Masuk Daftar
My Getplus

Orang Toraja dan Luwu Melawan Belanda

Ping Simpi dan La Batjo melawan pemerintah kolonial hingga kehilangan jabatan dan dibuang.

Oleh: Petrik Matanasi | 10 Jun 2024
Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tempat Pong Simpi memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial pada 1915. (Ansenpov/Shutterstock).

SETELAH Pong Tiku dihabisi di tepi Sungai Saddang pada bulan Juni 1907, masih ada orang Toraja yang melawan Belanda. Pada 1915, orang-orang Toraja di bawah pimpinan Pong Simpi melawan Belanda lagi. Pong Simpi disebut Koloniaal Verslag van 1916 I Nederlandsch Oost Indie sebagai pemimpin komplotan atau pemimpin geng.

Mendapati kondisi tersebut, patroli militer tentara Hindia Belanda Koninklijk Nederlandsch Indisch Lager (KNIL) beserta polisi bersenjata, yang dipimpin seorang sersan Eropa, lalu bergerak dari Palopo mengejar mereka. Para polisi itu berhasil menemukan anggota kelompok Pong Simpi awal Mei 1915 dan langsung menembaki. Pong Simpi berhasil lolos.

Tak hanya Pong Simpi, Pong Timbang dan Pong Toddoe juga ikut melawan pemerintah kolonial. Api perlawanan itu sudah mencapai daerah Laromping dan Suli pada bulan Juni 1915.

Advertising
Advertising

Perlawanan keras itu tentu dilawan dengan keras pula oleh pasukan bersenjata modern Belanda. Akibatnya, 15 orang dari orang-orang yang melawan itu kemudian terbunuh sedangkan beberapa yang lain menyerah.

Baca juga: Batalyon Jawa yang Merepotkan Tuan Tanah di Toraja

Pada tahun itu, perlawanan tak hanya terjadi di sekitar Toraja tapi juga di Mandar, Kendari, dan juga Luwu di mana ada kelompok Haji Hasan. Di Kendari, pemimpin perlawanan Poeloenooi berhasil ditangkap patroli kolonial, tulis koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 10 Desember 1915. Koran tersebut juga memberitakan Puang Sela di Mandar telah menjarah senjata dan melawan di Bonto Sika.

“Ketua geng Poea Sela dan dua pengikut utamanya menetapkan; menjarah 3 pucuk senapan dan mesiu serta 2 karabin beumont beserta amunisi dan perlengkapan polisi bersenjata yang hilang,” demikian Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10 Desember 1915, memberitakan.

Pada akhir tahun itu juga, Pong Simpi dikabarkan terluka oleh aparat bersenjata. Sementara itu 6 laki-laki, 8 perempuan dan 1 anak pengikut Pong Simpi ditangkap dan 2 laki-laki dibunuh.

“Dari Palopo dilaporkan Pong Simpi yang terluka akibat patroli penduduk, melarikan diri bersama gerombolannya dan meninggalkan satu orang tewas,” kata koran tersebut.

Baca juga: Orang Wana Melawan Belanda

Kendati berhasil melarikan diri, Pong Simpi akhirnya ditangkap. Koran Bataviaasch nieuwsblad (16 Desember 1915) memuat pengumuman gubernur Sulawesi bahwa pada 14 Desember 1915 Pong Simpi berhasil ditahan pihak Belanda. Salah satu pasukan yang menangkapnya adalah yang dipimpin putra bupati, Ranteballa alias Palallo.

“Sikap ambisius pemuda tersebut di sekolah Palopo menarik perhatian asisten residen, yang memintanya untuk membantu memadamkan Pemberontakan Pong Simpi yang mengganggu pada 1915. Atas usahanya menangkap Pong Simpi, Palallo, begitu ia disapa, mendapat penghargaan Silver Star of Service dan hadiah menarik sebesar 800 gulden serta surat pujian dari gubernur jenderal,” tulis Terance William Bigalke dalam Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People.

Opu Patunru (perdana menteri) Kedatuan Luwu, sebuah kerajaan tua yang sangat dihormati di Sulawesi Selatan, kemudian dianggap terlibat dengan gerakan perlawanan seperti Pong Simpi. Perdana menteri itu bernama La Batjo To Sapila alias Andi Baso Lampulle alias Opu Tosappaile. Pemerintah kolonial menganggapnya sebagai otak perlawanan-perlawanan di sekitar Luwu dan Toraja.

Baca juga: Yang Mati yang Bercerita di Toraja

La Batjo adalah salah satu anggota Hadat (Dewan Adat) di Luwu. La Batjo adalah suami dari Andi Kambo alias Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daéng Risompa Sultan Zaenab, yang sedang menjadi raja Luwu. Dia berkuasa dari 1901 hingga 1935. De Sumatra Post tanggal 13 April 1933 menyebut ratu kelahiran 1878 itu tak bisa berbuat apa-apa ketika La Batjo dihukum oleh pemerintah kolonial. Bahkan mau tak mau La Batjo harus bercerai dengan istrinya.

Dalam Sulawesi dan Pahlawan-Pahlawannya: Sejarah Perjuangan Kemerdekaan, Lahadjdji Patang menyebut bahwa La Batjo To Sapila dan Pong Simpi lalu dibuang ke Jawa. Banyak dari mereka yang melawan itu juga dibuang ke sana. Ada yang kembali tapi ada yang tutup usia di Jawa.

Di Jawa, La Batjo yang jauh dari istri lalu menikah lagi. Dia akhirnya punya keturunan lagi di tanah buangan.

Meski bukan pahlawan nasional, La Batjo diabadikan namanya sebagai nama jalan di Kecamatan Wara, Kota Palopo, yang tidak jauh dari pusat Kedatuan Luwu dan tempatnya melawan Belanda. Sementara, Pong Simpi diingat sebagai Pong Simpi dan menjadi nama jalan di daerah Palopo juga.*

TAG

toraja

ARTIKEL TERKAIT

Dapat Cuti Malah Perang di Kampung Batalyon Jawa yang Merepotkan Tuan Tanah di Toraja Oposan Sepanjang Zaman Suka Duka Pasukan Perdamaian Indonesia di Gaza Orang Wana Melawan Belanda Pratu Misdi, Pasukan Perdamaian Indonesia yang Gugur di Gaza Pasukan Perdamaian Indonesia di Gaza Perdamaian Maludin Simbolon dan Djamin Gintings Menjaring Soumokil Cerita Orang Biasa dalam Perang Kemerdekaan