Masuk Daftar
My Getplus

Yang Mati Yang Bercerita

Bagi orang Tana Toraja, seperti larik puisi Subagio Sastrowardoyo, kematian makin akrab karena ada tradisi yang hidup turun-temurun. 

Oleh: Eko Rusdianto | 05 Apr 2010

DI desa Bulu Langkan, Kabupaten Tana Toraja –pada 2009 mekar menjadi Kabupaten Toraja Utara– penduduk bicara tentang kematian, seakan-akan begitu akrab. Di sana tak ada pemisahan, orang mati diperlakukan sebagai moyang yang harus dijaga terus-menerus dan kelak akan bercerita tentang silsilah keluarganya.

Tempat itu begitu sejuk. Dingin dengan pohon-pohon kecil. Entah di mana pohon-pohon besar yang seharusnya menghuni pegunungan; semua menjadi hamparan sawah. Tak ada yang tahu kapan itu bermula. Namun penduduk setempat meyakini, dengan menggarap perbukitan yang curam dan menanaminya padi cukup menjadi bukti keuletan masyarakat Toraja.

Ketika mengunjungi daerah itu saya menyaksikan sebuah ritual sakral. Namanya ma′nene. Semua jenazah yang berumur puluhan hingga ratusan tahun dikeluarkan dari sebuah liang batu dan patane (kuburan modern yang terbuat dari dinding beton) untuk dijemur. Seluruh keluarga yang hadir ikut bersorak melihat keadaan jenazah, dari sanak famili, ayah, nenek, kakek, dan moyang. Satu per satu dijemur.

Advertising
Advertising

Orang-orang yang hidup menghampiri setiap jenazah. Mereka membelainya dengan lembut, merapikan pakaiannya yang terbungkus tebal dari bahan kasur kapok. Orang Toraja memanggil ibunya dengan kata indo, sementara ayah adalah ambe. Seorang perempuan muda duduk meraung di samping peti jenazah: “Indo kilalai kan dikka, oh indo.” Ibu ingatlah kami. Setelah itu dia pindah, “Ambe, oh ambe... matetonganmi dikka. Jagaikan ambe...” Bapak, tolong jaga kami.

Jenazah-jenazah itu tak perduli. Hanya terbaring dengan tubuh yang berdebu, usang dan jelek. Kulitnya yang kering seperti terbuat dari bahan plastik ketika dipegang, berlobang kecil karena digrogoti rayap. Tak sedikit pun bau yang keluar. Hanya apek dari balutan pakaian yang dikenakannya.

Ambe Lambaa meninggal usia 70 tahun pada 1980-an. Tingginya sekitar 165 cm. Ketika dikeluarkan dari dalam peti matinya yang cukup mahal dan berbentuk bulat, orang-orang tenganga heran. Ambe Lambaa kelihatan sempurna. Sekalipun mata, daun telinga, dan hidungnya sudah tak ada. “Oe gagahnya,” kata beberapa orang yang menyaksikannya. Di Toraja orang baik dan sabar akan abadi seperti Lambaa. Tuhan dan dewa-dewa melindungi mereka.

Semasa hidup Ambe Lambaa cukup dihormati. Dia adalah keluarga yang memiliki tatanan sosial tinggi. Peti jenazah yang digunakannya berbentuk bulat dengan ukiran. Untuk membentuk peti jenazah seperti itu memerlukan biaya cukup besar. Di Toraja sekali pesta baik kehidupan dan kematian akan menghabiskan ratusan juta rupiah. Untuk sebuah pesta kematian menggunakan peti bulat dan ukiran-ukiran yang rumit biasanya mencapai Rp 20 juta. Sementara untuk membuat arak-arakkan jenazah dari tongkonan khas kematian diperkirakan mencapai Rp 2 milyar.

Berabad-abad sebelumnya, ketika praktik pengawetan jenazah ini dijalankan, tak ada yang tahu persis kenapa dan kapan diawalinya. Yang jelas, sebelum agama Kristen memasuki Tana Toraja kali pertama sekitar 1913, orang Toraja memeluk kepercayaan aluk todolo atau kepercayaan kepada leluhur dan alam. Pada awalnya jenazah-jenazah itu dibaringkan dalam sebuah gua batu, kemudian diletakkan pada sebuah batu. Jenazah tersebut tak membusuk, malah mengering.

Hingga suatu ketika pengawetan jenazah dilakukan dengan menggunakan ramuan, menggunakan daun vinus, minyak tanah, batang tille –tumbuhan yang menyerupai batang tebu tapi lebih kecil dan tak dimakan–, daun teh, dan garam. Bahan-bahan tersebut dicampurkan lalu dihaluskan dan dituangkan ke dalam mulut jenazah. Sisanya dioleskan pada kulit. Dan alam membantu pengawetan dan pengeringan jenazah dengan baik.

Memasuki tahun 1990, pengawetan jenazah dilakukan lebih sederhana, yaitu menyuntikkan bahan kimia atau lebih dikenal dengan nama formalin. Hasilnya puluhan jenazah tak seawet leluhur mereka puluhan dan ratusan tahun lalu. Di salah satu patane′, sebuah peti kecil dibuka. Bungkusan kecil yang usang dengan kain rombeng mirip kepompong dibuka. Seorang gadis kecil berusia 10 tahun telentang. Selimut bermotif bunga kecil menutupi tubuhnya. Wajahnya sudah tak jelas lagi. Tak ada rambut. Tulang hidung kecil. Jari kaki imut-imut. Dia meninggal tiga tahun lalu. Namun kondisi jenazahnya sudah tak karuan. Tulang-tulangnya sudah mulai hancur, efek dari penggunaan bahan kimia. “Itu anakku. Meninggal sakit, tapi selalu seperti hidup,” kata seorang lelaki.

Pengawetan jenazah di Toraja adalah sesuatu yang fenomenal. Beberapa daerah di Indonesia memiliki adat serupa, tapi Toraja lebih dominan dan lebih dulu dikenal. Di Toraja, hubungan antara orang hidup dan orang mati adalah sakral dan sangat erat. Mereka tahu, makin tua kehidupan modern makin mengungkung adat. Tapi sebagian dari mereka ingin di awetkan bila mati; ingin anak-cucu mereka melihat dan mengenang leluhur, seperti apa yang mereka lakukan saat ini.

Tana Toraja sarat dengan adat istiadat memukau. Luasnya sekitar 3.205,77 km persegi dan sebagian besar daerahnya adalah pegunungan. Populasi penduduknya diperkirakan 600.000 jiwa. Untuk mengunjunginya butuh waktu sekitar enam jam dari Makassar dengan menggunakan bus. Ongkosnya Rp 95 ribu. Pemandangan sepanjang jalan cukup ciamik. Gunung-gunung batu menjulang seperti menara di sebuah kota besar, berkabut dan lembab. 

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Momentum Zulkifli Lubis Kyai Modjo Sahabat Pendeta Riedel Antara Lenin dan Stalin (Bagian II – Habis) Penyebar Kristen di Kampung Ibu Prabowo Umat Advent Hari Ketujuh, Penanti Kedatangan Yesus Kedua Kali Jenderal-Jenderal dari SMP Tarutung Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama