Sesudah proklamasi kemerdekaan timbul masalah kesiapan menerima negara baru. Sejarawan M.C. Ricklefts dalam Sejarah Indonesia Modern menulis banyak raja dan kaum ningrat, yang didukung Belanda dan mendapatkan kekayaan darinya, tak mengakui kemerdekaan Indonesia. Mereka sama sekali tak tertarik revolusi, apalagi dengan pemimpin republik di Jakarta yang radikal. Kaum aristokrat mengganggap mereka tak lebih dari bandit tak beradab yang tak pantas memimpin republik ini karena tak berdarah biru.
Mas Slamet salah satunya. Dia adalah pegawai tinggi yang bekerja di kantor keuangan Jakarta. Kariernya cemerlang, sempat menjabat sebagai Adjunct Inspecteur van Financien atau ajun pemeriksa keuangan di era Belanda masih berkuasa. Hidup dan pekerjaan yang mapan itu luluh-lantak seketika terjadi peralihan kekuasaan ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Suasana revolusi menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan politik yang berdampak langsung pada kehidupan para pegawai pemerintahan, termasuk Mas Slamet.
Baca juga: Mas Slamet Hina Sukarno
Mas Slamet tak mengikuti zaman. Ketika gelombang revolusi menghempaskan semua yang berbau Belanda, dia malah memilih melawan arus kemerdekaan yang diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta. Seakan urat takutnya putus, dia menunjukkan ketidaksetujuan itu di hadapan rekan sekantornya yang sedang dirasuki semangat kemerdekaan.
“Kalau Indonesia tetap merdeka, saya akan berangkat ke negeri Belanda. Saya maju karena Belanda,” kata Mas Slamet seperti dikutip dari Pewarta Deli, 21 Januari 1946.
Mendengar dia berkata demikian, rekan kantornya yang sebagian besar pemuda mengamuk. Mas Slamet diculik dan dikurung selama dua bulan. Selama dalam kurungan itulah, menurut pengakuannya, dia dianiaya oleh para pemuda republikein. Setelah dibebaskan, dia mengirim surat kepada Ratu Wilhelmina, mengadukan perlakuan kasar para pemuda.
Baca juga: Mas Slamet Dikutuk
“Haruslah diikhtiarkan jalan untuk mencegah kejahatan-kejahatan dan kekerasan yang tidak ada batasnya itu,” tulis Mas Slamet dalam suratnya.
Kesumat telah membara dalam dadanya. Dia berupaya keras mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan Republik Indonesianya sendiri. Untuk melempangkan niatnya, dia dirikan sebuah partai, Partai Demokrat namanya. Partai Demokrat didirikan oleh delapan orang yang dipimpin Mas Slamet. Tak tanggung-tanggung dia meminta bantuan langsung kepada Ratu Wilhelmina di Belanda.
Kepada Ratu dia mengklaim anggota Partai Demokrat terdiri dari kaum terpelajar Indonesia. Partai baru itu memohon kemerdekaan penuh Indonesia atas Belanda tapi oposisi pada Republik Indonesia yang diproklamasikan Sukarno. Dalam suratnya, Mas Slamet cum suis mengusulkan supaya soal-soal Indonesia diserahkan saja kepada suatu komisi Belanda yang berpandangan luas.
Baca juga: Cerita Pengkhianatan Perwira Siliwangi
Saat itu beredar pula kabar bahwa Mas Slamet akan menghadap Panglima Tentara Sekutu Jenderal Sir Philips Christison untuk minta perlindungan. Perlindungan itu dia butuhkan agar rapat-rapat umum yang diselenggarakannya aman dari segala ancaman, bahkan penganiayaan seperti yang pernah dia alami. Ketua Partai Demokrat itu juga mengajukan permohonan bicara di depan corong radio Serikat demi keperluan partainya.
Koran Pewarta Deli edisi 21 Januari 1946 menurunkan berita itu dengan pesan supaya mewaspadai gerakan Mas Slamet. “Mr. Slamet satu lagi perkakas Belanda untuk memecah belah kita,” demikian anak judul koran terbitan Sarikat Tapanoeli, Medan, itu. Tak jelas bagaimana kelanjutan nasib Mas Slamet yang apes itu. Yang pasti, republik impiannya tak berdiri sampai hari ini.