Suatu hari di tahun 1981, mobil yang ditumpangi Menhankam?Panglima ABRI Jenderal M Jusuf melintasi perempatan Jalan Agus Salim dan Jalan Kebon Sirih, Jakarta. Mobil itu berhenti kena lampu merah.
Dari dalam, Jenderal Jusuf melihat mobil lain yang juga sedang berhenti di sebelahnya. Pintu kanan belakang mobil itu terbuka sehingga Jenderal Jusuf mengetuk kaca mobil yang dilihatnya itu. Sopir mobil itu tahu siapa yang mengetuk pintu kaca mobil yang dikendarainya. Orang di dalam mobil yang diketuk panglima itu pun membuka pintunya.
“Frans serahkan mi itu senjata-senjatamu ke KODAM,” kata Jenderal Jusuf dalam dialek Bugis.
“Itu senjata saya beli dengan uangku sendiri, bukan uang negara,” jawab lawan bicaranya.
“Untuk apa disimpan di rumah? Serahkan saja!”
“Nanti kalau ada pemberontakan lagi bagaimana?”
“Tidak ada mi itu. Tidak kayak zaman kita dulu.”
Setelah lampu merah berganti menjadi hijau, kedua mobil itu berpisah. Mobil Jenderal Jusuf belok kiri, sementara mobil Frans belok kanan menuju PT Jakaever International yang berkantor di Wisma Antara.
Begitulah pembicaraan singkat di lampu merah antara dua veteran Perang Kemerdekaan itu seperti dicatat Sili Suli dalam Komandan Frans Karangan Dalam Gejolak Sejarah. Frans dalam percakapan adalah Brigadir Jenderal Mesach Frans Karangan, yang saat itu menjadi Asisten Pribadi (Aspri) Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Frans usianya sekitar setahun lebih tua dari Jusuf. Mereka sama-sama pernah berjuang di masa revolusi. Sama-sama di sekitar Sulawesi Selatan awalnya, namun kemudian Jusuf sampai ke Jawa.
Setelah perang berakhir, di era 1950-an, keduanya bertugas di Sulawesi Selatan. Frans pernah jadi komandan kompi di Tana Toraja sebelum digeser ke Palu membentuk sebuah batalyon. Belakangan, batalyon itu dikenal sebagai Batalyon Infanteri 700. Sementara itu, Jusuf sempat sekolah di Amerika dan kemudian jadi panglima KODAM Hasanuddin.
Senjata yang dimiliki Frans yang diobrolkan keduanya di lampu merah Kebon Sirih itu, menurut catatan Sili Suli, jumlahnya mencapai 300 pucuk dari berbagai jenis. Senjata itu tersimpan di rumah Frans di Jalan Sungai Tangka. Senjata-senjata yang dibeli Frans dari uang pribadi itu dibeli ketika Frans bertugas di Palu.
“Saat di Palu, Frans Karangan dianggap sebagai seorang kaya raya dan banyak uang karena terlibat dalam kegiatan penyelundupan kopra ke Tawao. Sebaliknya, dari Tawao banyak barang-barang buatan Inggris yang diselundupkan ke Palu,” catat Sili Suli.
Menurut Barbara Sillar Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII, Frans ditempatkan di Palu setelah perseteruan dengan Andi Sose di Tana Toraja pada 1953.
Ketika ada berita Andi Sose yang jadi Kepala Staf RI-23 dan menempatkan batalyon 717 pada 1958, Frans Karangan bertindak. Frans mengirimkan 30 anak buahnya di Palu cuti ke Toraja lewat Makassar dan satu kompi lalu dikirim diam-diam dengan berjalan kaki melintasi perbatasan Sulawesi Tengah-Sulawesi Selatan.
Frans menyimpan senjata-senjata itu untuk berbagai kemungkinan, termasuk berjaga jika ada gangguan di kampung halamannya, Tana Toraja, yang pada era 1950-an-1960-an diganggu oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar. Setelah Kahar Muzakkar tertangkap pun, bahaya pengaruh Kahar Muzakkar masih ada. Sebab, Toraja terletak dekat dengan daerah-daerah di sekitar Gunung Latumojong yang menjadi basis Kahar.
“Bahkan, gerombolan memperluas daerah operasinya ke Soppeng, di sekitar Parepare, Bone, Gowa, Jeneponto sampai ke Bonthian. Daerah ini sejak lama telah menjadi basis DI/TII. Tidak mengherankan kalau di daerah sekitar Gunung Latimojong masih banyak terdapat para pendukung Kahar Muzakkar. Hal itu disebabkan Kahar Muzakkar yang menamakan dirinya Presiden/Khalifah Negara Republik Persatuan Islam Indonesia, ialah putra petani yang berkecukupan dan tergolong aristokrat rendah, lahir di desa Lanipa, dekat Palopo di Kabupaten Luwu, pada ujung tenggara Gunung Latimojong. Ia masih mempunyai banyak simpatisan,” tulis Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Frans akhirnya insyaf dengan kondisi keamanan dan berkembangnya perekonomian Sulawesi Selatan yang cenderung membaik setelah Kahar Muzakkar ditangkap. Ke-300 puncuk senjata milik Frans itu akhirnya diserahkannya ke KODAM Hasanuddin. Setelah senjata itu, diserahkan pemberontakan besar tak pernah terjadi lagi di Sulawesi Selatan. Ketika Frans tutup usia pada 23 Juni 1994, keadaan di tanah kelahirannya sudah aman.