Tanda pagar (tagar) “Perang Dunia Ketiga (PD III)” tengah meramaikan jagat maya beberapa hari belakangan. Beberapa meme bertema sama juga mencuat di sana-sini meski belum menghapus kecemasan akan “alarm” Perang Dunia Ketiga yang bukan isapan jempol belaka. Banyak pengamat militer dan politik, bahkan sejumlah pemimpin dunia, mengkhawatirkan potensi itu selepas serangan drone Amerika Serikat yang menewaskan petinggi militer Iran paling dihormati, Jenderal Qassem Soleimani, di Baghdad, 3 Januari 2020.
Pasalnya, sehari berselang Iran mengibarkan bendera merah sebagai simbol perhitungan. Baik pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei maupun Presiden Iran Hasan Rouhani, sama-sama menjanjikan pembalasan militer, bukan solusi diplomatis. Gawatnya, Presiden Amerika Donald Trump membalas ancaman itu dengan mengatakan, jika Iran bikin perhitungan secara militer, ia bakal hantam balik 52 lokasi penting Iran.
Apakah ini bakal jadi pemicu PD III? Atau mungkin PD III malah bakal bermula di Laut Cina Selatan, mengingat situasi di wilayah laut yang dipersengketakan ini juga memanas beberapa tahun belakangan, dengan yang terbaru sengketa RI-RRC di Natuna?
Baca juga: Apa Arti Pengibaran Bendera Merah Iran?
Dalam sejarah, potensi pemicu Perang Dunia Ketiga bukan terjadi kali ini saja. Sejak Perang Korea (1950-1953) isu itu terus-menerus muncul menyusul benturan kepentingan di penjuru bumi. Pada 1949, ilmuwan Albert Einstein pernah memperingatkan bahwa jika Perang Dunia Ketiga terjadi, kehidupan umat manusia di muka bumi bakal kembali ke zaman batu mengingat dampak kehancuran yang ditimbulkan oleh senjata nuklir.
“Saya tidak tahu dengan senjata apa nantinya Perang Dunia III akan dilancarkan, namun Perang Dunia IV akan dilakukan dengan tongkat kayu dan batu,” ujarnya, dikutip Alice Calaprice dalam The New Quotable Einstein.
Berikut empat peristiwa yang nyaris membuka Perang Dunia Ketiga:
Krisis Misil Kuba
Di tengah panasnya situasi saling ancam misil nuklir di Krisis Misil Kuba (16-28 Oktober 1962), Soviet mengirim kapal selam B-59 yang bersenjatakan torpedo berhulu ledak nuklir ke Teluk Marie untuk membangun pangkalan maritim. Namun, kapal selam itu dicegat satu armada AL Amerika yang terdiri dari satu kapal induk USS Randolph dan 11 kapal perusak saat masih di Laut Karibia yang merupakan perairan internasional, 27 Oktober 1962. Tebaran depth charge (bom-dalam) oleh armada AS memaksa B-59 naik ke permukaan.
Kapten B-59 Valentin Savitsky yang merasa terprovokasi mengajukan izin melepas torpedo nuklir mereka. Khusus untuk B-59 yang membawa torpedo nuklir, kebijakan AL Soviet menetapkan bahwa izin tersebut baru diberi lampu hijau setelah disetujui tiga komandan di dalam kapal. Selain Savitsky, komandan di B-59 ada Ivan Maslennikov (perwira politik) dan Komodor Vasily Arkhipov (perwira penghubung armada).
Baca juga: Enam Tragedi Kapal Selam Rusia
Arkhipov, satu-satunya yang menentang peluncuran torpedo nuklir, akhirnya memenangkan diskusi tiga komandan B-59. Selain enggan memulai Perang Dunia Ketiga, dia juga berargumen bahwa kondisi baterai B-59 mulai menipis dan mesin pendingin udaranya rusak akibat guncangan ledakan depth-charge. Arkhipov menyelamatkan Amerika dan Soviet dari perang dahsyat setelah Savitsky dan Maslennikov menyetujui keputusan B-59 naik ke permukaan.
“Pelajaran dari kejadian ini adalah, seorang perwira Vasily Arkhipov menyelamatkan dunia,” kata Thomas Blanton, direktur arsip keamanan nasional AS, kepada Marion Lloyd, jurnalis suratkabar The Boston Globe, 13 Oktober 2002.
“Insiden itu tidak hanya momen paling berbahaya dalam Perang Dingin, namun juga momen paling berbahaya dalam sejarah umat manusia,” ujar Arthur M. Schlesinger Jr., penasihat Presiden Kennedy.
Perang India-Pakistan
Bulan Desember baru saja memasuki hari ketiga pada 1971 ketika 11 pangkalan udara (lanud) AU India diserang Pakistan. Serangan yang memulai Perang India-Pakistan yang bergulir hingga 13 hari berikutnya itu merupakan dampak dari Perang Kemerdekaan Pakistan Timur (kini Bangladesh). Skala konfrontasinya makin gendut lantaran India dibekingi Soviet, yang terikat Pakta Persahabatan dan Kerjasama India-Soviet pada Agustus 1971, dan Pakistan disokong Amerika, yang sama-sama tergabung dalam CENTO (Central Treaty Organization).
Meski mulanya Soviet dan Amerika hanya memberi dukungan moril dan senjata, eskalasi keterlibatan keduanya meningkat sejak posisi Pakistan di Pakistan Timur mulai melemah dan Pakistan di barat mulai terancam invasi besar India. Presiden Amerika Richard Nixon mengirim Gugus Tugas 74 dari Armada ketujuh AL ke Teluk Benggala pada awal Desember dan dibantu sekutunya, Inggris, yang mengirim kapal induk HMS Eagle.
Soviet merespon dengan mengirim dua grup kapal perusak dan dua grup kapal penjelajah ke Samudera Hindia. Situasi itu membuat Amerika dan Soviet bisa benar-benar terlibat pertempuran langsung dan berpotensi memicu Perang Dunia Ketiga. Masing-masing pasukan dari kedua blok itu tinggal menunggu perintah dari pemimpin tertinggi.
Baca juga: Alasan Indonesia Mendukung Pakistan daripada India
Meski begitu, Nixon berinisiatif mengontak pemimpin tertinggi Soviet Leonid Brezhnev pada 10 Desember via hotline, jaringan komunikasi khusus yang dibangun sejak Krisis Misil Kuba 1962.
“Anda harus menahan agresi India sebisa Anda, di mana Anda punya pengaruh besar karena jika tidak, tindakan-tindakan yang terjadi selanjutnya juga harus Anda tanggung,” kata Nixon kepada Brezhnev, dikutip Richard A. Moss dalam Nixon’s Back Channel to Moscow: Confidential Diplomacy and Détente.
Tiga hari berselang, Kremlin baru merespon permintaan Gedung Putih. kremlin akan menanti konfirmasi situasi terbaru di Pakistan Timur. Kremlin juga menegaskan tak sepenuhnya mendukung jika India berencana menginvasi Pakistan di bagian barat. Alhasil tensi antara Amerika dan Soviet mereda, terlepas dari kemenangan India di Dhaka lewat penyerahan tanpa syarat komando militer Pakistan Timur kepada India pada 16 Desember yang berujung berdirinya negara Bangladesh.
Perang Yom Kippur
Kala Israel dikeroyok negara-negara Arab dalam Perang Yom Kippur (6-25 Oktober 1973), Amerika dan Soviet ikut campur lagi. Armada keenam Amerika pimpinan Laksamana Daniel Murphy, yang membela Israel, dan Skadron Mediterania Soviet pimpinan Laksamana Yevgeni Volubuyev, pendukung negara-negara Arab, hampir bentrok di laut pada 24 Oktober. Kedua armada berhadapan dengan jarak beberapa ratus mil. Amerika sampai meningkatkan status DEFCON atau kondisi pertahanan dari siaga empat menjadi siaga tiga.
Menukil Lyle J. Goldstein dan Yuri M. Zhukov dalam jurnal US Naval War College Review yang rilis 2004, kedua pimpinan armada itu bahkan sudah menyiapkan strategi masing-masing jika harus melakoni pertempuran yang bisa memicu Perang Dunia Ketiga itu.
“Laksamana Volubuyev punya skenario, mengingat dia kekurangan kekuatan udara, dia merencanakan menyasarkan semua senjatanya ke dua kapal induk sebelum mereka bisa meluncurkan pesawat-pesawatnya. Semua misil, meriam, torpedo, dan roket bakal dimuntahkan total mengingat tak satupun dari mereka akan bertahan jika terjadi serangan udara,” sebut Goldstein dan Zhukov, berdasarkan catatan pribadi kepala staf gabungan skadron Soviet Kapten Yevgeni Semenov.
Baca juga: Anti Serangan Rudal Israel dalam Pesawat Kepresidenan
Sementara, Murphy diperintahkan markas staf gabungan Amerika untuk tetap menghindari manuver apapun yang bisa ditafsirkan oleh Rusia atau negara-negara Arab sebagai tindakan keterlibatan langsung pada konflik.
Titik balik terjadi ketika Mesir bersedia menerima usul Amerika untuk urung meminta bantuan personil. Hal itu membuat Soviet juga urung terlibat langsung. Amerika pun kembali menurunkan status DEFCON-nya.
Potensi konflik akhirnya mendingin setelah terjadi gencatan senjata menyusul dikeluarkannya Resolusi DK PBB 339 yang mengakhiri Perang Yom Kippur. “Kita memang tidak seharusnya menggulirkan Perang Dunia Ketiga,” ungkap Kepala KGB atau Dinas Intelijen Soviet Yuri Andropov, dikutip Abraham Rabinovich dalam The Yom Kippur War: The Epic Encounter that Transformed the Middle East.
Insiden Bandara Pristina
Baru sehari Perang Kosovo diakhiri lewat Perjanjian Kumanovo pada 11 Juni 1999, sebuah insiden di Bandara Internasional Pristina, Kosovo malah memicu Perang Dunia Ketiga. Gara-garanya, Rusia mengirim 30 kendaraan tempur (ranpur) lapis baja dan 250 serdadu pimpinan Mayjen Viktor Zavarzin untuk menduduki bandara itu sebelum kedatangan pasukan perdamaian NATO.
Mendapat kabar bandara diduduki Rusia, Panglima Tertinggi Pasukan NATO asal Amerika Jenderal Wesley Clark pun mengirim pasukan intai gabungan dari unit SAS 22 (Special Air Service 22) Inggris, Brigade Linud ke-5, Brigade Kavaleri ke-4, dan pasukan elit FSK (Forsvarets Spesialkommando) Norwegia. Pasukan itu dipimpin Jenderal Inggris Mike Jackson.
Baca juga: Aroma Dendam Konflik Balkan
Clark yang melihat kubu Rusia jumlahnya lebih sedikit dan tak punya dukungan udara, memerintahkan pengepungan agar pasukan Rusia tak bisa keluar, untuk kemudian dihancurkan. Jackson insyaf bahwa itu sama saja memprovokasi baku tembak. Hasilnya bisa memulai perang baru dengan skala lebih dahsyat.
“Saya tidak akan memulai Perang Dunia Ketiga demi Anda,” ungkap Jackson kepada BBC, 9 Maret 2000, kala menentang perintah Clark.
“Kami melihat adanya kemungkinan konfrontasi dengan kontingen Rusia yang mungkin bukan cara tepat untuk memulai hubungan dengan pihak Rusia yang akan menjadi bagian dari unit di bawah komando (pasukan perdamaian) saya,” tandasnya.
Kesepakatan baru antara Rusia dan NATO terjadi pada awal Juli 1999. Pasukan Rusia tetap beroperasi sebagai tentara penjaga perdamaian di Kosovo bersama NATO, namun bukan di bawah komando NATO.