangannya di pesta-pesta ulang tahun sangat disukai,” catat Hidkes.