Masuk Daftar
My Getplus

Kabut Pekat di Nanking

Film ini tak ingin menjadi film sejarah, tapi ingin menampilkan watak manusia dalam kemelut perang.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 16 Agt 2017
Judul: The Flowers of War | Sutradara: Zhang Yimou | Pemain: Christian Bale, Ni Ni, Zhang Xingi, Chao Kefan | Produksi: New Pictures | Rilis: 2011.

Nanking, 13 Desember 1937, sinar matahari enggan jatuh. Kabut tebal berjelanak dari celah reruntuhan bangunan. Kota itu mendung dan desing senapan terus menggema. Mayat-mayat tergeletak di tiap sudut. Sekumpulan pelacur bergegas dengan kereta kudanya. Sementara itu, belasan siswi Gereja Winchester terus berlari di antara mayat-mayat. Di belakang mereka, tentara Jepang mengejar. Semakin dekat.

Suasana mencekam itu tersaji dalam adegan pembuka film The Flowers of War. Berlatar peristiwa invasi tentara Jepang ke Nanking pada 1937, film ini bertutur mengenai kegetiran tak terpermanai tersebab meletusnya perang. Sudah jamak memang film seperti ini. Beberapa judul bisa disebut seperti The Pianist, Taegukgi, dan Life is Beautiful. Tapi The Flowers of War tetap menawarkan keunikan. Latar sejarah yang diangkat pun masih menjadi perdebatan.

Film ini diadaptasi dari novel berjudul 13 Flowers of Nanking karya Yan Geling. Film ini menjadi karya mutakhir Yan yang diangkat ke layar lebar. Beberapa novel Yan sebelumnya seperti Xiu-Xiu: The Sent-Down Girl dan Siao Yu sudah diangkat ke layar lebar. Banyak karyanya yang mendapat penghargaan di bidang sastra dan film sehingga melambungkan namanya sebagai salah satu novelis China terdepan saat ini.

Advertising
Advertising

“Secara umum, The Flowers of War menampilkan secara apik situasi Nanking yang luluhlantak setelah 12 hari serangan Jepang.” Tak hanya fisik kotanya, tapi juga kebersamaan penduduknya.

Pahlawan dan Bajingan

Ketika terpisah dari rombongan siswa Gereja Winchester, Shu (Zhang Xingi) dan dua temannya mencari tempat perlindungan. Mereka menemukan sebuah lubang yang tertutup jerami di antara reruntuhan bangunan namun tak bisa masuk karena penuh. Hanya satu yang diizinkan, yang tragisnya justru terbunuh oleh bayonet dan tembakan tentara Jepang. Shu selamat.

Bersama seorang kawannya yang masih hidup, Shu bertemu dengan John Miller (Christian Balle), petugas pemakaman berkebangsaan Amerika. Mereka lantas menuju ke Gereja Winchester. Di halamannya, terhampar bendera raksasa Palang Merah. Rekan-rekan Shu telah lebih dulu tiba di sana karena dibantu lolos oleh tentara Tiongkok yang tersisa di Nanking. Lalu datang pula rombongan pelacur. Saat para siswa dan pelacur berkelahi, tentara Jepang merangsek ke gereja. Pemerkosaan massal hampir terjadi.

John, yang semula tak peduli dan lebih mementingkan kepentingan sendiri, menyeruak dari persembunyiaannya. Berpakaian pastur dan membawa bendera Palang Merah, John berteriak, “Berhenti! Ini rumah Tuhan! Kalian orang terhormat, berlakulah dengan hormat!” Tentara Jepang malah merobek bendera itu dan tetap beringas. Beruntung, sekali lagi, tentara Tiongkok yang tersisa menyelamatkan mereka.

Beberapa lama kemudian, perwira Jepang datang dan menjamin keamanan para siswa. Dia mengatakan, “Dalam perang hal-hal tak terelakkan sering terjadi. Kami minta maaf.” Untuk menghibur para siswa, perwira itu menyanyikan lagu tradisional Jepang, “Rumahku”, dengan piano. Para pengawalnya terenyuh. Mereka rindu kampung halaman dan seperti tak ingin berperang lagi. Perwira itu lalu pergi dan kembali ke gereja beberapa hari kemudian sembari membawa undangan pentas.

Tahu undangan itu berbahaya, para pelacur yang bersembunyi di ruang bawah tanah rela menggantikan siswa. Saat Jepang membawa para pelacur, John menyelamatkan siswa dengan bantuan Mr Meng (Chao Kefan), ayah Shu, yang terpaksa berpihak ke Jepang demi menyelamatkan anaknya.

Semua alasan menjadi pahlawan dan bajingan tersaji dalam film ini.

Perdebatan Nanking

Penyerbuan tentara Jepang ke Tiongkok pada Desember 1937 umum dikenal sebagai Pemerkosaan Nanking (The Rape of Nanking) atau Pembantaian Nanking (The Nanking Massacre). Penyerbuan ini berpangkal dari kecurigaan Jepang bahwa Tiongkok menghimpun kekuatan militer di Nanking. Sebelumnya, pada November 1937, Jepang menguasai Shanghai. Tiongkok lalu menarik pasukannya ke Nanking. Tak mau membiarkan lawannya mendapat angin, Jepang membidik Nanking sebagai target selanjutnya. Sementara itu, tentara Tiongkok melepas atribut militernya lalu berbaur dengan warga sipil karena Nanking dianggap kawasan bebas perang. Jepang tak mengakuinya karena menganggap Tiongkok hanya sedang bersiasat. Pertempuran pun meletus.

Banyak perdebatan mengenai peristiwa Nanking. Yang pertama menyatakan jumlah korban tak lebih dari seribu. Kebanyakan pendukung mazhab ini kaum konservatif Jepang. Yang kedua memilih peristiwa ini sebagai sebuah insiden agar tampak netral. Pendukungnya sejarawan dari Tiongkok, Jepang, Amerika, dan Australia. Sementara yang terakhir, menyebut peristiwa ini sebagai pembantaian besar. Ratusan ribu orang, sipil dan militer, diperkosa dan tewas.

Menurut David Askew dalam “The Nanking Incident : Recent Research and Trends”, dimuat di Journal of Contemporary Japanese Studies, perbedaan itu terjadi karena pemilahan sumber sejarah berupa catatan militer, foto, diari, dan catatan penguburan. “Tiap sejarawan tak bisa menghindarkan diri dari bias ideologinya, Ini menentukan pemilahan sumber. Padahal validitas sumber itu perlu verifikasi,” tulis David.

Karena itu, menurutnya, “debat ini tak pernah berakhir jika semangat ideolog lebih mengemuka ketimbang hasrat mencari kebenaran.” Alih-alih berada di sisi ilusi atau pembantaian massal, David menyarankan pendekatan silang sumber agar terungkap apa yang sesungguhnya terjadi di Nanking pada 1937.

The Flowers of War sendiri mendapat kritik di Jepang. Film ini dinilai hanya menggambarkan secara sepihak tentara Jepang. Bagi pihak Jepang, strategi Tiongkok yang menggunakan “tentara berpakaian sipil” juga layak dikategorikan sebagai kejahatan –dalam film, semua tentara Tiongkok mengenakan seragam lengkap, bukan pakaian sipil. Sementara di Tiongkok, film ini mendapat sambutan hangat.

Tapi “film ini sendiri tak bertujuan menjadi dokumenter atau sumber sejarah. Dia hanya ingin mengatakan bahwa kekejaman itu ada dalam perang, pun begitu dengan nilai-nilai kemanusiaan.”

TAG

film

ARTIKEL TERKAIT

Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi Harta Berdarah Indian Osage dalam Killers of the Flower Moon Alkisah Bing Slamet Tiga Negara Berbagi Sejarah lewat Dokumenter Kunjungan Nehru Vanessa Redgrave, Aktris Peraih Oscar yang Membela Palestina