Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Pengkhianatan di Palagan Garut

Bagaimana militer Belanda menyebar jaring intelijennya untuk menghancurkan unit tempur andalan kelompok gerilyawan pro-Indonesia di Garut yang terdiri dari orang-orang Jepang dan Korea.

Oleh: Hendi Johari | 05 Sep 2020
Yang Chil Sung dan Masharo Aoki saat diciduk di Gunung Dora, Tasikmalaya. (Arsip Nasional Belanda).

Suasana Desa Parentas (masuk dalam Kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya) mendadak ramai dini hari itu. Para penduduk dikejutkan oleh suara tembakan bersahutan dari arah Legok Dora yang merupakan basis Markas Besar Gerilja Galoenggoeng (MBGG), kelompok gerilyawan pro Indonesia di Garut-Tasikmalaya.

“Kami kaget karena sebelum kejadian itu, wilayah desa kami aman-aman saja dan tak pernah terjamah tentara Belanda,” ungkap Kojo (92), penduduk Desa Parentas.

Arsip Nasional Belanda bernomor akses 2.24.04.01 menyebut operasi militer di kaki Gunung Dora itu berlangsung pada 25-26 Oktober 1948. Tujuannya adalah memburu sejumlah “pimpinan teroris” yang terdiri dari eks tentara Jepang (empat di antaranya berkebangsaan Korea). Sebagai gugus tugas dipilihlah Batalyon ke-3 dari Resimen Infanteri ke-14 (3-14-RI).

Advertising
Advertising

Baca juga: Drama di Gunung Dora

Operasi perburuan itu bisa dikatakan sangat sukses. Tim buru sergap 3-14-RI berhasil menewaskan 3 orang Jepang dan meringkus Guk Jae-man alias Shiro Yama alias Soebardjo, Masharo Aoki alias Aboe Bakar, Yang Chil Sung alias Yanagawa alias Komaroedin, Hasegawa Katsuo alias Oesman dan Djoeana Sasmita (Komandan MBGG). Namun menjelang siang, Soebardjo mencoba lari dan langsung dieksekusi.

“(Soebardjo) tertembak mati…” tulis Djoeana dalam selembar catatan hariannya.

Cukanglantaran digrebeknya basis MBGG di Gunung Dora sudah bisa dipastikan adalah karena pengkhianatan. Menurut Ojo Soepardjo, eks anggota MBGG, pembocor posisi basis pasukannya tak lain seorang kawan sendiri yang berhasil secara diam-diam direkrut oleh intelijen militer Belanda.

“Begitu para komandan tertangkap, tiga hari kemudian orang itu juga berhasil kami ringkus dan langsung disembelih,” kenang Ojo yang pada beberapa bulan lalu baru saja wafat.

Menurut Aiko Kurasawa dalam Sisi Gelap Perang Asia, sebelum Operasi Gunung Dora, pihak militer Belanda telah memberikan iming-iming hadiah sebesar 1.000 Gulden bagi siapa pun yang bisa memberikan informasi keberadaan orang-orang Jepang dan Korea tersebut.

“Alhasil seorang istri prajurit Indonesia melaporkannya,” ungkap Aiko.

Namun ada versi lebih menarik terkait kasus pengkhianatan itu. Datangnya dari Kim Moon Hwan, peneliti sejarah asal Korea Selatan yang sudah hampir belasan tahun menelisik soal keberadaan orang-orang Korea dalam revolusi Indonesia.

Dari salah seorang sumber lokal yang berhasil diwawancarai-nya pada 2012, Kim Moon Hwan mendapat informasi bahwa pelaku pengkhianatan itu adalah seorang gadis Garut sendiri bernama Eha. Menurut  narsumbernya, Eha sejatinya adalah bagian dari kaum gerilyawan. Dia bahkan memiliki kedekatan dengan salah seorang eks tentara Jepang asal Korea yakni Yang Chil Sung alias Komarudin.

“Namun tidak tahu bagaimana ceritanya, hubungan Yang Chil Sung dengan Eha menjadi tidak baik. Kata narasumber saya, Chil Sung menolak cinta Eha dan itu membuatnya sakit hati lalu membocorkan keberadaan basis MBGG di Gunung Dora,” ungkap Kim Moon Hwan kepada saya.

Kalaupun cerita yang disampaikan oleh narasumber Kim Moon Hwan itu benar, sepertinya jaringan intelijen yang dibangun oleh militer Belanda tersebut melibatkan beberapa agen. Pertanyaannya, siapa agen yang langsung turun ke lapangan untuk menyertai operasi perburuan itu?

Baca juga: Abu Bakar, Gerilyawan Indonesia dari Jepang

Emen (93), salah seorang penduduk Kampung Pamengpeuk yang terletak di bawah Desa Parentas membenarkan adanya seorang penduduk lokal yang terlihat bersama rombongan tentara Belanda yang menangkap para gerilyawan MBGG. Bahkan menurutnya, ketika tentara Belanda sepulang dari Legok Dora melakukan aksi pembakaran rumah-rumah penduduk yang dicurigai memiliki hubungan dengan MBGG, dia melihat sendiri sang penduduk lokal itulah yang  menunjukan rumah mana saja yang harus dibakar atau tidak.

“Kami tahu dia orang Panyeredan (tetangga Pameungpeuk). Tak kami sangka ternyata dia anjing Belanda,”ujar Emen dalam nada geram.

Seterusnya 4 gerilyawan MBGG yang menjadi tawanan tersebut dibawa ke Ciharus (markas tentara Belanda di wilayah Wanaraja). Dari sana mereka kemudian dipindahkan ke Jakarta. Menurut catatan harian Djoeana, mereka kemudian dipisahkan: Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman ditahan di Penjara Glodok sedangkan Djoeana dijebloskan ke Penjara Cipinang.

*

GARUT, Februari 1949, Bijzonder Krijgsgerecht (Pengadilan Militer Luar Biasa)  dibawah Oditur Militer Letnan Kolonel W. Supheert  telah memutuskan Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman dihukum mati sedangkan Djoeana hanya mendapat hukuman penjara seumur hidup.

“Mereka dinyatakan bersalah karena dianggap telah melanggar kesepakatan Perjanjian Renville dengan secara sadar tetap tinggal di wilayah Jawa-Barat sambil menjalankan aksi-aksi mengacaukan keamanan. Mereka juga diyakini mempunyai rencana akan memimpin aksi gerakan penyerangan besar-besaran ke Garut dan Tasikmalaya  pada 1 Januari 1949, atas instruksi dari Yogyakarta,” demikian menurut De Locomotief, 22 Februari 1949.

Sejak vonis itu diputuskan, ketiga eks tentara Jepang itu tidak lagi dibawa ke Penjara Glodok, namun dititipkan  di Penjara Garut. Menurut Yoyo Dasrio salah seorang jurnalis Garut yang sempat menelusuri kisah ini, dua hari menjelang hukuman mati dilangsungkan mereka bertiga membuat permintaan terakhir.

Baca juga: Empat Gerilyawan Korea di Palagan Garut

“Saya dengar sendiri dari Lebe (penghulu agama Islam) yang mengurus mereka bertiga menjelang kematian, saat menjalani hukuman mati mereka ingin berpenampilan seperti bendera Republik Indonesia: memakai sarung merah dan baju serta celana berwarna putih,”ungkap Yoyo kepada saya pada 2015.

Sabtu, 21 Mei 1949 (berdasarkan berita yang dilansir dari surat kabar Het Dagblad, 24 Mei 1949 dan Nieuwe Courant, 24 Juni 1949), Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman digiring ke kawasan komplek pemakaman Belanda (Kerkof) di Garut. Tepat di pinggir Sungai Cimanuk, mereka ditembak mati dalam penampilan seperti bendera Merah-Putih. Jasad mereka kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pasirpogor, sebelum pada 1975 dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut.

TAG

garut pengkhianat

ARTIKEL TERKAIT

Empat Gerilyawan Korea di Palagan Garut Mas Slamet Anti Kemerdekaan Indonesia Eks Pesindo Sukses Ibu dan Kakek Jenifer Jill Pieter Sambo Om Ferdy Sambo Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya